Keceriaanku semalam terbawa hingga pagi hari saat di kampus. Entahlah, setiap kebersamaan yang kulalui bersama Elis dari satu momen ke momen lainnya seakan terus me-recharge hidupku. Mindset-ku terhadap tugas-tugas kuliah pun makin cenderung ke arah yang lebih positif. Siang ini diskusiku dengan dosen di kelas terasa begitu bergairah dan semangatku seakan meletup untuk segera menyelesaikan tugas-tugas makalah.
Sebenarnya aku tidak berbeda dengan mahasiswa pada umumnya. Kuakui, para dosen seakan-akan tak punya hati dengan membanjiri kami dengan banyaknya tugas setiap harinya. Namun, setiapkali jenuh menyapa—apalagi sejak merasakan ‘sensasi’ menjadi guru di SMU Insan Kamil—aku kembali pada pola pikirku: bahwa dosen memiliki tujuan tersendiri saat membombardir mahasiswanya dengan tugas makalah. Bukankah untuk menyusun makalah yang baik selalu membutuhkan referensi? Untuk mendapat referensi itulah, mahasiswa dituntut kreatif dan rajin men
Untuk Pak Bram di tempat.Assalaamualaikum, Pak. Sebelumnya saya ucapkan terima kasih kepada Bapak. Kartu-kartu penyemangat dari teman-teman telah membuat saya menangis haru. Saya menjadi lebih hidup, yang selama ini saya merasa tak ada yang peduli dengan saya. Kartu-kartu itu membuat saya bersemangat, ternyata saya memang tidak sendirian di dunia ini. Terima kasih, Pak. Ini sudah cukup menunjukkan pada saya bahwa Bapak bukan guru biasa. Maafkan kelancangan saya terhadap Bapak, saya sadar itu sangat salah. Saya tak mau bersedih lagi akan masalah keluarga yang saya hadapi. Saya tak mau bersedih lagi akan penyakit yang saya derita. Bapak bena
Rumah Sakit Pondok Indah, Jakarta Selatan.Harap dan cemas meliputi hati dan langkah-langkah kami saat menyusuri lorong-lorong panjang menuju kamar dimana Marsel terbaring saat ini. Saat suster yang menjaga ruangan mengatakan bahwa Marsel telah dibawa ke kamar operasi, bersama 20 orang muridku kami segera menuju ke sana.Sungguh ruang tunggu yang mencekam. Dingin. Sepi. Hanya di deretan bangku panjang inilah kami diperbolehkan menunggu hingga operasi dinyatakan selesai, persis di depan sebuah ruangan yang tertutup rapat. Tante Marsel saat ini ada bersama kami. Di sebelahnya duduk seorang pria gagah setengah baya—papa Marsel—yang juga terlihat muram.Satu per satu dari kami menyalami kedua orang itu.”Kami mohon doa dari Bapak, dan murid-murid Bapak semuanya,” pinta papa Marsel, tersendat-sendat. Wajah pria berpakaian necis itu terlihat berduka. “Doakan, mohon doakan anak saya,”Sekuat tenaga papa Marcel berusaha
Aku tertegun mengetahui tekad dan keinginan Fajrin. Apalagi, dia mengucapkannya dengan mimik serius tanpa aksen Jawa seperti biasanya. Aku beruntung memiliki sahabat seperti dia: seseorang yang tangguh, punya karakter, kepribadiannya khas, dan tidak suka ikut-ikutan. Selama dekatnya dengannya pun, aku merasa dalam diri ini ada beberapa hal yang berubah ke arah yang lebih baik.Fajrin memberiku pengalaman berharga bukan melalui ceramah-ceramah atau dengan cara terang-terangan mengajakku memperdalam agama. Salah satu cara Fajrin yang membuatku tersentuh adalah saat dia mengajakku berlibur ke kampung halamannya di Bumi Jawa, di kawasan sekitar Gunung Slamet yang berpanorama alam sangat indah, yang begitu sejuk dengan banyaknya kebun-kebun stroberi. Aku diperkenalkan pada para santri sahabat-sahabat Fajrin. Melalui obrolan dan diskusi ringan kami seputar agama, semakin bertambahlah wawasanku mengenai Islam dan bagaimana menjadi muslim yang sesungguhnya.“Dari dulu pu
”Ya, saya sering lihat Sylla dan teman-temannya sesama pengamen di Pasar Jumat, Lebak Bulus, Pak.” Ungkap Nelwan siang itu. “Dia memang sempat cerita sama saya tentang kerjaannya itu. Kadang dia ngamen di metromini jurusan Blok M, kadang di bus Mayasari jurusan Bekasi dan Cikarang.”Saat ini sudah jam istirahat. Nelwan kuminta datang menemuiku di kantin sekolah. Kami memang mulai akrab sejak sama-sama ‘berdamai’ dengan Marsel beberapa waktu lalu.”Kamu bisa antar saya ke tempat Sylla mengamen?””Bisa, Pak, kebetulan hari saya bawa motor. Nanti Pak Bram aja ya, yang nyetir motornya,”Tak kusia-siakan kesempatan itu. Selepas maghrib, begitu jam belajar berakhir, Nelwan benar-benar menepati janjinya mengantarku mencari Sylla.Di luar dugaanku, suasana petang menjelang malam ternyata tak membuat kami kesulitan menemukan gadis itu di antara para pengamen jalanan. Ya, kami menemukan Sylla. Dalam
Esoknya di sekolah, sebuah insiden kecil kembali menyeret langkahku cepat menuju ruang kelas XI IPA. Sebuah pemandangan tak menyenangkan tersaji di depan mata, seperti drama remaja yang tak layak ditonton anak-anak yang membuatku lagi-lagi beristighfar dan menarik napas berat. Kejadian semacam ini seakan telah menjadi ‘makanan’ sehari-hariku di tempat ini, yang suka atau tidak suka harus kubereskan. "Ayo! Lawan! Kamu pasti menang, Nay!” “Hahaha! Syllaa, ayoo tunjukkin jiwa preman elo! Masa kalah sih?!” Di tengah-tengah kelas, tampak Nayyara dan Syilla tengah berseteru. Saling memaki, mengumpat, saling berjambak rambut ‘lawannya’ satu sama lain. Herannya tak satu pun teman-teman mereka berusaha melerai. Seisi kelas malah menambah suasana kian panas dengan menyorakkan dukungan. “Piting dia, Nayya! Elo mah kereeen! Hahaha!” “Ayo, Sylla! Makan tu jablai!” Aku tidak tahan lagi. Kugebrak-gebrak meja di dekatku. "Nayya! Sy
Aku masih harus menunggu azan maghrib berkumandang. Menunaikan sholat tiga rokaat, barulah bisa bergerak menuntaskan misi hari ini. Mencari Syilla.Suasana Pasar Jumat di Lebak Bulus masih persis seperti kemarin petang saat Nelwan mengantarku mencari Sylla. Intuisiku bicara bahwa Sylla berada di sini sejak siang tadi begitu kabur dari sekolah. Kukelilingi tempat yang sama seperti kemarin, mencoba menyeruak kerumunan orang dan mengamati para pengamen yang bergerombol di sana. Tidak ada. Tak kutemukan muridku yang berambut pendek itu.Saat raga mulai letih, tiba-tiba mataku memergoki sesosok pengamen—masih muda dan tampak kumal—yang seingatku kemarin dia memberikan gitar kepada Sylla. Ketika dia melihat ke arahku, tak kusia-siakan kesempatan itu."Maaf, Mas, saya mencari Syilla. Apa dia ke sini?""Oh, tadi dia naik bus jurusan Bekasi, Mas,” sahut pengamen itu sambil membetulkan senar gitarnya yang mengendur."Mas t
Aku tertegun melihatnya beraksi di depan para penumpang, di atas bus yang melaju. Syilla, indah suaramu! Tuhan memberimu anugerah luar biasa, dan kaumanfaatkan itu untuk memperjuangkan sekolahmu. Aku nyaris kehilangan kata-kata yang mewakilkan kekagumanku padamu.Sebuah lagu yang cukup populer berlirik bahasa Inggris selesai dia nyanyikan atas permintaan seorang penumpang di barisan depan. Aku berdiri perlahan dari duduk, dan berjalan merambat ke arahnya. Memergoki keberadaanku di dalam bus, Syilla terlihat ingin menghindar dari kejaranku. Sayang sekali gerakannya masih terlalu lamban, karena dengan sigap aku lebih dulu meraih gitar dalam genggamannya.Apa mau Bapak sebenarnya? Mungkin itu yang ingin dia ungkapkan melalui tatap tajam matanya saat gitar itu berpindah ke tanganku."Kasih Bapak kesempatan berduet denganmu. Satu lagu.” Ucapku, kubalas tatap tajamnya dengan senyum. “Jika gagal, Bapak tak akan mengganggumu lagi. Tapi kalau Bapak b
Syilla menolak kutemani hingga larut malam. Selain lebih nyaman bersama teman-teman pengamennya itu, mungkin dia canggung ada aku di dekatnya. Karenanya aku memutuskan pulang setelah menyempatkan diri sholat Maghrib di perjalanan.Perasaan tak enak mengusikku begitu sampai di rumah indekos. Tidak biasanya umi Elis duduk di teras depan selepas maghrib begini, apalagi dengan wajah murung seperti itu. Dia seperti sengaja menunggu kepulanganku.“Assalaamualaikum, Umi,” sapaku sekaligus bersalam.Melihatku sudah ada di dekatnya, umi Elis bergegas bangkit. Benar, tidak seperti biasanya dia segelisah ini. “Waalaikum salaam. Alhamdulillaah kamu pulang. Tolong Elis, Bram!”“Elis kenapa, Umi?” “Sebelum maghrib tadi Elis nelepon dari kampus, katanya dia mendadak demam dan nggak kuat bawa motor. Umi sudah berkali-kali telepon Abi, bilang mau jemput ke sana t