Malam harinya, tepat setelah transfusi darah neneknya selesai. Dokter mengizinkan neneknya pulang untuk rawat inap di rumah. Di luar rumah sakit, sudah ada seorang supir yang menunggu mereka. Zayyad mengutus nya kemari untuk membawa mereka pulang ke vila. Sepanjang perjalanan, Alina dengan manja menyandarkan kepalanya di bahu neneknya. Matanya yang menatap ke depan, menerawang jauh pada percakapan antara ia dan Zayyad tadi sore di rumah sakit. Mengingat hal itu, sebuah pertanyaan pun terlintas di benaknya.
'Apakah aku ini misandris?'
Erina yang melihat cucunya kembali merasa sangat senang. Sepertinya Zayyad berhasil membujuk Alina pulang. Tangan tuanya pun mengelus kepala cucunya itu dengan lembut.
"Nenek senang Alin kembali"
Alina yang tengah melamun itu, sama sekali tidak mendengar ucapan neneknya tadi.
"Alin!" Erina yang melihat cucunya seperti sedang memikirkan sesuatu
"Biarkan dia fokus dengan sekolah dulu!"Mendengar hal itu, Zayyad hanya manggut-manggut saja mengerti. Lalu ia berkata dengan tegas. "Jika pendidikannya sudah selesai, aku akan terus mengundurkan diri" Jabatan bos besar sebuah perusahaan bukanlah keinginannya sama sekali. Dalam hidupnya, ia tidak pernah mendambakan hal itu."Baik! Tapi tentunya sesuai prosedur yang sudah aku buat""Prosedur?" Zayyad mengerutkan alisnya tak mengerti."Aku pulang dulu! Kita bahas hal ini di lain waktu"Begitulah percakapan mereka berakhir. Irsyad sudah pergi meninggalkan vila. Kini hanya Zayyad seorang yang duduk di ruang tamu. Diam dan memikirkan banyak hal. Detik jam dinding di ruangan, memecah keheningan. Dan ia masih bergeming di tempat. 'Prosedur apa yang kakek maksud?' Batinnya, bertanya-tanya."Zayyad!" Alina datang, terus menjatuhkan dirinya di atas sofa tunggal. Meman
Mendengar pertanyaan itu, Zayyad melirik sekilas kearah Alina. Sesaat, ia merasa bingung harus menjawab apa. Ia tidak pernah mengira pernyataannya sore tadi di rumah sakit, masih begitu membekas pada wanita itu. "Entahlah!" Rasanya agak sulit mengatakan 'tidak' karena di matanya wanita itu masih terlihat jelas 'misandris'. Terakhir, ia hanya mengucapkan kata ambigu itu, karena tidak ingin menyinggungnya terlalu jauh. Alina yang mendengar jawaban itu, seketika moodnya memburuk. 'Bilang saja jika aku memang sungguhan seorang misandris di mata mu!' Batinnya, menggerutu dalam diam. "Percepat!" Katanya, terdengar kesal. "Apanya?" Jawab Zayyad tak mengerti. Di samping itu ia menyadari perubahan emosi wanita itu. 'Moodnya terlihat tidak baik!' Batinnya, sambil melirik sekilas kearah Alina. "Percepat laju mobilnya!" Ucap Alina, terdengar ketus. "Kita tidak sedang terburu-buru! Begini saja sudah cukup
"Aku tidak! Kau saja" Ucap Zayyad sambil menutup buku menu itu. Ia sama sekali tidak bisa minum kopi di sore hari, apalagi jika itu di malam hari. Karena itu akan membuatnya susah tidur."Pesan satu!" Tegas Alina. Itu terdengar seperti titah kaisar yang tidak dapat dibantah. Ia membuka buku menu yang ada di meja, lalu mendorongnya kearah Zayyad."Alina..aku tidak—""Ce-pat!" Potong Alina yang tidak mau mendengar alasan konyol pria itu lagi. Baginya pria itu cukup unik. Di samping gynophobic, kebiasaan dan pola hidupnya itu berbeda jauh dengan para pria pada umumnya."Alina..aku tidak bisa mengkonsumsi kafein di malam hari, itu akan—""Mengganggu jam biologis mu!" Potong Alina yang sudah mampu menebaknya."Em!" Zayyad mengangguk mantap. Ia sangat berharap wanita itu tidak memaksanya kali ini. Mata coklatnya membulat lebar, tampak berbinar den
Mendengar hal itu, Zayyad tercenung. Ia mengangkat pandangannya kearah wanita itu. Melihat bola mata hitamnya yang jernih itu agak bergetar dan bulu matanya yang panjang nan lurus itu berkedip beberapa kali seperti menahan sesuatu. Jika memperhatikannya lebih jauh, itu tampak seperti melihat malam yang berkabut. Gelap dan kabur. Tapi tidak dapat menyembunyikan— Melankolisnya. "Aku sungguh sangat membenci pria. Aku sangat tidak menyukai jenis kelamin yang satu ini, tidak peduli mereka tua ataupun anak-anak" Alina membuat jari telunjuknya memutari bibir cangkir, matanya jatuh merenungi bentuk cangkir itu, mendalami permukaannya dan sesaat— Ia tersenyum pahit. "Aku tidak ingin menikah dan sengaja bekerja jauh di kota Z hanya untuk menghindari kalian" Menghindari 'kalian' para pria yang sangat membuatnya muak setiap kali bertemu, yang selalu mendorong keinginan jahat yang ada dalam lubuk hatinya muncul, untuk membalaskan dendam pada mereka. 'Padahal merek
Perjalanan pulang ke vila terasa cukup hening. Tidak ada diantara keduanya yang membuka topik pembicaraan. Diluar sana sangat sunyi. Setelah meninggalkan suasana hiruk-pikuk kota, suasana berganti dengan jejeran pepohonan yang menjulang tinggi. Dedaunan hijaunya tampak menggelap ditelan kelamnya malam. Sesekali terdengar nyanyian makhluk kecil dan desiran angin malam di sepanjang jalan menuju vila. Alina yang membiarkan kaca jendela di sampingnya terbuka, dengan bebas melongok keluar. Merasakan hembusan angin malam yang menerpa wajah putihnya. Di bawah biasan bulan, kulit putihnya yang seperti susu tampak pucat dan dingin. Sekilas Zayyad menoleh, tepat pada saat Alina sedang tersenyum kecil memandang rembulan. Mata coklat Zayyad terus bergetar, kedua tangannya yang memegang setir menjadi gugup dan tegang. "Awas ada kucing!" Teriakan Alina yang begitu tiba-tiba itu, membuat Zayyad terkesiap. "A-apa?" Ia pun dengan asal memutar setir ke samping untuk menghindar
Zayyad terdiam. Jauh dalam lubuk hatinya, ia sangat ingin menjawab 'Aku sanggup!' tapi entah bagaimana ia merasa tenggorokannya tercekat. Ia tak dapat mengatakannya. "Aku ke kamar mandi dulu" Kata Alina, melihat Zayyad yang tidak menggubris lagi perkataannya. Ia pun terus beranjak pergi ke kamar mandi. Beberapa menit kemudian, Zayyad sudah meluruskan badannya di atas sofa dengan kepala ia baringkan di atas empuknya bantal. Di samping itu Alina tengah bersandar di kepala ranjang sambil memainkan ponselnya. "Kau tidak bisa tidur?" Tanya Alina, melirik sekilas kearah Zayyad yang sedari tadi belum memejamkan matanya. "Sepertinya akan sulit!" Ia sudah menghabiskan secangkir latte di cafe tadi. Walau kadar kafein nya tidak begitu tinggi, tetap saja itu sangat mempengaruhi jam biologisnya. "Kemari lah!" Ucap Alina, sambil menepuk tempat kosong yang ada di sampingnya. Zayyad mengkerut kan dahinya dengan tatapan bertanya 'Untuk?' "Biar aku 'pok-pok'?"
Ding..ggggg Ding...ggggg Ding...ggggg Mata Alina terbuka lebar. Suara alarm yang keras dari ponselnya, sudah membuatnya terjaga dari tidur lelapnya. Perlahan ia menguap dan menggeliat dengan malas di atas kasur. Sebenarnya Ia ingin sekali melanjutkan tidur, menarik selimut dan melanjutkan kenikmatan surgawi nya. "Tidak bisa seperti ini!" Tiba-tiba ia bangkit keluar dari selimut lembut yang sangat menggoda itu. Mengambil ponselnya yang tergeletak di samping bantal, ia mematikan alarm. Itu setelan otomatis yang sudah dibuatnya setiap hari-hari mengajar. Tapi semenjak ia menikmati kehidupan nyonya kaya yang santai, ia sering mengabaikan alarm itu. Hanya mematikannya dan tidur lagi. "Hoaam..." Kesekian kalinya Alina menguap dengan wajah lesunya. Menatap ranjang besar yang empuk itu, ia merasa tergoda untuk menjatuhkan dirinya lagi di atasnya dan melanjutkan tidur. Tapi— "Tidak!" Alina menepuk kedua belah pipinya dengan keras. Terus diulang
Setelah beberapa menit berlalu, Alina melihat rebusan di panci mulai mendidih. Setelah memastikan itu cukup matang, ia pun mematikan kompor. Pada saat itu Zayyad baru saja muncul, berjalan kearah dapur. Kini ia sudah kembali dengan pakaian formalnya. Dada bidangnya sudah terbalut rapi dengan jas putihnya, lengkap dengan celana abu-abu gelap yang membungkus kaki panjangnya. Kali ini aroma lavender tercium lebih pekat daripada sebelumnya. Alina merasa tergoda untuk memeluk pria itu, mendekapnya erat dan menghirup seluruh aroma yang sangat menenangkannya itu. "Sudah mendidih?" "Em! Aku baru saja mematikan kompor nya" Zayyad memperhatikan Alina yang cukup bersahabat dengannya hari ini. Ia pun perlahan mengangguk sembari berkata. "Terimakasih" Setelahnya Alina pergi ke meja makan. Ia mengambil dua lembar roti tawar dan mengolesinya dengan selai kacang yang ada di atas meja. Lalu ia meletakkan dua lembar roti selai kacang itu di atas piring kosong. Pada saa