"Ck, sok akrab!" kata Zia lalu berjalan masuk ke dalam rumah.
Malam tiba, Sopandi masuk ke kamar putri bungsungnya itu. Melihat putri kesayangan sedang belajar dengan headset di telinganya.
"Lazia!"
"Lazia!"
Lazia tidak mendengar perkataan ayahnya itu, lalu Sopandi mendekatinya dan menarik headset yang bersarang di telingan Zia.
"Ayah?"
"Ayah ngapain ke kamar Zia?" tanya Zia.
"Kepala ayah sakit, tolong beliin obat!" jawab Sopandi memegang kepalanya.
"Ini udah jam 9, ayah! Mana ada warung yang buka," kata Zia.
"Tapi, Apotek enggak 'kan!" ucap Sopandi tersenyum.
"Ayah ... Zia lagi males!" ucap Zia dan memasukan lagi headset ke telinganya.
Sopandi langsung menariknya headset itu lagi.
"Kalau kamu enggak mau, besok ayah enggak akan kasih uang jajan!" ujar Sopandi lalu berjalan perlahan berharap Zia memanggilnya.
"Ayah!"
"Ya udah mana uangnya!" sahut Zia.
Sopandi sedikit tertawa, lalu berbalik badan dan memberikan uang.
Gadis cantik itu keluar dari rumahnya dan melihat pria yang tadi siang masih berada di teras rumahnya bahkan sedang duduk dengan secangkir kopi di meja. Menggunakan sarung, yang sarung itu ternyata milik ayahnya.
"Dingin, ya!" ujar Fabio sambil menyelimuti badannya dengan sarung.
"Lo ngapain masih disini?" sahut Zia dengan tatapan sinis ke arah Fabio.
"Nungguin, lo!"
"Kopinya enak tau, lo mau?"kata Fabio dan meminum kopinya.
"Jangan-jangan ini rencana ayah" Batin Zia.
"Ayah, ayah. Bukain pintunya!" teriak Zia mengedor-gedor pintu dengan kuat.
"Suaranya kecilin, tetangga lo udah pada masuk zona mimpi," ujar Fabio.
"Bodo!"
"Ayah bukain pintunya!" teriak Zia.
Setelah 15 menit mencoba. Tetapi pintu rumah tetap tidak terbuka, melihat sesekali ke arah pria itu yang sedang duduk sambil menikmati kopi.
"Lo siapa, si!"
"Kenapa lo ada di rumah gue?" tanya Zia.
"Gue Fabio. Bukanya tadi siang gue udah kas ..." Ucap Fabio terpotong saat Zia berjalan pergi meninggalkannya.
"Hey! Tungguin gue." teriak Fabio meminum kopinya sampai habis lalu berlari mengejar Lazia.
Di sepanjang jalan Lazia menuju apotek, pria itu bernyanyi. Fabio mengikuti Lazia dari belakang di iringi suara merdunya.
"Suara gue gimana? Bagus 'kan!"
"Sebenarnya gue itu pengen jadi penyanyi. Penyanyi yang terkenal sampai ke ujung eropa"
"Tapi, itu semua telah menjadi mimpi. Saat tadi siang aku melihatmu. Gue jadi pengen jadi iman lo," kata Fabio.
"Pengen rasanya gue sumpel tuh mulut pake keset." batin Zia dan terus berjalan.
Selesai membeli obat, Gadis cantik itu langsung berlari keluar dari pintu lain yang berada di apotek. Lazia berlari meninggalkan Fabio yang sedang menunggunya di luar.
"Siapa suruh ngikutin gue" gumang Zia.
Setelah pergi jauh dari apotek itu, zia berhenti berjalan. Saat zia melihat seekor anjing hitam sedang melihatnya tanpa di ikat.
Gok, gok...
Suaranya membuat Gadis itu semakin takut, Zia perlahan berjalan mundur.
"Hus, hus ...."
Sampai sebuah tangan memegang pundaknya yang membuat Gadis itu teriak ketakutan.
"Tolong, jangan sakitin gue!" ujar Zia jongkok sambil menutup matanya menggunakan kedua tangannya.
"Kenapa lo, ninggalin gue! Hihi ... Gue bakalan nakutin lo!"
"Suaranya kaya pernah gue dengar, ini pasti suara cowo itu," batin Zia.
Gadis itu membuka matanya dan benar saja itu suara Fabio. Zia berdiri dan berjalan kembali.
"Lo enggak takut sama anjing itu?" ujar Fabio.
Gadis berhenti berjalan, menarik nafas panjang lalu mengulurkannya kasar. Berbalik dengan melipat tangannya di dada.
"Gue bukannya takut! Gue cuma pengen lo ada gunanya sebagai cowo," ujar Zia memajukan bibirnya ke depan.
"Ok." sahut Fabio tersenyum lalu berjalan di depan.
Lazia langsung berjalan mengikutinya dari belakang. Setelah Zia berhasil melewati anjing itu, Lazia langsung berjalan mendahului Fabio.
Lazia terus mengusap tangannya seperti kedinginan di sepanjang perjalanan. Fabio terus memperhatikannya dari belakang.
"Lo bisa pakai sarung ini! Kalau lo mau," ujar Fabio.
"Oh iya gue lupa""Sini sarungnya, bukanya gue nerima tawaran lo! Gue cuma mau ambil sarung itu!" ujar Zia mengulurkan tangannya.Fabio memberikan sarung itu dengan senyum manisnya. Lazia langsung melipat sarung itu dengan rapih dan memasukannya ke dalam keresek tempat obatnya itu.Setelah Lazia sampai di depan rumahnya, Fabio langsung memutuskan untuk pergi dengan lambaian yang dia lontarkan, Lazia hanya membalasnya dengan tatapan jijik."Aneh" gumang Lazia.*****"Hari ini siapa temanmu ke sekolah?" tanya Sopandi di meja makan."Seperti biasa ayah ... Dewi!" jawab Zia sambil memakan roti yang telah zia lapisi selai.Bim...Tak lama kemudian suara klakson mobil terdengar. Lazia langsung menghambiskan rotinya dan meminum secangkir susu, lalu mencium kening ayahnya dan beranjak pergi ke sekolah."Pr udah lo kerjain belum?" tanya Dewi berjalan di tepi lapangan."Udah dong. Mana mungkin gue enggak kerjain tugas dari guru
"Itu semua dari gue!"Suara yang berasal dari pintu masuk, Lazia dan Dewi berbalik dan melihat seorang pria menggunakan jaket levis berjalan ke arah mereka."Jadi dia!" gumang Zia."Maaf kalau sederhana." ucap pria itu.Boby Dirgantara, kelas 12 IPS 1. Pria yang sejak kelas 10 telah menyimpan cinta untuk Lazia. Tapi, Lazia tidak pernah membalas cinta darinya. Padahal Boby tidak termasuk pria jelek di sekolah bahkan populer. Dia juga anak dari Jendral tentara AD. Mungkin ini yang ke 20 kalinya dia menembak Lazia."Lo mau enggak jadi pacar gue?"Pria bersujud di hadapan Lazia sambil mengakat sebuah kotak kecil yang berisi cincin emas. Dewi yang melihatnya saja ikut terbawa suasana."Soswet deh!" ucap Dewi tersenyum.Siswa-siswi yang berada di kelas itu berteriak keras mengucapkan kaliamat Terima berulang-ulang."Diam!" teriak Lazia.Seketika semua siswa dan siswi terdiam saat mendengar perkataan Lazia."Lo berdiri
"Tunggu bentar napa!" ujar Fabio lalu menoleh sedikit kebelakang."Nunggu apa lagi?" tanya Zia."Tunggu sampai tangan lo itu pegangan sama gue!" jawab Fabio tersenyum."Enggak! Gue enggak mau," bentak Zia.Fabio membalikan badannya dan memegang kedua tangan Zia lalu meletakannya di pinggang Fabio."Nah gini maksud gue, susah amat!" ujar Fabio lalu menjalankan motornya.Diperjalan Zia melepaskan pegangan ke Fabio. Membuat Fabio tersenyum miring, lalu sedikit mempercepat laju kendaraannya."Bisa pelan-pelan enggak, si? Kalau gue jatuh gimana?" tanya Zia panik."Jatuh? Itu buka urusan gue ... Bukannya dari awal gie udah bilang sama lo!" jawab Fabio tersenyum."Bilang apa?" ujar Zia dengan nada tinggi."Gue bilang lo pegangan sama gue!" sahut Fabio tertawa lalu menjalankan motornya sedikit lebih cepat dari sebelumnya.Dan tak lama kemudian, saat Fabio sedang membelokan motornya ke arah jalan masuk rumah Zia. Tiba-tiba dua
"Ganti enggak!" bentak Zia. Melototi pria yang sedang duduk tersenyum menonton televisi."Enggak! Ini seru tau, dari pada drama korea lo itu!" sahut Fabio tersenyum."Sini biar gue sendiri yang ganti!" kata Zia emosi.Zia mendekati Fabio yang sedang duduk di sampingnya, sembari berusaha mengambil remot dari Fabio. Fabio mengakat tangan kanan yang sedang memegang remot menghindari tangan dari Zia."Sini!" ucap Zia yang masih berusaha."Enggak gue enggak mau!" tersenyum Fabio."Sini!"Yang akhirnya Lazia berhasil mengambil remot dari Fabio. Namun Lazia harus terjatuh ke dalam pelukan Fabio, di ikuti Fabio yang terjatuh terlebih dahulu ke sofa. Mereka saling menatap satu sama lain, hembusan nafas mereka rasakan."Kenapa gue jadi dek-dekan gini?" batin Zia."Gadis ini benar-benar cantik!" batin Fabio tersenyum."Dasar modus!" ketus Zia. Sembari mengambil remot dan duduk kembali di tempatnya."Tau aja kalau gue modus." uca
Chit!Taxi yang ditumpangi Lazia dan Fabio berhenti di depan rumah makan sederhana yang berada di pinggir jalan raya.Lazia mengkerutkan dahinya, melihat ke arah warung yang berada di samping pintu keluarnya. Lalu melihat kearah Fabio, yang ternyata Fabio sedang melihatinya dengan senyum tipis di wajahnya."Tunggu apa lagi? Ayo turun." ujar Fabio lalu beranjak keluar dari taxi.. . ."Makasih mas!" teriak Fabio. Melihat taxi yang ditumpanginya telah berjalan pergi sembari melambaikan tangan.Lazia masih tidak bisa membayangkan jika harus diner di sebuah rumah sederhana di pinggir jalan. Lazia terbangun dari lamunannya saat Fabio merangkul erat Lazia dan membawanya masuk.Di dalam rumah makan itu, ada seorang wanita yang merupakan pemilik rumah makan. Melihat tersenyum ke arah Fabio yang sedang merangkul Lazia."Lo apa-apaan, si? Lepasin!" bentak Zia dan melepaskan rangkulan Fabio dengan kasar."Galak amat," ucap Fabio terkekeh.
"Siap kapten!" sahut Fabio senyum semangat sembari hormat ke arah Zia."Ya udah, lo duduknya disana dong!" menunjuk kursi yang ada di depannya, "Jangan deket-deket gue juga!" ucap Zia mendorong lembut pundak Fabio sembari tersenyum tipis di wajahnya."Iya-iya." kata Fabio tersenyum dan berjalan ke arah kursi yang telah di tunjuk Zia tadi.Akhirnya makanan yang Lazia tunggu pun datang. Makanan yang sama dengan makanan yang Fabio makan tadi. Lazia mengesekan kedua tangannya siap-siap untuk menyantap lahap makanan yang ada di depannya, namaun niat Lazia terhenti saat melihat Fabio yang dari tadi sedang memperhatikannya."Lo mau?" tanya Zia dengan raut muka datar."Enggak" mengelekan kepalanya, "Kan, gue udah makan tadi," jawab Fabio"Oh." ucap Zia.Tak memikir lama lagi, Lazia langsung menyantap hidangan itu dengan lahapnya. Apa lagi Lazia benar-benar lapar karena jam telah menunjukan pukul 19:13 yang biasanya Lazia makan malam jam 18:03.
"Gue nyakin banget lo ada rasa sama gue, enggak penting gue tau sejak kapan dan dimana. Yang pasti gue enggak akan pernah suka sama lo, apa lagi harus cinta! Enggak akan pernah!" menaikan sedikit intonasi suaranya."Jadi mulai sekarang lo harus jauhin gue, sebelum lo nanti sakit hati. Ok!" ujar Zia dan kembali berjalan meninggalkan Fabio yang sedang berdiri."Gue akan kasih tau lo, kalau cinta itu bukan sekedar kalimat!" gumang Fabio tersenyum lalu berjalan mengejar Zia.Lazia akhirnya tiba dirumahnya, setelah empat puluh lima menit lamanya Lazia berjalan. Habis sudah penderita pada kaki betisnya. Saat itu sudah ada Sopandi, ayah Lazia yang sedang duduk di kursi teras rumahnya dengan ditemani secangkir kopi."Akhirnya sampai juga!" teriak Zia ke udara lalu berjalan masuk. Sopandi hanya menggeleng-geleng kepalanya sembari tersenyum melihat tingkah laku putri bungsunya itu."Kaya ya Lazia seneng banget tuh na, Fabio!" ucap Sopandi tersenyum."Iya om
"Baik, sebutkan nama kalian satu persatu!" ujar bu Guru."Fabio Zulkar, IPS 1," ucap Fabio tersenyum.Menulis nama Fabio, "Kamu anak baru itu 'kan," kata bu Guru."Iyah bu!" celetuk Fabio tersenyum."Ganteng-ganteng kok enggak ada kedisiplinan," gumang bu Guru pelan."Selanjutnya!""Lazialita Hidayanti, IPA 2," ucap ZiaMenulis nama Lazia, "Selanjutnya!" kata bu Guru."Dicky Afrizal, kelas unggulan IPA 1," ucap Dicky."Kok kamu bisa terlambat, si? Pantesan aja ibu enggak lihat kamu di lapangan basket!" balas bu Guru lembut sembari menulis nama Dicky."Ya udah, sekarang kalian boleh masuk ke kelas kaliang masing-masing""Ingat! Langsung masuk kelas." tegas bu Guru.Mereka bertiga langsung berjalan masuk ke dalam kelas mereka masing-masing.Lazia berjalan mengendap-ngendap saat dirinya satu meter di depan pintu kelasnya. Lazia berdiri melihat kelasnya dari jendela, yang ternyata sedang tidak ada guru. Tapi,