“Dia bisa keluar dari rutan ini, tapi status dia tidak berubah. Dia tetap berstatus sebagai tahanan kota. Dia tidak boleh bepergian keluar kota. Dan dia diwajibkan melapor secara berkala selama masa hukuman,” jelas polisi itu.
“Baik, terima kasih, Pak. Sekarang bisakah saya ketemu dengan Sagara?”
Polisi pun mengizinkan Safira dan ayahnya untuk menemui Sagara di ruang besuk.
Sampai di ruang besuk, Safira dan ayahnya berdiri menunggu kemunculan Sagara.
Beberapa menit kemudian, Sagara muncul didampingi seorang sipir.
Sagara duduk perlahan.
“Apa yang mau Bapak sampaikan kepada saya?” tanya Sagara melirik ayah Safira.
Ayah Safira tak merespon. Dia masih menimbang-nimbang kata apa saja yang harus dia ucapkan.
“Biar Safira sendiri yang bicara padamu,” ucap ayah Safira sambil memalingkan pandangannya ke arah lain. Dia membalikkan badan sebagaimana yang Safi
Safira menghirup napas panjang usai meminumnya.“NIkmat, seger banget. Makasih banyak ya, Pa,” kata Safira melirik ayahnya.“Yang lagi hamil itu nutrisi harus terpenuhi dengan cukup. Kalau kamu butuh apa-apa dan pengen makan apa, tinggal bilang sama Papa, Mama dan adikmu. Kita harus perlakukan kamu harus bener-benar spesial di sini hehe,” ucap aya Safira.“Pokoknya Kakak sekarang jadi Inces ya...”“Kamu sekarang adalah Queen di rumah ini,” kata ibu Safira.Apakah ini sebuah kebetulan? Panggilan itu mengingatkannya pada Benua. Lelaki itu memang spesial memang memanggilnya seperti itu.Seingatku, hanya aku dan Benua yang tahu panggilan itu. Dari mana mama tahu panggilanku. Ah, tidak, kayaknya Mama ucapan mama itu hanya kebetulan saja, pikir Safira.Dan tiba-tiba pikiran Safira jadi membanding-bandingkan dirinya dengan Berliana. Apakah nanti Benua akan memang
“Mama dan papa dulu sering bilang sama kamu bahwa mama dan papamu menikah awalnya tidak didasari dengan rasa cinta. Kami dijodohkan, masing-masing dari kami dulu sudah punya pilihan. Namun karena kami mengikuti keinginan orang tua kami bersedia menikah,” jelas Ibu Benua.Entah untuk yang keberapa kali dia mendengar cerita itu dari ibunya. Sejak kecil dia memang mendengarkan ayah dan ibunya mengenai kisah rumah tangga keduanya.“Alhamdulillah sampai sekarang pernikahan kami langgeng dan bahagia bisa mendidik dan membesarkan kamu. Kami berusaha berdamai dengan realitas dan belajar untuk saling mencintai,” tambah ayah Benua.Entah yang ke berapa kalinya kalimat itu pun ia dengar dari ayahnya. Dulu sebelum merasakan posisi sulit seperti saat ini, dia senang-senang saja, berusaha menjadi pendengar yang baik dan tak pernah memotong ucapan ayah dan ibunya.“Ma, Pa… buat Mama dan Papa saat itu mungkin mudah. Perj
“Dia tidak tahu. Saya mencintainya diam-diam...” ucap Sagara.“Mencintai diam-diam yang salah. Jauh berbeda dengan mencintai diam-diamnya Ali kepada Fatimah. Mencintai diam-diam kamu berujung petaka,” Ustaz Reza tampak murka.Dikata-katai seperti itu, Sagara diam. Dia tak mampu membela diri.“Kenapa kamu tak jujur kepadanya?” tanya ayah Safira.“Aku tak jujur karena sudah jelas dari awal Safira sangat mencintai Benua.”“Padahal kalau kamu jujur, mungkin akan lain ceritanya. Coba kalau kamu bilang sama Papa. Papa tidak akan sungkan membantumu dari dulu. Papa akan melamarkan Safira untukmu lebih cepat sebelum dia dilamar oleh Benua dan keluarganya,” jelas Ustaz Reza.“Iya, Maafkan aku, Pa...”“Berjanjilah kamu tidak akan menyakiti Fira!” pinta ayah Sagara.“Aku berjanji, Pak. Aku akan mencurahkan segenap hidupku untuk membahagi
"Kamu tidur di bawah sana!" kata Safira ketus.Wanita berbadan dua itu melempar selimut dan bantal ke arah Sagara. Bantal pun jatuh tepat di kepalanya. Wajah lelaki itu tertutup oleh selimut.Sagara menyingkap selimut yang menutupi wajahnya. Dia pun mengambil bantal yang terjatuh ke lantai yang beralas karpet permadani."Bukannya kita sudah sah jadi suami istri?" kata Sagara. "Kenapa aku nggak boleh tidur seranjang dengan istriku sendiri?"Mendengar kata 'istriku sendiri', Safira merasa sangat asing. Benar-benar dia merasa tak siap sekaligus tak menginginkannya.Sagara celingak-celinguk mengitari kamar istrinya. Ini pertama kalinya dia berada di kamar ini."Jadi aku harus tidur di sini?" tanya Sagara sambil menunjuk lantai beralas karpet yang tengah dipijaknya. Letaknya tak jauh dari ranjang tempat tidur di kamarnya."Ya, malam ini dan seterusnya kamu tidur di situ saja," balas Safira tanpa menatap Saga
Sebelum azan Subuh berkumandang, Sagara sudah bangung terlebih dahulu.Pagi itu dia sengaja mandi dan keramas supaya tidak menimbulkan kecurigaan di keluarga Safira.Dia menyalakan lampu kamar dan mematut diri di depan cermin untuk mengenakan sarung, baju koko dan peci putih rajut khas Turki.Tak lama kemudian azan Subuh berkumandang. Sagara berniat ke masjid. Meskipun dia belum tahu lokasi masjid dari rumah Safira, dia akan mencoba berjalan mengikuti arah salah suara azan yang terdengar paling dekat dari rumah keluarga istrinya.Sebelum keluar kamar, dia menatap Safira yang masih tertidur pulas.“Fira… sudah azan Subuh,” ujar Sagara agak canggung sambil duduk di tepi ranjang samping istrinya.Safira menggeliat. Saat membuka matanya, dia benar-benar kaget.“Nga… ngapain kamu?” tanya Safira, suaranya bergetar karena gugup sekaligus cemas. Entah kenapa, masih ada rasa ketak
Tidak ada jawaban. Kelopak mata Safira masih mengatup. Tubuhnya sangat dingin. Perasaan Sagara benar-benar campur aduk. Firasatnya tak enak. Jantungnya terasa mau copot.Jangan-jangan dia sudah pingsan dari tadi lagi, pikir Sagara.Sagara segera mengangkat Safira. Dia membawa Safira ke atas kasur. Lantas, setelah menutup tubuh Safira dengan selimut, Sagara berlari keluar kamar.“Ma, Pa… tolongin Safira!” teriak Sagara.Orang tua Safira segera berlari dan masuk ke dalam kamar Safira. Langkah keduanya diikuti oleh Berliana dan Sagara.“Kamu kenapa, Nak?” Ibu Safira mengusap kepala Safira. Putrinya sampai saat ini belum siuman.“Kakak… ” Berliana ikut panik.“Gimana kejadiannya ini?” tanya Pak Yahya kepada Sagara.“Kemungkinan dia jatuh dan pingsan di kamar mandi, Pa. Tadi aku temukan dia tergeletak di kamar mandi,” jelas Sagara.Setelah
“Alhamdulillah… akhirnya kamu kembali,” kata ayah Safira.“Mama senang, kamu sudah bisa membuka mata,” ujar ibu Safira.Ustaz Reza dan istrinya pun ikut lega.“Alhamdulillah ya Allah, terima kasih sudah mengabulkan doa-doa kami,” ujar Ustaz Reza.“Mama senang. Nak, akhirnya kamu siuman. Sudah tiga hari kami cemas menunggu kamu membuka mata,” ujar istri Ustaz Reza.“Jadi… aku...”“Sudahlah, kamu jangan banyak mikir dulu. Alhamdulillah, yang penting sekarang kamu sudah kembali,” Sagara meremas jemari istrinya.Safira merasa asing dengan kondisi seperti itu. Namun dia juga tak kuasa menolak. Lagi pula pula, orang yang menggenggamnya saat ini adalah suaminya sendiri.Entah kenapa, hari ini, Safira merasa sangat istimewa. Mendapatkan banyak perhatian, mulai dari kedua orang tuanya, kedua mertuanya, dan juga dari suaminya.
“Jangan kuatir, Sayang. Jika kamu merasa belum siap. Aku tidak akan melakukannya. Aku ingin membuatmu tetap nyaman dan merasa tidak tersiksa dengan perlakuanku,” bisik Sagara ke telinga istrinya.Safira membayangkan apa yang terjadi antara dirinya dan Sagara beberapa hari ini. Meskipun kebencian Safira pada Sagara belum hilang sepenuhnya, namun Safira merasa ada sesuatu yang beda.Dia merasa sangat spesial. Sepulang dari rumah sakit, Sagara sangat perhatian. Dia selalu memperhatikan segala kebutuhannya.Kamu tidak sepenuhnya jahat seperti yang selama ini aku pikirkan. Aku dapat menemukan dan merasakan sisi baik dari dirimu, ucap Safira dalam hati.Safira menarik kedua tangan suaminya yang tengah menempel di bahunya. Safira memberanikan diri menggenggam tangan Sagara. Dia dapat merasakan kehangatan jemari suaminya.“Aku menghargai segala usahamu. Aku hanya bilang, terima kasih kamu sudah memperhatikanku be