Share

Part 4

“Ngapain ibu repot-repot minta bantuannya, sekarang itu jaman sudah canggih. Semua resep makanan bisa langsung dilihat di Youtube kemudian tinggal dipraktekkan, Beresss,” Ku dengar suara Farah di teras, memberi saran ke ibu. Aku yakin sekali dia pasti ingin mencari resep kue bebongko pesanan Bu Trisno.

“Oya sudah, gimana caranya. Bantuin Ibu ya, Rah… Cuma kamu aja menantu harapan ibu.”

“Tenang, Bu. Ibu ketik aja kue apa namanya.” Farah memperlihatkan ponselnya kepada ibu.

Aku yang mengajak Arthur bermain di ruang tamu berusaha cuek. Meski sesekali aku melihat dari kaca jendela yang menjadi pembatas antara ruang tamu dengan teras.

“Videonya terlalu cepat, Rah. Ibu bingung jadinya.” Mereka pun menonton video berulang kali.

“Besok ibu praktek dulu, jadi begitu buat yang 200 bungkus nanti hasilnya nggak mengecewakan, memangnya ibu mau nanti beda rasanya dengan yang dibuat Mbak Mayang.” Ibu menggelengkan kepalanya.

“Nah, makanya ibu besok beli bahannya terus praktek.”

“Ya, besok ibu mulai praktek, semoga saja langsung jadi.” Harap Ibu dengan pandangan bingung ke arah menantu kesayangannya. Aku menahan tawa melihatnya.

***

Pagi-pagi sekali, Ibu sudah pulang dari pasar membeli bahan-bahan kue bebongko yang akan dipraktekkannya hari ini. Terlihat ibu pulang diantar oleh ojek, dengan menenteng dua tas plastik besar.

Ibu tergopoh-gopoh membawa belanjaan menuju ke dapur. Ia melintas melewatiku tanpa berkata apa-apa. Aku pun memilih cuek.

Aku yang baru saja selesai mengepel lantai, harus menahan napas ketika melihat jejak kakinya yang berlumpur di lantai. Mau tak mau aku harus mengepel kembali sepanjang jalannya ke dapur. Bukan hanya Ibu, Farah dan juga adik iparku kerapkali seakan-akan sengaja mengotori lantai begitu melihat aku baru selesai menyapu atau mengepel.

Begitu aku akan menjemur pakaian, kulihat ibu sedang menjemur daun pisang. Dan matanya melirik sinis padaku.

‘Dia pasti masih marah karena aku tak membantunya’ batinku.

Setelah semua pekerjaan selesai, aku berniat akan pergi mandi namun tiba-tiba Ibu berteriak kencang. Aku berlari menghampirinya.

Kulihat Ibu sedang menyiram adonan tepung dengan air panas tapi hasilnya, tepungnya mengambang dan tak menyatu sehingga bentuk adonan menjadi bergerindil tak jelas, karena kulihat tak ada apa-apa, aku pun kembali melanjutkan rencana membersihkan badanku tadi.

Hanya butuh waktu 15 menit, aku sudah selesai dengan ritual mandiku. ‘Saatnya melihat Arthur, apa dia sudah bangun atau belum’ kataku dalam hati. Aku melihat Arthur sedang bermain dengan bapaknya.

“Tumben sudah pulang, Mas. Bukannya tadi Mas mau membantu bapak di kebun.” Aku mengeringkan rambut dengan handuk.

“Belum ada bibit baru jadi masih menunggu, lagian di kebun tadi hanya menyiapkan plastik media tanamnya saja dan sudah selesai, mungkin lusa baru kembali menanam.” Terangnya seraya menggendong anaknya.

“Jagain Arthur ya, aku siapkan minuman dulu buat Mas.” Aku berjalan menuju dapur.

Kulihat Ibu masih berusaha membuat kue bebongko. Tapi ada yang salah dengan prosesnya, namun aku berusaha cuek dan fokus membuat kopi buat Mas Didik.

Aku menyerahkan kopi hitam dengan sedikit gula kesukaan Mas Didik, lalu menggendong Arthur membawanya ke teras untuk melihat pemandangan di luar rumah.

Kebiasaan Arthur setiap pagi dan sore hari menyukai melihat pemandangan di luar rumah apalagi jika ada kendaraan yang lewat, kakinya bergerak lincah dan tersenyum lebar.

Arthur memang lagi lucu-lucunya dan dia menjadi penyemangatku juga menjadi penghiburku disaat aku sedih karena perlakuan ibu mertuaku. Tak lama Mas Didik menyusul kami duduk di teras.

“Kasihan Ibu, Mayang. Ibu sudah menerima uang dari Ibu Trisno untuk pesanan lusa, kalau kamu nggak membantunya jadi siapa lagi?” Aku sontak menoleh. Pura-pura cuek. Pasti Ibunya menyuruh membujukku agar mau membuatkan kue pesanan Bu Trisno.

“Kata Ibu, kalau memang kamu mau membuatkan pesanan buat besok, kamu akan digaji duit lima puluh ribu, Gimana kamu mau kan?” Mataku melotot sempurna.

“Buat kue 200 bungkus terus cuma dikasih lima puluh ribu, yakin segitu Mas? Lebih baik aku jagain Arthur!” Suara ku mulai meninggi.

Sejak Arthur sakit dan Ibu cuek membuatku tak tahan melihat perlakuannya. Apalagi dia lebih memilih membawa Sekar ke rumah sakit ketimbang sekedar meminjamkan uang buat kami.

Rasanya dada ini sesak sekali melihat orang yang kuanggap orang tua tapi perlakuannya tak mewakili sama sekali.

Kami di rumah sakitpun, dia tak sudi menjenguk. Mataku mulai terbuka bahwa ibu memang harus mendapatkan pelajaran atas apa yang ia lakukan terhadap kami, ia harus tahu bahwa ia tetap bergantung pada kami yang sama sekali tak ada harga di matanya itu.

“Ingat Mayang, kita ini masih numpang makan sama Ibu, kalau nggak karena Ibu juga kita mau makan apa.” Aku menghela napas panjang.

Emosiku yang tadinya memuncak, mulai mereda. Mas Didik benar, meski menjengkelkan Ibu juga yang berbelanja keperluan dapur setiap harinya.

“Terus bagaimana dengan Arthur? Siapa yang mau jagain, pesanan kue itu nggak sedikit, Mas.” Suaraku melunak sembari mencium pipi anakku.

“Besok kan Mas masih di rumah, jadi biar Mas yang bantuin jaga Arthur dan kamu fokus buat kue ya.” Pintanya lagi sesekali menyeruput kopinya. Meski kesal, akhirnya aku mengiyakan.

“Ya sudah, kamu lihat Ibu di dapur, dia daritadi praktek bikin kue nggak jadi-jadi.” Mas Didik mengambil Arthur dari gendonganku. Dengan langkah malas, aku ke dapur.

“Mayang, bantuin Ibu besok ya, Nak. Ibu betul-betul nggak bisa buat kue ini susah.” Ujar Ibu begitu melihatku menghampirinya.

‘Begitu ada maunya baru panggil-panggil nak, biasanya bahasa makian yang ku terima’ Aku membatin.

“Yang gagal ini biar dijadikan bubur sum sum aja Bu, besok baru Mayang buatkan pesanan untuk Ibu Trisno.” Dia langsung mengangguk dengan tersenyum sumringah.

***

Pukul tujuh pagi, aku sudah selesai memanggang daun pisang dan mulai memotong serta membentuknya menjadi bungkus bebongko. Setelahnya aku mulai mengadon kue, memotong gula merah dan menyiapkan air kukusan.

Semua kulakukan sendiri dengan cepat, karena dandangan punya Ibu hanya muat 20 bungkus sekali kukus. Artinya aku harus mengukus sepuluh kali baru bisa memenuhi pesanan.

Membuat kue adalah keahlian yang diturunkan almarhum mamaku. Mamaku dulu setiap hari berjualan bermacam-macam kue dan banyak pelanggannya karena rasa kuenya sangat enak.

Aku pun dikenal sebagai anak si Tukang kue. Aku bersyukur, karena sering membantu mama membuatku turut pandai membuat segala macam jenis kue, termasuk kue bebongko ini.

“Assalamualaikum, Ibumu ada.” Ibu Trisno muncul tiba-tiba saat aku sedang sibuk menuangkan adonan ke daun. Aku menoleh dan tersenyum.

“Ibu biasanya jalan kalau jam segini, Bu. Kira-kira kembali siang atau sore nanti.” Aku keceplosan dengan kebiasaan ibu mertuaku.

“Lohh kalau Ibumu jalan sampai jam segitu, berarti yang buat kue itu kamu?” Aku terpaksa mengangguk.

“Terus waktu acara pengajian kemarin yang buat kue kamu juga?” Lagi-lagi aku hanya bisa mengangguk. Bu Trisno nampak kaget dan menggelengkan kepalanya, tak habis pikir.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status