Aula Hotel Blue Sky mulai ramai. Para tamu dari kelas atas saling berbincang. Bisnis atau barang mewah yang menjadi bahan obrolan. Eka tersenyum. Proyek yang telah menyita waktunya sebulan terakhir sukses besar dan pesta hari ini adalah untuk merayakannya.Namun, rasa bangga Eka dengan cepat berubah menjadi kecemasan. Dia tak sengaja melihat sosok familiar di antara para tamu. Gadis yang selama ini dirindu itu tak seharusnya berada di sana. Ya, Surtini tampak sedang sibuk menata kue-kue di meja.Eka memanggil salah seorang staf bagian makanan. "Setahu saya, gadis itu bukan bagian dapur, kenapa ada di sana?" tanyanya sambil menunjuk Surtini."Ah, itu karena Bu Sylvia, Pak. Beliau menambahkan menu kue dari toko kue favoritnya. Gadis itu dari toko kue tersebut," jelas staf."Oh begitu, terima kasih penjelasannya. Kamu bisa kembali bekerja."Staf bagian makanan itu membungkukkan badan, lalu pamit pergi. Eka seketika mendecakkan lidah. Mau seenak apa pun kue di toko Rukmini, mustahil seora
"Jadi, solusi apa yang kau tawarkan, Eka?""Menjalin kerja sama dengan perusahaan lain yang mumpuni dan mendapat simpati publik. Kita juga bisa menjaminkan beberapa aset," sahut Eka sembari menunjukkan beberapa dokumen.Gilang mengambil dokumen. Dia mengernyitkan kening saat membaca nama perusahaan yang tertulis di kertas. Keraguan menyusup di hati. Perusahaan Keluarga Pratama memang tidak akan menimbulkan masalah. Gilang hanya khawatir Bambang tidak akan menyetujui kerja sama dengan pihak Prasetya. Namun, Eka juga benar. Kedua perusahaan tersebut besar, keuangan stabil, dan mendapat simpati publik karena bersih dari kecurangan dan sering melakukan kegiatan amal. Gilang memijat-mijat keningnya yang mendadak berdenyut."Eka, kakekmu mungkin tidak akan setuju untuk Mahardika Group. Kamu tahu, kan, pendirinya bekas orang kepercayaan Om Danu.""Iya, Pak Gilang. Saya tahu benar perselisihan tak habis-habisnya antara Pak Bambang Hartono dan Pak Langit Prasetya. Tapi, bukankah generasi suda
Hanya dalam 6 bulan, Mahardika berhasil mengakuisisi perusahaan utama milik Hartono Group. Seperti perkiraan Eka, ayahnya memang tidak kompeten. Gilang mudah sekali memberikan tanda tangannya, sehingga aset juga bisa diambil alih dengan cepat. Hari ini, Bambang datang ke perusahaan. Namun, tindakannya sudah sangat terlambat. Dia hanya bisa murka kepada sang putra dan menggeram galak ke arah Mahardika yang tersenyum licik. Sementara Eka tentu saja ikut berakting marah."Kenapa Om Dika tega melakukan ini? Padahal, aku percaya Om benar-benar membantu kami!" serunya."Kau itu murid jenius, Eka. Kenapa masalah sepele begini saja malah tertipu?" ejeknya, tentu juga berpura-pura. Mereka justru sudah merencanakan kehancuran Bambang Hartono sejak awal.Brak!Bambang tiba-tiba menggebrak meja. "Puas kau, Mahardika! Ternyata kau sama busuknya dengan ayahmu!" umpatnya.Mahardika tertawa lepas. "Saya sedikit koreksi ucapan Anda, Pak Bambang. Ayah dari Mahardika sama sekali tidak busuk. Tapi, kala
Untuk Apa lagi kamu ke sini? Hah? Pergi! Pergi!" usir Hastuti dengan mata melotot.Dia begitu emosi. Suaminya sampai kewalahan menyabarkan. Awalnya, mereka hendak mengunjungi Rukmini. Kebetulan, tiba bersamaan dengan kedatangan Eka. Jadilah, Hastuti mengamuk.Keributan itu terdengar sampai ke dalam rumah. Rukmini dan Surtini ke luar rumah dengan tergopoh-gopoh. Melihat gadis yang dicintainya, Eka sempat-sempatnya mengerling nakal. Hastuti langsung berdiri menghalangi.Rukmini menghela napas berat. "Saya mohon pergilah, Nak Eka. Sudah cukup kamu menyakiti putri saya. Tolong jangan ke sini lagi," pintanya.Eka malah mengenggam tangan Rukmini. "Tapi, Ibu ... saya tidak berniat menyakitinya. Saya justru ingin membahagiakannya."Hastuti merangsek maju, melepaskan paksa genggaman tangan Eka. "Dasar gila! Kau pikir kami bodoh! Pulang sana! Pulang!" bentaknya dengan dada turun naik.Dia mendorong Eka dengan kasar. Sebenarnya, dorongan itu tidak terlalu kuat. Namun, Eka memang banyak akalnya d
Apa yang kau pikir ketika mendengar kata ibu? Seseorang yang mengandung dan melahirkanmu atau sosok tegar yang tetap membesarkanmu dengan kasih sayang meski hati tertoreh luka.~~~Gadis kecil itu terseok-seok. Beberapa kali kaki mungilnya tersandung dan hampir tersungkur. Namun, wanita bergaun hitam yang tengah menarik kasar tangannya seolah tak peduli, tetap berjalan dengan cepat. Bibir berlipstik merah darah tak sedikit pun menyungingkan senyum, membuat si gadis kecil memasang wajah muram.Surtini, begitulah nama yang diberikan wanita bergaun hitam untuk si gadis berusia 5 tahun. Nama itu diberikan dengan asal setelah mendengar berita korban pembunuhan di televisi. Tega, kejam, mungkin kata-kata itu pantas disematkan kepadanya. Namun, dia tak peduli. Anak semata wayangnya itu memang tak pernah diharapkan."Bu ... pelan-pelan jalannya," lirih Surtini. Dia melirik takut-takut. Bukan sekali dua kali, tubuh mungilnya dihantam dengan ikat
"Aduh, bagaimana kalau Pak Karta berbuat jahat sama anak itu?"Surtini semakin resah. Berurusan dengan rentenir culas macam Karta hanya akan meninggalkan banyak masalah. Bukan hanya dia, Rukmini dan Hastuti bisa saja ikut terseret. Gadis itu pun mondar-mandir tak jauh dari gudang."Paman jahat! Tolong!" Jeritan anak kecil dari dalam gudang semakin memilukan."Argggh! Aku tidak bisa membiarkan ini!"Surtini meletakkan keranjang kue di tanah. Dia bergegas menuju gudang. Sialnya, pintu gudang itu dikunci dari dalam."Tolong! Tolong! Huaaaa! Lepaskan aku, Paman Jahat!" Suara anak kecil di dalam gudang terdengar semakin memprihatinkan.
"Kakak itu tidak bersalah!" Jeritan melengking seketika menghentikan keributan.Warga yang tadi berdesakan hendak menghakimi Surtini refleks menepi. Mereka kompak menoleh ke asal suara. Ada empat orang berdiri di sana, dua orang dewasa, seorang remaja, dan gadis kecil yang hampir menjadi korban Karta."Itu orangnya, Ma, Pa! Itu dia orangnya, paman jahat yang mau buka-buka baju aku!" adu si gadis kecil, sambil menunjuk Karta. Mata bundarnya melotot, seakan-akan bisa keluar dari tempatnya.Warga saling berpandangan, lalu berbisik-bisik. Mereka mulai meragukan kebenaran ucapan Karta. Surtini yang tadi dicengkeram bersama-sama tak sengaja terlepas. Rukmini tak ingin menyia-nyiakan kesempatan. Dia cepat mengamankan putrinya."Penjarakan pam
"Sebelumnya, maaf dulu, saya tidak bermaksud menyinggung ...." Aris tak melanjutkan ucapannya, malah mengetuk-ngetuk meja dengan ujung jari, membuat Rukmini mengerutkan kening."Iya, Pak? Jadi, apa yang ingin di sampaikan?""Begini, saya dan istri sudah sepakat ingin memberikan tawaran untuk Surtini."Aris mengatur napas sejenak. Amira mencolek lengannya karena tidak sabaran dengan tingkah sang suami yang memang suka tidak enakan. Rukmini menatap suami istri itu dengan perasaan serba salah, ingin bertanya tetapi takut dianggap tidak