Angin dingin berhembus, menerbangkan jaket yang Randu kenakan tanpa dikancing itu, motornya kencang membelah jalanan. Malam yang semakin larut, hanya tinggal beberapa kendaraan saja. Pikiran Randu bercabang, banyak sekali pertanyaan yang bersarang. Setelah Martin datang untuk kedua kalinya, dan mengatakan fakta lain yang lebih mengejutkan, Randu tidak bisa berpikir jernih sekarang. Sebelum Martin benar-benar pergi, Randu mengejar pria itu. Menarik tangannya hingga dia berbalik menghadap Randu. "Kau tidak mungkin ayah kandungku!" Sentak Randu. Martin memiringkan kepala, "Aku harus dapat kepercayaanmu? Fakta bahwa kau putraku itu sudah cukup." "BERHENTI!!" Randu berteriak. "Berhenti mempermainkan hidupku. Apa yang kau mau? Sebenarnya apa tujuanmu?!" Martin hanya tersenyum. "Kembalilah pada Ayahmu, putraku." Randu tidak bisa berhenti memikirkan itu. Dalam hati dia memaki orang yang mengaku sebagai Ayah kandungnya. Kenapa harus Martin? Kenapa? Laki-laki itu bajingan, dia buka
Beku, Riana hanya berdiri mematung di depan pintu, dengan senjata api yang mengacung tepat di hadapan kepala Randu. Pemuda itu baru saja membuka mata, menatap sang Ibu dengan pandangan sendu. Martin bertepuk tangan gembira seolah tujuannya sudah tercapai. Pria yang pernah menjadi rekannya itu tersenyum begitu lebar. "Aku tidak tahu bahwa ikatan batin kalian sekuat ini!" Pekiknya senang, "yang membuatku sangat senang kau tahu, Riana? Adalah, bahwa kau datang sendiri ke sini dengan senang hati tanpa aku perlu repot-repot menyusun rencana untuk memancingmu datang." Jelas Martin menyeringai. Riana hanya menatap pria itu datar tanpa minat. "Apa kau tahu apa yang membuatmu menjadi pengecut, Martin? Kenyataan bahwa kau selalu melibatkan orang-orang terdekatku hanya untuk memancingku." Balas Riana datar. Senyum Martin pudar, seiring dengan Riana yang melangkah maju semakin dekat. Wanita itu tetap mengacungkan senjatanya, namun kali ini dia arahkan pada Martin. “Maju selangkah lagi, kulub
Dengan langkah terseok-seok, juga kondisi tubuh yang tidak benar-benar baik. Riana memaksa kakinya melangkah mencari Randu. Mendobrak setiap pintu yang ia temui. Jika tidak beruntung, Riana akan bertemu musuh, kembali bertarung alih-alih kabur, kembali terluka, kembali bangkit untuk mencari sang putra. Tidak ia pedulikan sekujur tubuhnya yang terluka, rasa nyeri yang menjalar, juga pakaiannya yang compang-camping. Pikiran Riana hanya tertuju pada satu hal, memastikan Randu keluar dari tempat ini dengan aman dan selamat. Riana kembali menemukan sebuah ruangan. Kali ini tidak dia dobrak, sesaat wanita itu berpikir, kemungkinan ini adalah ruangan terakhir di gedung ini. Jika Riana tidak menemukan mereka, maka dia harus pergi ke gedung lain. Wanita itu menarik napas panjang, kemungkinannya 50:50, jika benar ini ruangan tempat Paul dan Randu sembunyi, maka dia selamat. Tapi, jika ruangan ini berisi orang-orang Lost.... Habislah Riana! Kemudian wanita itu mengetuk pintu."Paul! Kau d
Gean menatap bingkisan yang lagi-lagi dikirim tanpa nama si pengirim. Beberapa saat lalu seseorang membunyikan bel rumah. Lalu, meninggalkan sebuah kotak berukuran kecil yang dibungkus dengan kertas coklat di depan pintu. Gean merobeknya kasar, hingga isinya berhamburan. Ada beberapa foto di dalamnya. Sama persis dengan kejadian tempo lalu saat seseorang mengirim bingkisan yang sama, juga berisi foto-foto blur di ruang kerjanya.Awalnya Gean ingin membuang semua foto itu tanpa perlu repot melihatnya. Namun, kemudian pria itu membelalak, ketika matanya menangkap sosok yang begitu ia kenal dalam foto tersebut. Sosok jangkung yang tengah disekap dengan kedua tangan terikat ke belakang, juga todongan senjata di belakang kepala, adalah Randu, putranya. Gean membalik foto tersebut, mencari petunjuk. Terdapat tulisan tangan yang Gean yakini adalah sebuah alamat. Tanpa pikir panjang, gegas pria itu menyambar jaket serta kunci mobil. Belum juga Gean meraih knop pintu, getaran ponsel menghe
Rita tersenyum sumringah begitu melihat mobil putra sulungnya memasuki pekarangan rumah. Tak lama kemudian, Gean keluar dari mobil disusul istrinya Riana.Gean menggandeng Riana kehadapan sang ibu, menyalaminya."Apa kabar, nak?" tanya Rita begitu antusias sembari mengelus lembut surai rambut Gean. Wajahnya begitu berbinar."Gean baik, bu."Rita tersenyum lebih lebar, beralih pada menantunya. "Menantu ibu. Kamu udah punya kabar baik buat ibu, kan?"Riana yang baru saja mengecup punggung tangan Rita seketika terdiam. Ia sudah menduga hal ini, karena setiap kali datang berkunjung, Rita selalu melontarkan pertanyaan yang sama.Dengan senyum getir, Riana mendongak, menatap ibu mertuanya dengan sendu, menggelangkan kepala sebagai jawaban."Maaf, bu. Hasilnya masih negatif." lirih Riana, menunduk.Senyum yang sedari tadi Rita pasang memudar, berubah menjadi pandangan datar."Teru
Riana menutup pintu kamar dengan sangat hati-hati. Untungnya Gean masih tertidur pulas.Begitu masuk Riana hanya berdiri mematung. Hatinya gundah, gelisah. Haruskah ia mengatakan yang sebenarnya pada Gean? Akankah Gean akan mempertanyakan banyak hal?"Bagaimana ini? Apa yang harus kukatakan?" Riana mengusap wajah kasar, menghampiri Gean perlahan. Mengguncang bahu suaminya pelan membangunkan."Mas." panggilnya ragu.Gean menggeliat pelan, membuka matanya perlahan, lalu bangkit untuk duduk.Nyawanya belum sepenuhnya terkumpul. Begitu sadar sepenuhnya, ia menoleh pada sang istri dan membelalak sempurna. Ia terkejut, begitu melihat seorang bayi berapa dalam gendongan Riana."Ri, ini bayi siapa? Kenapa kamu bawa ke sini? Kamu gak culik bayinya, kan? Gak mungkin, kan?" tanya Gean beruntun."Mas, tenang dulu. Biar aku jelasin."
18 tahun kemudianRiana tidak menduga, setelah 18 tahun berlalu ia akan kembali lagi menginjakkan kaki ke rumah ini. Rumah milik Rita, mertuanya.Setelah lebih dari 25 tahun tidak pernah mendapat pengakuan dari mertuanya.Kemarin, Rita mengundang keluarganya untuk hadir diacara ulang tahunya.Tentu saja Riana sangat antusias, apalagi Randu putranya belum pernah sama sekali berkumpul dengan keluarga sang Ayah.Riana tersenyum lega, kehadiran Randu disambut hangat oleh kerabat lain. Meski Rita masih bersikap dingin. Randu bahkan ditarik ke sana- ke mari hingga anak itu kebingungan.Sedangkan Gean, sudah melipir pergi bersama adiknya entah ke mana.Tinggalah Riana bersama Sari, istri dari Rian adik Gean. Rita memiliki dua putra,Gean adalah putra sulungnya, dan Rian adalah bungsunya.Rian menikah dengan sari beberapa bulan sebelum Gean dan Riana mengadopsi anak. Usia dua kakak beradik itu mem
"Lalu, kau pikir aku SUDI MEMBERIKAN PUTRAKU PADA KALIAN?!!" Riana berteriak nyalang, "sentuh putraku, kubunuh kalian!""Riana!"PlakkSatu tamparan mendarat pada wajah pria yang baru saja meneriakkan namanya."Sentuh putraku, kuhancurkan kalian!" suara Riana dalam, penuh penekanan. Juga tatapan yang mengintimidasi.Namun, pria yang ditamparnya barusan balik menatap, mendekat satu langkah pada Riana."Jangan karena kini kau memiliki kehidupan yang berbeda, kau merasa bukan bagian dari kami. Ingatlah, Riana. Bahwa kau tidak akan pernah bisa lepas dari belenggu yang mengikat erat jiwamu. Meski kini, kau tidak bersama kami." ucapnya pelan, meremat pundak Riana kuat hingga wanita itu meringis."Karena itu, seharusnya kalian takut untuk mengusikku kembali. Apa kau pikir, aku tidak sanggup menghancurkan kalian?!" setelah mengatakan itu, Riana melenggang pergi dengan langkah tergesa."KAU-! KEMBALI