Share

Part 5

“Bukan main, Ibu Sutinah ini seakan-akan dia yang pandai bikin kue tapi ternyata cuma mantunya yang kerjain, mana sendirian lagi nggak dibantu, Nggak nyangka ya ibu mertuamu seperti itu.” Aku diam saja mendengarkan., tanganku masih sibuk dengan pesanan Bu Trisno.

Selama tiga jam Ibu Trisno menemani aku membuat kue, dia dengan ikhlas membantu menyusun kue dalam dandang kukusan juga mengangkatnya, kemudian membantuku menyusun kue yang sudah masak dalam keranjang. Selama itu pula dia mengajakku bercerita banyak hal. Bu Trisno sangat baik orangnya.

“Lain kali kalau Ibu ada hajatan, nanti biar Ibu langsung pesan sama kamu aja. Biar nanti ibu-ibu yang lainnya juga Saya kasih tau,” Dia lalu menyerahkan uang tiga ratus ribu kepadaku.

Aku bingung dan bertanya. “Ini buat apa, Bu,”

“Ini buat beli susu anak kamu, Arthur. Diterima aja ya, ini rejeki anakmu.” Katanya dan setelahnya ia menelpon anaknya untuk membawa kue bebongko ke dalam mobil. Aku sangat bersyukur pekerjaan menjadi cepat selesai karena dibantu oleh Bu Trisno.

***

“Mana istrimu, Dik!” Dari luar kamar kudengar suara teriakan ibu.

“Mayang, kamu dipanggil Ibu. Kayaknya marah tuh.” Wajah Mas Didik terlihat cemas. Dengan malas aku ke luar kamar dan menghampiri ibu mertuaku yang cerewet itu.

“Kamu itu ya, jadi orang nggak ada syukur-syukurnya, memangnya kurang apa Ibu kasih kamu uang lima puluh ribu itu Hahhh, masih lagi mulutmu tumpis bicara sama Ibu Trisno kalau kamu yang buat kuenya dan bukan ibu, itu maksudnya apa… mau cari muka kamu.” Bentak Ibu dengan berkacak pinggang, khasnya dia.

Ya Allah kapan bertobatnya ini orang tua. Seharusnya dia juga tahu sepandai-pandainya menyimpan rahasia busuknya pasti akan ketahuan juga.

“Aku nggak ada ngomong begitu sama Ibu Trisno soal itu, kebetulan memang beliau datang ke sini pas aku lagi buat kuenya. Dia menemani aku selama tiga jam sampai kue itu selesai. Makanya dia tau kalau aku yang buat kuenya dan bukan Ibu karena Ibu masih sibuk jalan kan?” Ibu langsung terdiam mendengar penjelasanku.

“Seharusnya kamu beralasan kalau adonan itu Ibu yang buat, terus kamu hanya bantu-bantu bungkus.” Ibu masih tak mau kalah meski suaranya sudah mulai melunak. Aku menghela napas panjang.

“Ibu … Ibu Trisno lihat aku membuat kue itu dari awal, jadi kenapa aku harus bilang yang nggak pernah terjadi, kok Ibu nyuruh aku untuk berbohong di depan orang yang jelas-jelas lihat prosesnya dari awal.” Ibu langsung melengos pergi.

Ia pasti tak terima dengan Bu Trisno yang mungkin sudah membongkar kedoknya. Dari kecil, orang tuaku selalu mengajarkan aku untuk selalu berkata jujur, tapi herannya malah dapat ibu mertua yang selalu drama dan banyak bohongnya. Dia sama sekali tidak ingat umur. Aku merasa hidup seperti di sinetron saja.

***

Baru saja aku selesai menidurkan Arthur, dan melanjutkan melipat pakaian. Tiba-tiba Iwan, adik Mas Didik yang terakhir masuk ke dalam kamar tanpa permisi dan tanpa melepaskan sepatunya.

Dengan cueknya dia membuka lemari dan memilih pakaian, setelah itu berlalu pergi.

Apa yang dia lakukan tentu saja membuatku kaget, Ku anggap apa yang ia lakukan benar-benar tidak sopan.

Masuk ke kamar kakaknya yang sudah menikah tanpa mengetuk pintu dan setelah itu mengambil pakaian Mas Didik di lemari tanpa permisi.

Parahnya, masuk ke dalam kamar masih memakai sepatu. Luar biasa kurang ajarnya.

Aku lantas menyusulnya, dia yang baru saja mau masuk ke dalam kamarnya langsung ku halangi. Dia nampak cuek.

“Iwan! Kamu kok tanpa permisi langsung masuk kamar dan ambil pakaian Mas Didik, Seharusnya sebagai orang dewasa yang sudah tamat sekolah seharusnya kamu ngerti tata karma, bukan main nyelonong aja seenaknya.” Ia melihatku dengan malas.

“Aku pinjam bentar bajunya Mas Didik, biasanya juga kami begitu. Kenapa sekarang baru protes.” Sahutnya dengan helaan napas kasar.

“Tapi baru kali ini Mbak melihatmu masuk kamar dan ambil baju Mas Didik tanpa permisi.”

“Ya itu karena Mbak nggak tau aja, semua orang di rumah ini juga punya kebiasaan begitu, Aku juga sering pinjam baju Mas Purwanto, Toh istrinya nggak pernah protes, Kok Mbak malah sewot.” Ia mulai meninggikan suaranya.

“Aku tidak mau tau kebiasaan apapun kalian bersaudara, tetap saja apa yang kamu lakukan itu tidak sopan, aku tidak mau ini terulang kembali.” Ia malah mengacuhkan ku.

“Ada apa ini ribu-ribut.” Ibu mertuaku datang.

“Ini loh, Bu. Mbak Mayang masa Iwan pinjam baju Mas Didik, dianya malah protes. Orang pinjam sebentar juga kok, bukannya Iwan minta juga.” Kata Iwan meminta pembelaan ibunya. Pandangan mata ibu beralih padaku.

“Mereka itu bersaudara biasa sudah saling pinjam barang, bukan cuma Iwan saja yang pinjam barang Mas Didiknya tapi Didik juga sering pinjam-pinjam barang adik-adiknya, aneh kamu ini sewotnya minta ampun.” Sahutnya dengan nada tinggi.

“Tapi, Bu … caranya itu yang tidak sopan, main masuk kamar tanpa permisi. Mana pakai sepatu langsung ke kamar, aku ini seperti benda mati yang tidak dihargai sama sekali. Minimal dia bisa mengetuk pintu bilang permisi.” Kataku tak mau kalah.

“Kamu itu benar-benar menantu tidak tau diri! Sudah dikasih tumpangan makan dan tidur di sini, bukannya bersyukur malah ngelunjak kamu! Kamu itu cuma numpang di sini jadi jangan sok ngatur kamu!” Darahku rasanya mendidih mendengar Ibu menekan kata-kata menumpang berulang kali.

“Lihat saja, Ibu akan kasih tau suamimu supaya ngajari istrinya yang tidak tau berterima kasih ini dengan baik. Supaya sadar diri kalau lagi menumpang di sini. Kamu Iwan! Ambil saja apapun kepunyaan Mas Didikmu, karena dia saudaramu dan jangan pedulikan orang asing yang berani-beraninya melarang apa yang mau kita lakukan di sini.” Hatiku benar-benar sakit mendengarnya.

Bapak dan Mas Didik yang baru saja datang dari kebun, segera menghampiri kami. Dan berusaha mendamaikan.

“Sudah … sudah, Bu. Nggak enak didengar tetangga. Apa Ibu nggak capek marah-marah terus ke pada menantumu.” Bapak berusaha menenangkan ibu.

“Tanya mantu kesayanganmu itu, apa masalahnya sampai Ibu tidak bisa kontrol emosi. Ini lohh Pak, Cuma gara-gara baju Didik dipinjam Iwan, dia langsung ngamuk kayak orang kurang sesajen gitu, sopan nggak itu namanya.” Ibu memang pintar sekali menyalahkan orang.

“Mayang nggak mungkin marah hanya karena baju ini dipinjam, dia marah pasti ada alasannya, sekarang jelaskan Mayang ada apa.” Baru saja aku akan membuka mulut menjelaskan.

“Itulah mangkanya menantu kesayangamu itu jadi besar kepala karena kamu sibuk membela dia terus, Pak. Lama-lama jadi kebiasaan. Sudahlah lama-lama ngomong sama kalian, malah tambah bikin pusing.” Selesai berucap, Ibu melengos pergi. Iwan pun menutup pintu kamar.

“Kalau hanya masalah baju yang dipinjam, kenapa harus dibesar-besarkan, Mayang, biarlah Iwan pinjam bajuku, toh aku juga biasa pinjam bajunya,” Mas Didik pun turut membela Iwan.

Aku hanya diam saja malas menanggapi. Dadaku rasanya sakit sekali. Nyeri. Mengingat kata-kata Ibu yang terus menyebut menumpang itu terngiang di telingaku berulang kali.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status