Safira meninju tangan Sagara.
“Ngomong apaan sih kamu ini?” tanya Safira ketus. “Jangan jadikan fatwa dokter tadi sebagai senjata kamu ya. Enggak… kamu nggak akan menang… Aku belum seratus persen percaya padamu.”
Sagara terhenyak mendengar ucapan terakhir istrinya.
Pantas saja, dia selama ini dia belum rela menerima dirinya sepenuhnya, padahal dia sudah merasa sepenuhnya melakukan segala upaya agar mendapatkan tempat di hati Safira.
“Apa yang menghalangimu untuk percaya seratus persen padaku?”
“Udah ah, jangan bahas ayo, jalan!” pinta Safira.
“Aku nggak mau jalan kalo kamu belum berikan penjelasan.”
“Ayo, ah. Udah ya. Aku cape, Yang! Aku nggak mau membahasnya.”
“Aku ingin kita tuntaskan semuanya. Aku nggak mau kamu terus-terusan begini,” kata Sagara sambil menatap Safira dan mendekatkan wajahnya ke arah Safira.<
“Ya, resep asli Purwakarta, Mas,” jawab pramusaji.“Berapa seporsinya Kang?”“Lima puluh ribu. Mau berapa porsi, Mas.”Sagara teringat Mama dan Papa dan semua anggota keluarga. Dia pun memesan agak banyak.“Tiga porsi deh.”Setelah menunggu sekian lama, Sagara akhirnya meluncur pulang dengan hati yang riang. Dia membawakan satu porsi untuk istrinya, dua porsinya lagi di taruh di meja makan.Kalau nggak dimakan sekarang, bisa dimakan besok, kata hati Sagara.Sagara segera masuk kamar. Di sana istrinya sudah menunggu. Di hadapannya lengkap ada sepiring nasi.“Ini, Yang. Maaf ya, agak lama tadi motornya mogok,” ujar Sagara.“Alhamdulillah, akhirnya dapat juga.”Safira pun menikmati Sate Maranggi dan nasi dengan lahap.“Kamu makan bareng sama aku ya,” pinta Safira.“Lha kalau gitu aku jadi ngidam
“Apa yang dilakukan Ara itu sebuah kesalahan besar. Shalat Taubat sudah pasti harus dilakukan. Ya kita juga harus lakukan shalat itu, kita juga selama ini ikut andil karena kita mungkin ada yang salah saat mendidiknya. Ada yang harus kita benahi dari parenting kita, Pa.”“Sepakat. Insya Allah, kita akan terus berbenah. Papa akan agendakan ngobrol dengan Ara, terkait shalat Taubat ini.”“Pa, kita ajak mereka nginep di rumah ya?” kata istri Ustaz Reza.“Kita coba ya...”Usai acara wisuda itu, mereka pun pulang. Namun sebelum melajukan kendaraan, Ustaz Reza meminta izin kepada Pak Indra.“Pak, saya bermaksud mau ajak Fira dan Ara nginep di rumah ya?”“Ya, silakan. Alhamdulillah sekarang Fira sudah plong. Dia lebih leluasa.”Seperti hal saat berangkat, Sagara dan Safira masuk ke mobil Ustaz Reza. Sedangkan Berliana masuk ke mobil Pak
Sore itu, dua ruangan di rumah Ustaz Reza dipenuhi jamaah. Ruangan satu dipenuhi oleh kaum ibu majelis taklim. Sedangkan ruangan lainnya dipenuhi kaum bapaknya.Safira dan ibu mertuanya turut berdoa di antara jajaran ibu-ibu. Sedangkan Sagara dan Ustaz Reza duduk di antara kaum Bapak.Ustaz Reza sendiri yang memimpin pengajian. Acara dimulai dengan tausiyah dari Ustaz Reza. Selanjutnya ada pembacaan surah Al-Quran. Dan terakhir ditutup dengan doa.“Terima kasih atas kehadiran bapak dan ibu semuanya. Silakan hidangannya dinikmati,” ucap Ustaz Reza saat pengajian telah selesai.Para jamaah mencicipi hidangan. Dan ketika mereka pulang, mereka pun diberikan nasi kotak.Safira dan Ibu mertuanya membagikan nasi kota itu di depan pintu kepada jamaah yang pulang. Dia juga dibantu oleh kayak Sagara yang perempuan.Demikian pula dengan Ustaz Reza dan Sagara. Kedua membagikan kepada jamaah laki-laki. Mereka melakukannya hanya
“Aku punya beberapa pilihan nama. Tapi ini untuk nama depannya dulu aja. Nama belakangnya nanti cari ide lagi,” kata Sagara setelah berpikir selama beberapa menit.“Coba sebutin, aku penasaran,” pinta Safira sambil bergelayut di bahu suaminya.“Reina...” kata Sagara.“Hmmm… bagus,” ungkap Safira. “Terus apa lagi?”“Yang kedua, Tiara.”“Oke, noted. Yang lainnya?”“Moana,” ucap Sagara sambil tersenyum.“Kok Moana sih… kayak karakter di film aja.”“Kan yang ketiga ini biar sama maknanya kayak aku, Samudra. Kalau yang pertama, maknanya udah dekat sama namamu, dari nama batu mulia, Tiara itu Mutiara. Reina itu permata, kata itu dari bahasa Jepang.”“Ooh gitu, ya. Kamu suka yang mana?” tanya Safira.“Yang pertama atau yang kedua. Dua-duanya bagus.”“Ak
Safira berbaring di tepi ranjang, memandangi putrinya yang berada di tabung kaca dengan berlinang air mata. Putrinya terlahir prematur.“Jadinya siapa nama putri kita?” tanya Safira.“Tiara Sagara Putri,” kata Sagara.“Aku ikut saja, nanti panggilannya Tiar aja,” kata Safira tersenyum.“Tiar, wah kedengarannya sangat bagus. Pasti dia sangat suka dipanggil begitu.”“Kamu jangan sedih ya, insya Allah malaikat kecil kita akan kuat,” kata Sagara sambil merangkul istrinya.“Makasih, Sayang. Kamu sudah mendampingiku di saat-saat kritis.”Safira membayangkan kesakitan saat dia menjalani persalinan. Sagara tak beranjak sedikitpun di sisinya. Bahkan saat itu, pegangan tangan Sagara menguatkannya.“Nggak perlu makasih, Yang. Tugas dan kewajibanku sekarang adalah menjagamu. Enggak hanya kamu, sekarang ditambah aku harus menjaga Tiar.”
“Mohon maaf, kami hanya bisa berikhtiar. Takdir Allah berkata lain,” kata seorang dokter laki-laki memberikan kabar pedih itu di hadapan Safira dan seluruh keluarganya.“Tidak… anakku masih hidup. Kamu bisa bertahan, kamu akan kuat, Nak,” Safira tergugu. Tubuhnya yang lunglai ditopang oleh Sagara.Saat tiba di rumah sakit, nyawa si kecil Tiar tak terselamatkan. Dia sudah tak bernyawa. Dia meninggal dalam perjalanan menuju rumah sakitSafira menatap jasad putrinya dengan berlinang air mata.“Nak, kamu akan tumbuh besar. Kamu akan hidup bahagia bersama Mama dan Papa,” Safira mengajak jenazah si kecil Tiar.Semua yang menyaksikan pemandangan itu, tentu amat tersayat.Sagara memeluk Safira dengan erat. “Sayang, kamu harus kuat. Benar kata pak dokter, ini sudah takdir Allah. Sekarang kita harus bersiap mengurus pemakaman Tiar,” ucap Sagara.“Tidak. Dia nggak boleh d
“Aku hanya ingin tidur sendiri,” jawab Safira datar.“Apa aku mengganggu dan mengancammu?” Sagara benar-benar gemas pada istrinya.“Aku takut kamu menyakitiku lagi,” kata Safira.Sagara tertawa. Sungguh dia sangat menyayangkan, kenapa trend perubahan istrinya bergerak ke arah negatif?“Sayang, kamu lupa ya. Mana mungkin aku melakukannya. Kamu kan lagi nifas. Kalau aku memaksamu di saat seperti itu lagi-lagi aku menambah dosa. Percayalah, aku masih bisa bersabar menunggumu.”Safira kalah strategi. Dia benar-benar lupa. Memang benar dia sedang nifas.Namun sebenarnya bukan itu masalahnya. Entah mengapa dia merasa benar-benar muak dan tidak ingin berada di dekat suaminya.Namun Safira tak mau jujur. Dia tak ingin hati Sagara sakit. Dia tak bisa membayangkan jika malam ini dia harus tidur seranjang bersama suaminya.Malas banget. Tapi kalau aku blak-blakan, hatimu bisa r
Benua dan Berliana tampak mengobrol sangat akrab.“Kasihan sekali Kak Fira. Semoga Allah segera mengganti segala derita yang dialaminya dengan kebahagiaan,” kata Berliana.“Kurasa dia sangat terpukul,” ucap Benua.“Aku ingin sekali membuat Kak Fira terhibur, tapi gimana caranya ya?”“Mungkin kamu harus sering ajak dia jalan-jalan kali. Oia aku punya ide, tapi nggak tahu juga apakah ini ide yang bagus atau enggak?”“Apa, Kak?”“Mungkin biar Fira nggak terus-terusan bersedih, kita bisa jalan bareng ke mana gitu. Kita bisa liburan bareng. Yang aku tahu, dia itu pengen banget menginjakkan kaki di Menara Eiffel. Kita bisa ajak dia ke sana, kali aja itu bisa membuat dia lebih bahagia.”“Aku sih oke-oke aja. Coba aja nanti kita beli tiketnya. Nanti berangkat ke sananya siapa aja?”“Kita bisa berangkat berempat. Aku, kamu, Safira, da