Bima terbangun saat mendengar suara berisik di dapur, disertai dengan bau harum masakan yang menguar di hampir semua ruangan. Laki-laki berjalan ke belakang dan mendapati istrinya sedang berdiri di depan kompor. Gerakan Annisa yang sedang mengaduk sesuatu itu membuatnya menelan ludah. Seksi.
"Masak apa?" tanya Bima sembari melipat tangan di dada dan bersandar di daun pintu.
Annisa membalikkan badan dan menatap laki-laki itu sesaat, lalu mengalihkan pandangan dan lanjut memasak.
Mendapat perlakuan seperti itu, Bima berjalan mendekati istrinya.
"Kayaknya enak," ucapnya sembari mengintip ke arah kompor dari balik tubuh Annisa.
Bug!
Tiba-tiba saja sendok penggorengan mendarat mulus di wajah Bima, sebagai reaksi dari Annisa yang terkejut. Wanita itu tak menyangka jika suaminya berjalan mendekat, dengan posisi seperti hendak memeluk dari belakang.
"Jangan kasar sama suami, Nis," ucap Bima mengaduh seraya mengusap hidu
Bima memarkir mobilnya memasuki pekarangan. Suasana tampak sepi, sehingga dia langsung mengambil kunci cadangan dan masuk ke rumah. Laki-laki itu menyimpan sepatu di rak dan meletakkan tas di meja, lalu berjalan menuju kamar.Dengan pelan Bima membuka gagang pintu kamar dan merasa senang saat mendapati itu tidak dikunci. Lalu, dia menuju ranjang di mana Annisa sedang tertidur pulas di samping Attar.Annisa dan Attar tertidur dengan posisi saling berpelukan, sehingga membuat Bima iri. Dia ingin merasakan hal yang sama, terutama ... memeluk istrinya lagi. Senyum melengkung di bibir Bima saat melihat kedua wajah itu. Dikecupnya pipi Attar dengan lembut, lalu beralih menatap Annisa. Laki-laki itu menimbang-nimbang beberapa sesaat, lalu menyetuh dahi istrinya dengan penuh rasa sayang. Dalam hati berucap, semoga suatu saat dia bisa ikut berbaring di sana bersama mereka.Bima hendak ke luar kamar ketika terdengar suara gerakan. Sehingga dia
Hari Minggu pagi.Annisa sedang sibuk mengolah bahan makanan di dapur, sementara itu Bima membawa putranya bermain di depan rumah. Tak terasa kini usia Attar memasuki bulan kelima. Anak itu sudah bisa tengkurap dan melempar mainan yang berada didekatnya. Sapaan para tetangga yang menanyakan perkembangan Attar dijawab Bima dengan antusias. Dia menceritakan bagaimana perjuangan anak dan istrinya pada saat persalinan dulu. Setelah merasa cukup mendapat sinar matahari, laki-laki itu membawa putranya masuk ke rumah."Mama ... siapkan air mandi Attar, dong," ucap Bima sembari duduk di sofa dan mengajak putranya berbincang.Annisa yang sejak tadi sibuk memotong sayur, berjalan ke depan dan mengintip dari balik pintu. Bima tampak asyik bercerita, sementara Attar tertawa senang dan mencoba menyentuh wajah ayahnya.Mereka berdua begitu mirip bak pinang di belah dua. Hanya saja, Attar mewarisi bibir Annisa yang tebal. Bibir yang membuat Bi
Hari kedua Ramadan, Bima mengajukan cuti untuk membawa keluarganya jalan-jalan mencari menu berbuka puasa. Laki-laki itu memilih berdamai dengan sang istri dan tak mau memaksakan kehendaknya lagi.Kemarin saat di rumah ibunya, Bima sudah sangat senang bisa memeluk Annisa sembari tertidur. Hingga azan Subuh berkumandang dan dia terbangun sendirian.Mereka sepakat pergi ke sebuah mal dsn masuk ke sebuah restoran cepat saji, lalu memilih beberapa menu. Saat Annisa sedang asyik melihat apa yang ingin di pesannya, sementara Attar duduk di pangkuan Bima sembari bermain, tiba-tiba saja ada seseorang yang menghampiri mereka."Hai. Masih ingat aku?" ucap perempuan cantik itu sembari tersenyum manis dan duduk di sebelah Bima."Eh, ini kamu, Dy?" tanya Bima seraya menatap wanita itu dari atas hingga ke bawah. Dyara terlihat berbeda sekarang, lebih cantik dan juga anggun dengan hijab kekinian."Iya, Bima. Kenapa? Pangling, ya?" ucap wanita it
Sudah setengah jam Bima berada di depan kamar mandi dan menunggu Annisa membersihkan diri. Mereka belum menunaikan salat Isya, karena sejak tadi laki-laki itu tak mau melepaskan istrinya. Untunglah di saat seperti ini, Attar tertidur lelap sehingga tidak menganggu aktivitas orang tuanya."Masih lama?" tanya Bima sembari mengetuk pintu. Ini sudah hampir jam sepuluh malam dan udara cukup dingin."Sebentar," jawab Annisa dari dalam. Lalu, dia keluar dengan tertunduk dan langsung bergegas menuju kamar.Bima mengulum senyum melihat tingkah istrinya dan bergantian masuk untuk membersihkan diri. Laki-laki itu bersenandung karena luapan bahagia yang tak terkira."Bim. Isya-nya mau jemaah?" tanya Annisa setelah selesai berganti pakaian. Gamis yang tadi suaminya belikan sudah masuk ke keranjang baju kotor. Wanita itu terbiasa mencuci baju yang baru dibeli kemudian memakainya.Mendengar panggilan itu, Bima membuka pintu dan mengintip. Annisa segera mem
Annisa mendengarkan penuturan sang suami tanpa menyela sedikitpun. Sementara Bima menjelaskan kejadian dari awal tabrakan hingga operasi di rumah sakit secara rinci. Dia terlihat gelisah karena sepertinya keluarga Dina tidak mau berdamai. Terlebih lagi, kakak laki-lakinya."Aku kayaknya mau minta bantuan Ibu. Biaya pengobatan Dina lumayan banyak. Aku belum mampu bayarnya," kata Bima lemas.Mereka berbaring di kamar setelah selesai sahur sembari menunggu azan Subuh berkumandang. Annisa menyandarkan kepala di lengan suaminya dan memeluk tubuh besar itu dengan erat."Memangnya, berapa yang harus dibayar?" tanya wanita itu. Annisa jadi teringat saat mendiang Rahman sakit. Ibu mertuanya bahkan menjual beberapa aset untuk biaya pengobatan. Salah satu yang menjadi penyebab dia tetap bertahan di rumah itu setelah pemakaman adalah sikap baik Ratih yang tak perhitungan untuk membantu mereka."Mungkin puluhan juta. Bisa jadi ratusan juga. Biaya
Gambar gelombang jantung di layar monitor yang tadinya normal, kini mulai tak beraturan. Bersamaan dengan itu, Dina mulai memberikan reaksi dengan menggerakkan tangan dengan napas yang tak beraturan."Pasien sadar! Pasien sadar!" ucap seorang perawat memberitahukan rekan kerjanya. Beberapa yang lain ikut menghampiri ranjang di mana Dina terbaring."Panggil dokter sekarang! Cepat!"Tak lama, muncullah seorang lelaki paruh baya dengan memakai jas putih masuk dengan tergesa-gesa."Pasien sudah sadar, Dok."Dokter mulai memeriksa denyut nadi dan pernapasan Dina, juga memberikan beberapa tindakan yang diperlukan. Sayang, setelah memberikan reaksi sesaat, tubuh gadis itu kembali diam. Gambar gelombang yang tertera di monitor berubah menjadi lurus, bersamaan dengan alarm yang berbunyi."Astagfirullah!" ucap salah seorang perawat terkejut."Periksa alat sadapaannya, apak
Ruangan itu dicat warna putih dengan pencahayaan yang cukup baik. Udaranya tidak pengap. Bau harum tercium karena di meja ada alat pewangi otomatis. Dua buah kipas angin terpasang di dinding, sehingga penghuninya tidak merasa kegerahan.Tempat itu ukurannya cukup luas, sekitar 3x6 meter, belum termasuk kamar mandi yang berada di sisi paling ujung ruang tahanan. Ada sebuah undakan permanen berukuran cukup luas yang digunakan para tahanan untuk tidur. Di atasnya tersusun rapi sejumlah kasur lipat dengan kain penutup bermotif berbeda-beda.Ada empat orang dalam ruang itu, masing-masing memiliki loker tanpa pintu untuk menyimpan baju dan perlengkapan lain. Loker tersebut terletak di sudut ruang, di seberang kamar mandi.Di rumah tahanan ini barang-barang pemiliknya ha
Lima mobil terparkir di depan rumah Ratih sejak pagi. Begitu juga dengan beberapa motor yang memadati halaman. Hari ini keluarga besar mereka berkumpul. Pertemuan seperti ini pernah terjadi, ketika pernikahan Rahman dan Bima. Sekarang, mereka duduk bersama untuk mencari jalan tengah atas kasus Bima."Mbak mohon bantuan kalian untuk menghadiri mediasi yang akan dilakukan dua hari lagi. Kita akan berkunjung ke rumah orang tua Dina untuk meminta maaf," ucap Ratih seraya memandang satu per satu keluarganya. Wajah tua itu menatap dengan penuh harap agar putra keduanya bisa segera mereguk kebebasan."Insyaallah kami bersedia datang. Mbak jangan khawatir. Kami juga akan membantu biayanya jika diperlukan," kata salah seorang paman."Alhamdulillah. Terima kasih. Mbak juga bingung harus bersikap apa. Jalan satu-satunya cuma perundingan," lanjutnya.Selama Bima ditahan, Ratih tak nyenyak tidur dan tak berselera makan. Hati wanita itu juga tak tenang me