Ketiga pria itu mendobrak pintu, tapi tidak menemukan apa pun. Semua barang ada di tempatnya, ruangan juga sama seperti semula.
Tidak ada siapa-siapa juga di sana.
Tidak ada yang aneh, ketiga pria itu pikir mereka hanya salah dengar, lalu kembali menutup pintunya.
Randu bernapas lega, setidaknya untuk saat ini dia aman. Pemuda itu bersembunyi di balik kartu-kardus makanan yang ditumpuk tinggi.
Lalu, pemuda itu berjalan perlahan mendekati pintu.
Meski Randu aman sekarang, tapi ketiga pria itu tidak beranjak dari tempat. Masih membahas perihal tadi yang membuat Randu semakin menajamkan indera pendengarannya.
"Jadi, itu alasan Nona datang ke sini setelah sekian lama?" tanya Rey.
Paul mengangguk.
"Kupikir mereka akan berhenti setelah kejadian itu. Bukankah karena itu pula mereka menderita kerugian besar? Juga banyak merenggut anggota hebat mereka." kali ini Felix bersuara.
<Randu baru saja selesai berganti pakaian setelah jam olahraga, ketika seseorang masuk dan menepuk bahunya dari belakang cukup keras, hingga membuat pemuda itu berjengit kaget."Ow, Randu!" Dika, orang yang menepuk Randu itu berseru girang.Randu mendelik, "Kenapa?""Sepertinya kau baru saja mendapat surat cinta?" Dika terkekeh."Surat cinta?" pemuda itu mengernyit."Yap, di mejamu ada sepucuk surat juga sebuket mawar biru.""Dari siapa?" tanya Randu heran.Dika mengendikkan bahu, pertanda tidak tahu, "mungkin dari kekasihmu.""Tidak ada kekasih!" sanggah Randu cepat."Kalau begitu dari orang yang menyukaimu!"Randu berbalik pada Dika, menatap temannya itu dengan pandangan datar, "Jangan mengada-ada!""Lihat saja sendiri kalau tidak percaya. At
Dika menganga menyaksikan sesuatu yang tidak pernah dia lihat secara nyata.Bangunan rahasia yang dia pikir hanya ada di film-film, kini terpampang jelas di depan matanya."Darimana kau tahu tempat ini?" tanya Dika masih dengan pandangan takjub. Matanya menelisik pada setiap inci bangunan yang mereka lewati."Ibuku."Dika menoleh, "Kau dan ibumu menemukan tempat ini?"Randu menggeleng, "Ibuku pemilik tempat ini.""Oh..." Dika mengangguk-ngangguk, untuk beberapa detik selanjutnya, pemuda itu melotot, "HAH?!""Kecilkan suaramu!" peringat Randu."Ibumu, ibumu yang baik hati dan lemah lembut itu, pemilik tempat ini? Tempat sangar ini? Kau mau aku percaya pada omong kosongmu?!""Terserah, tapi itulah kenyataannya." Randu berjalan mendahului Dika yang masih ternganga tidak percaya.Pemuda itu memimpin jalan, berjalan pelan, tenang agar tidak ketahuan. Sama sepe
Riana berjalan melewati orang-orang yang masih berpeluh di dahinya. Mereka berjajar di sepanjang jalan. Langkah Riana cepat dan tegas, wajah cantik tanpa kerutan itu terlihat kusut. "Kenapa kalian LENGAH?!!!" sentak Riana diakhir kalimatnya, seraya berhenti melangkah dan berbalik menatap semua rekannya. Wanita itu memijat pelipisnya, "apa yang hilang?" "Berkas lost." jawab Paul cepat. Riana memejamkan mata rapat, kepalanya mendadak pening. Sudah dipastikan, siapa pun yang mengambilkan berkas itu, pasti berhubungan dengan lost. Entah mereka adalah orang-orang Lost atau bukan. Yang jelas, Riana tidak bisa membiarkan siapa pun mengambil berkas itu darinya. "Berapa orang?""Dua..." jawab seseorang di sisi kiri Riana, lirih. "Mereka hanya dua orang, tapi kalian tidak sanggup menangkap mereka?!!" Nada bicara Riana meninggi, kesal setengah mati. Barisan pria kekar yang tadi mengejar Randu serentak menunduk. "Kalian memiliki tubuh tinggi yang kekar, tapi kalian begitu lambat hingga ke
Kenyataan bahwa dirinya hanya anak adopsi cukup melukai hati pemuda itu, apalagi Randu tidak tahu menahu perihal ibunya selama ini. Siapa orang tua angkatnya selama ini? Hal apa saja yang mereka sembunyikan? Randu ingin sekali bertanya banyak hal. Tentang mengapa ibunya ada dalam daftar personil elite lost. Tentang mengapa ibunya menyembunyikan identitas aslinya. Dan, apa yang ibunya lakukan selama ini. Tapi, Randu harus menahan diri untuk tetap berpura-pura tidak tahu. Barangkali selama ini sang ayah juga tidak tahu apa-apa. Randu tidak ingin merusak hubungan kedua orang tuanya. Randu berjalan menuruni tangga menuju ruang makan. Seperti biasa, makan bersama sebelum berangkat sekolah. Sejujurnya, Randu ingin menghindari momen ini. Randu tidak ingin ditanyai ini dan itu. Dia sedang tidak ingin bicara. Otaknya masih memproses semua hal yang baru-baru ini dia temukan. Juga hal-hal yang belakangan ini terjadi secara tidak terduga. Pemuda itu duduk disamping Riana, demi mengh
"Jangan katakan apa pun dulu pada Nona, dan untuk sementara rahasiakan ini dari Raiden!" Perintah Paul. Ethan menoleh, "Kau ingin dipenggal?!" "Kau ingin dibakar hidup-hidup?!" Balas Paul melotot. Ethan mendengus, sungguh tidak ada jalan aman bagi mereka. "Rahasiakan ini sementara dari orang-orang, terutama dari Nona. Kita akan bergerak diam-diam untuk mengambil kembali berkas itu. Jika sampai ada yang tahu..., berarti informasi itu darimu!" Ethan mendelik, "Terserah," pria itu mengetuk meja tiga kali, "memangnya kau punya rencana?" "Untuk saat ini, tidak!" Jawab Paul datar. "Owh, sialan! Kau benar-benar ingin dipenggal!!" Umpat Ethan kesal. Pria itu beranjak dari tempatnya. Membiarkan pria berkepala plontos itu sendiri.Paul mengusap kepalanya frustasi, mengapa harus Randu yang mengambilnya? Sungguh, jika Riana tahu, wanita itu akan mengamuk. Putra semata wayangnya, akhirnya mengetahui identitas asli sang ibu. Jika saja orang yang mencurinya adalah orang lain, Paul tidak aka
Paul tidak mengatakan bahwa ia menyerah, hanya saja ia tidak memiliki cara untuk mendapatkan kembali berkas yang dicuri. Padahal, selama ini Paul dijuluki ahli strategi. Seberapa kuat musuh, seberapa hebat taktik, seberapa banyak hal yang menghalangi, dan sesulit apa pun misi mereka. Paul selalu menemukan jalan keluar. Maka, ketika Paul disatukan dalam misi bersama Riana. Bisa dipastikan mereka akan menjadi dua kali lipat lebih baik. Terkadang musuh akan mundur tanpa diminta, menyerah begitu saja tanpa perlawanan. Seakan tahu, bahwa berhadapan dengan keduanya adalah hal yang paling membahayakan. Namun, kali ini Paul terlihat putus asa. Tidak ada satu pun jalan yang bisa Paul tempuh untuk membuatnya tetap aman. Semua cara yang pernah Paul lakukan adalah cara kotor yang menyiksa. Menyisakan pilu pada setiap penerimanya. Jika Paul melakukan itu, Riana akan membalasnya dua kali lipat lebih kejam. Dengan cara yang tak akan pernah Paul duga. Sudah dikatakan, bahwa Riana mematikan den
"Kenapa kamu biarin, Ri?! Randu itu bohong sama kita!!" sentak Gean, "kamu tahu kalau bohong satu kali, akan membawa kebohongan selanjutnya!" "Mas-" "Kamu tahu aku gak pernah suka dibohongin, Ri! Kamu tahu aku gak suka main rahasia." Riana terdiam, perkataan Gean barusan seperti menyindirnya. Semua tentang Riana adalah rahasia. Dan, demi menyembunyikan masa lalunya, Riana berbohong pada Gean, dia menyembunyikan semuanya. Seandainya kamu tahu, mas. Bahwa dibalik aku yang kamu tahu, banyak rahasia yang kugenggam. Tentangku dan masa laluku yang mungkin tidak akan pernah bisa kamu maafkan. Karena itu, aku memilih untuk menyembunyikan. Maaf ."Ri, kamu harus ngomong sama Randu!" kali ini Gean merajuk. Riana menghela napas, "Mas, Randu butuh waktu. Kasih dia ruang buat sendiri. Kamu denger, kan, dia ngomong apa?" "Iya, tapi-" "Randu itu udah dewasa, dia tahu mana yang baik dan buruk. Dia udah bisa buat keputusan sendiri.""Memangnya kamu siap kehilangan Randu?" suara Gean melirih. A
Gean menanggalkan jasnya, melempar asal pakaian mahal itu ke atas sofa. Dia membuka dasi yang seharian ini terasa seperti mencekik. Sejujurnya Gean lelah, dan ingin segera pulang, namun berkas yang menumpuk tidak bisa diabaikan. Sebagai Direktur, Gean harus bertanggung jawab penuh atas kendali perusahaan. Meski secara resmi perusahaan ini adalah miliknya. Tapi, Gean tidak bisa semena-mena. Perusahaan yang bergerak dibidang properti ini adalah milik sang ayah. Yang diturunkan secara langsung padanya. Meski awalnya Gean enggan, namun dengan segala bujuk rayu sang ibu akhirnya Gean tak kuasa menolak. Pada akhirnya, perusahaan ini menjadi tanggung jawabnya. Tok tok tok "Masuk!" Seorang perempuan masuk, membawa setumpuk berkas juga sebuah Ipad di tangannya. Gean yang melihat itu lagi-lagi menghela napas. Setelah menyimpan semua berkas di atas meja, perempuan bernama Bisya yang menjabat sebagai sekretarisnya itu mengulurkan sebuah Ipad ke hadapan Gean. Ipad yang memperlihatkan jadwal