Gantian si muka teplon yang menghela. Banyak sekali mereka menghela hari ini. Memangkas keberuntungan yang mungkin datang. Adrian ..., yeah, dia tidak tertarik dengan asmara. Hubungan yang berujung pernikahan. Pasangan, partner, kekasih, cinta atau apa pun itu namanya. Meski dari sekarang merasa begitu, si Biman muda juga tidak bisa memastikan apa selamanya dia tak akan memiliki ketertarikan?Pasangan ya ....Terlintas bayangan seseorang di benak si Biman muda. Berambut panjang, tapi selalu di cepol. Selalu mengenakan pakaian sederhana dengan rok panjang yang mengembang. Tawa halus yang tak sengaja dia dengar sewaktu menemukannya bersama si gembul. Sorot teduh yang selalu bertemu onyxs kelam miliknya. Kepala yang sering tertunduk ketika mereka berpapasan. Postur yang tidak terlalu tinggi. Perhatian. Lembut. Telaten melakukan pekerjaannya. Sangat menyayangi si gembul.Hm? Huh?Apa yang barusan lewat dalam kepalanya?Si bungsu Bimantara terkejut akan kinerja otaknya yang tiba-tiba mem
Onyxs kelam milik Adrian mengamati perilaku intim antara si gembul dan si pengasuh. Dari awal memang dia menyimpan curiga, namun tak sampai memikirkan terlalu jauh.Setelah semua perkara yang terjadi di kediaman Bimantara lalu ucapan kakaknya–yang ternyata menempel di otak–yang tidak dikira bakal terus diingat–ditambah pikirannya yang sedikit kacau–Adrian bisa membuka mata. Kejeniusannya bisa digunakan. Kecurigaan si Biman muda timbul kembali. Melihat kedekatan tak lazim si gembul dan si pengasuh dan hal-hal yang dia lihat aneh selama ini, barulah muncul pertanyaan dalam kepalanya; ‘apa Bia memiliki ikatan tertentu dengan Bian?’ pasalnya, dia baru ingat bila kedatangan si gadis ke kediaman Bimantara pun patut dicurigai.Sekalipun waktu itu Mamanya yang membocorkan, apakah mungkin langsung datang kemari tanpa persiapan? Logikanya, seseorang yang ingin melamar pekerjaan akan mempersiapkan hal-hal yang diperlukan. Meskipun kasus si gadis dokumen-dokumennya hilang, tak mungkin langsung da
“Naomi, ayo sini. Kamu udah sarapan?” tanya Rosa.Naomi menarik kedua ujung bibirnya. Tersenyum basa-basi lalu menghampiri meja makan. Menarik kursi kosong dan menempatinya. Di atas meja tersedia menu sarapan; roti panggang, telur mata sapi, sosis bakar lalu teh hangat. Naomi menarik satu gelas teh ke hadapannya kemudian menatap para Bimantara.“Um, apa Adrian udah berangkat, Tan?”Bersamaan pertanyaan itu di lontar, dari arah berlawanan muncul perempuan mengenakan pakaian sederhana dengan rambut di cepol sambil menggendong seorang bayi gendut menuju dapur. Tujuannya bukan menghampiri meja makan, melainkan seorang pria muda yang telah selesai bicara dengan sang Kepala pelayan. Si gadis kemudian menyerahkan si gembul pada ayahnya, namun baru sebentar di gendong, Bian merengek dan memanggil-manggil Bia seraya memanjangkan tangan. Tidak rela berpisah.“Mam! Mam! Aaa! Mam!”Adnan yang melihat pemandangan tersebut diam-diam menyungging seringai. Apalagi sewaktu si bungsu terpaksa menyerahk
“Ah, oke,” Adrian merespon terkejut. Dia bangkit sembari mengangkat si gembul dari bak yang membuat bayi gendut itu merengek. Tak rela waktu bermainnya berakhir. Bergerak-gerak di tangan sang Ayah yang menyebabkan si Biman muda kesusahan. “Hei, Bian.”“Huwa! Mam! Mam!”Bia segera melilitkan handuk di tubuh si gembul–yang tadi dia sampirkan di pundak–lalu mengelap mukanya yang basah. “Bah!” Dia mengejutkan Bian saat handuk yang menutupi wajah si gembul ia lepaskan. Menyebabkan si bayi tersentak, namun selanjutnya tertawa. Menularkan tawa untuk si gadis dan senyum tipis di bibir si Biman muda.Onyxs kelam milik Adrian akhir-akhir ini sering menangkap raut wajah dari si pengasuh. Mengamati ekspresi yang cepat berubah bila berhadapan dengan si gembul atau bertemu dirinya. Cara si gadis menangani Bian yang dapat membuat si bayi nyaman, anteng, tidak rewel dan tangisnya yang langsung reda. Dia ingin mempelajari itu semua. Bia benar-benar orang yang tepat merawat Bian.Dua pupil berbeda warn
Hati si pengasuh mencelos begitu melihat warna kemerahan di sekitar pinggang Bian. Warna kemerahan yang dia tahu di sebabkan bukan karena terantuk atau luka dalam–tak mungkin–melainkan di sebabkan karena cubitan. Bagaimana biasa kalian mencubit gemas bayi maka akan muncul kemerahan. Tapi, Bia yakin bekas cubitan di pinggang Bian bukan karena gemas. Apalagi si gembul menangis kencang tadi. Bia mengusap warna kemerahan itu lalu menatap si gembul yang sudah berhenti menangis, namun bekas-bekas air mata masih ada.“Maaf ya. Maafin mama ya, sayang.” Tidak kuasa, Bia tak bisa menahan sesak di dada saat menemukan keganjilan di badan putranya. Dia tak pernah mencubit atau menyebabkan warna kulit si gembul berubah sampai menangis, tetapi orang lain malah melakukannya. Bia menjaga Bian dengan baik. Merawat si bayi penuh kasih.Tapi ...!Bulir bening menetes dari sudut mata. “Maaf ya, sayang ....”Bia mencium kening si bayi. Membersihkan bekas air mata di wajah si gembul dan sekali lagi mendarat
“Aha!” Bian menjerit senang. Kepala bersurai halus ini terangkat. Mendongak menatap pria besar di depannya lalu tertawa dan mulai berceloteh, “Mam! Mam! Mmm! Ababa!” Seakan berkata; iya, iya. Ingat! Bian ingat!Adam yang sudah kepalang gemas langsung memeluk tubuh mini dari cicitnya dan menghujani pipi gembil si bayi dengan ciuman. Uh, dia rindu sekali pada Bian. Sejak pertama datang ke rumahnya, tiga hari kemudian Adam rindu berat. Dia ingin datang ke sini! Dia mau bertemu cicitnya! Tapi, pekerjaan tak bisa ditinggal. Ada sedikit masalah sehingga dia mesti menyelesaikan terlebih dahulu. Well, tak perlu dijelaskan apa yang menjadi masalah, kan? Pokoknya pekerjaan sang Petinggi Bimantara bagian gelap-gelapan. Puas mencium si gembul, Adam memangku baby gempal itu. Mengusap kepala dan mencubit pipinya pelan. Akhirnya dia bisa bertemu Biman mini yang sangat dirindukan! Kalau bisa; pengin di bawa pulang saja! Tapi, Adam sadar diri bila dia tidak mungkin membawa kabur si gembul dari keluar
“Iya. Saya baru aja pindah.” Senyum terukir di bibir Kemal. “Oh, maafin saya belum sempat nyapa.” Dia sekali lagi menundukkan kepala.“Nggak, nggak. Aku cuma penasaran siapa yang pindah ke sebelah rumahku. Nggak sangka kalau kamu masih muda banget.” Sang Nenek memamer senyum. “Apa yang buat kamu pindah ke sini?”Duh, Kemal belum membuat alasan. Memang benar dia baru pindah; baru dua hari. Pun dia langsung mengunjungi daerah yang menjadi titik permasalahan kemudian kembali. Belum sempat dia memikirkan alasan yang bagus saat muncul pertanyaan kenapa-pindah-ke sini dan menyiapkan makanan basa-basi–seperti yang biasa dilakukan kebanyakan orang saat menempati rumah baru. Tradisi yang tidak tertulis.Apa ya?Ayo, Kemal, kamu punya otak yang jenius!Kemal menggaruk kepalanya yang tak gatal, menyungging senyum sungkan sembari menjabar satu kebohongan dengan lancar, “Me-melarikan diri dari kota, Nek. He-he. Saya nggak kuat tinggal di kota yang super sibuk sama pekerjaan yang menyita waktu.” ‘N
“Tadi pagi siapa saja yang bareng sama Bian?” Tanya sang Biman senior sembari membenarkan posisi baju si gembul dan membiarkan bayi buntal itu bermain-main sendiri di karpet; berguling ke kiri dan ke kanan, telungkup lalu tertawa sendiri. Melakukan itu berulang-ulang.Sebenarnya enggan mengatakannya, sebab Bia tidak bisa memastikan. Kalau salah tunjuk, bagaimana? Dia yang bakal menanggung. Apalagi sikap menghakimi tanpa bukti kan salah. Tapi, tidak ada orang lain yang bersama Bian waktu itu. Si gadis menghela. Pun karena sudah terjadi dan membuat bayinya terluka, dia tak ingin kejadian serupa terulang.“Saya nggak mau nuduh. Tapi, orang yang terakhir kali sama Bian adalah Nona Naomi.” Katanya serius menatap mata hitam milik sang Bimantara.“Naomi?” Adam mengulang. “Naomi Wibowo?”“Nona Naomi kemari untuk belajar rawat Bian sebagai calon istri Tuan Adrian,” Bia memberitahu. Ini bukan rahasia, kan? Semua penghuni rumah tahu.Sang Biman senior tahu; dia tak bisa ikut campur untuk masalah