*Bab ini berisi adegan sensitif yang menyimpang, harap bijak dalam membaca dan melewatkannya jika tidak nyaman*
Alina sudah berada di taman yang berada di samping rumah sakit. Ia berjalan seorang diri, sekitar sunyi dan tak ada siapapun. Matanya menatap ke bawah, terakhir ia tidak dapat menahannya lagi. Kaca bening yang sudah dipertahankan begitu lama pun pecah, derai air mata meluncur dikedua belah pipinya, "Kenapa? Hiks..kenapa nenek tidak pernah bisa mengerti diriku?" Ia menangis sesenggukan, tubuhnya berguncang dan dadanya terasa sesak.
Mendatangi sebuah pohon besar, Alina memukul benda keras dan bertekstur kasar itu berkali-kali untuk meluapkan segala emosi yang berkecamuk dalam dirinya. Ia tidak berhenti memukul, mengepalkan tangannya, ia memberi tinjunya yang lebih kuat dari sebelumnya. Ia tidak berhenti melakukannya sampai melihat jari-jemarinya terluka, beberapa bagian k
Beberapa menit berlalu, Alina masih mendekap Zayyad erat. Angin di sekitar taman berhembus, bersamaan dengan itu terdengar dengkuran halus, Zayyad menautkan sepasang alisnya melihat kebawah. Menemukan Alina yang sudah tertidur begitu pulas dengan kepala bersandar di dadanya. Zayyad tersenyum kecil. Ia dengan lembut meleraikan Alina dari memeluknya dan menggendongnya.Zayyad tanpa sengaja melihat kedua kaki telanjang Alina yang diperban, sudah kotor oleh tanah dan bercampur sedikit noda darah. Lukanya masih basah, tapi wanita ini masih bersikeras berlari di atas tanah bebatuan dengan kaki telanjang, "Kenapa ceroboh sekali!"Zayyad kembali ke rumah sakit. Ia mendatangi ruang praktek yang kebetulan dokter yang berjaga di sana adalah seorang pria. Ia membaringkan Alina di atas brankar dan menoleh ke arah pria yang berkacamata tebal didepannya, "Dok, luka di kaki istri saya sepertinya terbuka. Ada noda darah diperban nya""Baik, coba saya lihat" Dokter pria itu melih
Zayyad menarik kedua sudut bibirnya, tersenyum puas. Tidak berpindah dari posisinya, ia semakin mencondongkan wajahnya ke depan, nyaris hampir menyentuh keindahan didepannya. Mata Alina terus membulat lebar, merasa sangat terkejut. Ia ingin membuka mulutnya mengatakan sesuatu, tapi kedekatan itu cukup membuatnya gugup nyaris kehilangan kata untuk berbicara. Tidak ada cara lain, Alina mencoba untuk tetap tenang dan menundukkan pandangannya kebawah. Dalam hati, entah berapa kali ia sudah mengumpati pria itu. Alina dapat merasakan pergerakan wajah Zayyad yang nyaris hampir mengenai wajahnya, itu perlahan turun kebawah. Tepat ketika mulut pria itu nyaris mencapai daun telinganya, Alina dengan geli mengangkat bahunya dan menurunkan kepalanya menghindar. 'Zayyad, awas saja jika kau berani melakukan yang tidak-tidak!' "Aku suka sikap mu yang patuh seperti ini" Zayyad membuka mulutnya, berbisik halus tepat di telinga Alina. Alina menegang,
Alina dan Zayyad serempak menoleh pada asal suara, menemukan seorang gadis kecil dengan rambut terkepang dua, memegang boneka beruang ditangannya, dan mata bulatnya yang besar menatap bersemangat kearah Alina yang duduk di atas trolli. "Ingin seperti kakak yang mana?" Tanya seorang wanita yang sepertinya adalah ibu dari gadis kecil itu. Wanita itu terlihat muda dan cukup cantik. Rambut hitamnya yang lurus tergerai rapi sepinggang dan ia mengenakan gaun bermotif bunga-bunga selutut. "Seperti kakak itu!" Gadis kecil itu dengan bersemangat menarik gaun ibunya, sedang tangannya menunjuk kearah Alina, "Aku juga ingin duduk di atas trolli" Katanya, suara anak-anakan nya terdengar cukup menggemaskan. Ibu gadis kecil itu menoleh kearah Alina, menganggukkan kepalanya tersenyum sopan. Alina sungguh tidak tau ingin menyembunyikan wajahnya kemana. Ia juga menganggukkan kepalanya, tersenyum canggung, membalas keramahan wanita itu. "Tidak bisa sayang, troli kita su
"Sayang.. aku meminta mu menggendong ku bukan membopong ku" Gerutu Alina, terdengar manja. Tangannya memukul ringan punggung Zayyad, siapapun yang melihat, sekilas dapat menangkap betapa harmonisnya hubungan pasangan itu.Zayyad berdiri tegap. Memutar tubuhnya menghadap Alina, tangannya segera mengangkat tubuh wanita itu dari trolli. Alina mengalungkan tangannya dileher Zayyad, ketika pria itu mulai menggendongnya. Mengangkat wajahnya, ia pergi mencium pipi Zayyad lembut, "Terimakasih"Zayyad tercengang. Otaknya berpikir keras, apa maksud Alina melakukan semua ini? Alina diam-diam melirik kearah Cavell, yang sejak tadi hanya diam menatap mereka tanpa bersuara. Sikapnya yang acuh tak acuh dan aura gelapnya yang dingin, membuat Alina sukar membaca pria itu."Kau ayahnya Atifa, ambil troli ini untuk putri mu. Katanya ia ingin duduk di atas troli" Tukas Alina, nada dan gaya berbicaranya, jelas sekali tidak sopan.Zayyad dan Chana tidak bodoh untuk menangkap k
Tepat pukul sembilan pagi, Zayyad terbangun dari tidurnya. Ia menemukan dirinya yang jatuh tertidur di atas pangkuan seorang wanita yang saat ini sedang terlelap dengan posisi duduk bersandar di kepala sofa. Mengulurkan tangannya ke atas, Zayyad berusaha mencapai wajah tirus itu dan mengusapnya lembut dengan jari telunjuknya.Ketika tidur, wajah Alina tampak begitu damai. Alisnya tidak mengernyit, dahinya pun tidak berkerut dan wajah cantiknya yang terbuai mimpi itu, cukup memanjakan mata. Tidak ada sisa air liur di sudut bibirnya, kulitnya pun tidak berminyak. Zayyad merasa tidak ingin melepaskan pandangannya dari keindahan itu...Alina mengerutkan keningnya, merasa ada seseorang yang menggelitik halus belahan pipinya. Membuka matanya yang terasa berat, ia menemukan dirinya yang duduk di atas sofa di ruang tamu. Melihat ke depan, televisi masih menyala dengan suara pelan. 'Aku ketiduran semalam!' Mengambil remote, ia mematikan televisi.Tapi masih ada yang meng
Ketika langkah Zayyad tepat mencapai pintu, tiba-tiba saja ia mengingat sesuatu, "Sudah sepagi ini, kenapa paman Ferdi tidak datang?" Pria paruh baya itu selalu mengabarinya lebih dulu jika berhalangan hadir dan memiliki hari libur di setiap akhir pekan."Sepertinya ada yang salah.." Gumamnya, ragu. Zayyad pun kembali ke ruang tamu, melihat Alina yang tampak tertawa kecil melihat acara komedi yang ditayangkan di salah satu saluran televisi. Tangan satunya memegang roti bakar yang baru saja dibuatnya. Terlihat baru digigit sepotong.Zayyad berjalan kearah sofa dan duduk di sampingnya. Alina terkejut, menoleh kearah Zayyad bertanya tanpa merasa bersalah sama sekali, "Kenapa kembali?"Zayyad memasang wajah tanpa ekspresi, menatap Alina serius.Alina tidak terlalu memperhatikannya, karena matanya fokus menatap televisi, "Bwahahahaa..dasar konyol! Keju slice mana bisa diparut? " Tawanya kelakar, menanggapi salah satu aksi lelucon di acara komedi itu.Za
"Ya" Zayyad perlahan bangun dari atas tubuhnya, dan duduk bersandar di sofa. Wajahnya terlihat murung. Atmosfer sekitar pun seketika berubah menjadi hening. Alina ingin menanyakan sesuatu tapi tertahan, ketika ia melihat tangan Zayyad mengambil kakinya. "Aku hampir saja lupa, perban mu sudah bisa dibuka" Zayyad membuka kain kasa yang membalut telapak kaki Alina, melihat lukanya yang sudah mengering. Alina sebenarnya masih sangat penasaran dengan kisah masa lalu Zayyad, tapi menilai dari sikapnya yang langsung saja mengalihkan keadaan. Alina tau kalau Zayyad sepertinya menolak membahas hal itu. Ia juga punya luka yang tak jauh berbeda, tidak senang jika ada seseorang yang mengungkit atau mempertanyakannya. Karena itu dapat mengoyak nya lagi dan akan sangat sulit untuk dipulihkan. Bahkan bekasnya saja belum hilang, masih berpikir untuk menggoresnya lagi? "Aku ambil salepnya dulu" "Em" Zayyad pergi ke lantai dua dan tak bera
"Ya, Bara sepupuku" Zayyad melihat perubahan ekspresi yang cukup signifikan di wajah Alina. Wanita itu terlihat seperti baru saja menemukan sesuatu yang menarik. Memutar otaknya, ia berpikir keras apa itu. Alina tidak mengira akan semudah ini menemukan dalang di balik penculikannya malam itu. Jadi seseorang yang menyuruh Cavell untuk merancang malam yang cukup biadab itu adalah Bara? Meremas jari-jemarinya, Alina tersenyum dingin. Ia tidak tau kenapa kehidupannya bisa terjebak dalam drama murahan seperti ini, "Kita bahkan belum pernah bertemu, tapi kau berani melakukan ini padaku?" "Melakukan apa? Siapa yang melakukannya?" Alina tidak sadar mengatakannya begitu saja. Menatap kearah Zayyad, haruskah ia memberi tahu pria ini? Tapi Bara adalah sepupunya dan Zayyad yang terlalu murah hati itu, selalu memaklumi setiap kejahatan yang Bara lakukan padanya. Tiba-tiba Alina m