“Tapi, Pak, kakaknya Edo dulu mati di sekolah ini karena dibunuh oleh murid SMK Tunas Bangsa,” tukas Derryl, mencoba memberi alasan agar aku membenarkan rencana itu.
“Oh, ya? Lalu apakah tawuran akan terus jadi semacam tradisi karena dari generasi ke generasi dua sekolah ini masih saling menyimpan dan membalas dendam? Apapun itu, saya harap, tidak ada satu pun siswa di kelas ini yang ikut tawuran.” Ucapku tegas.
Seisi kelas hening. Sebagian dari mereka diam menunduk. Hanya Derryl yang kemudian berdiri, menyandang tas, lalu berjalan ke arahku diikuti dua orang temannya.
“Maaf, Pak. Saya nggak bisa. Yang mati itu sepupu Edo, Pak, dan Edo adalah sahabat saya! Saya nggak bisa maafin mereka!” Derryl menatapku tajam, menggeleng-geleng, lalu memimpin
Dengan berbalut lelah yang sangat, aku kembali ke rumah indekos. Penat pun terobati ketika kulihat Asep muncul bersama piring berisi gorengan yang dibawanya. Pikiranku sedikit tenang melihat senyum cerianya dan aroma pisang goreng yang sepertinya lezat. “Aa Bram, kata Umi, malam ini Aa mesti ngajarin Asep matematika. Besok, Asep ada ulangan.” Katanya.Kuacak-acak rambut Asep yang berpotongan mohawk, yang belakangan memang sedang trend bagi remaja pria. Ah, lengket! “Sejak kapan rambut Asep kayak gini?” tanyaku saat mencium aroma kuat hair wax dari tanganku.“Aa nggak tahu, ya, kan Asep mau jadi rocker!”“Rocker?” ulangku sambil tertawa miris. “Loh, kenapa? Aa ng
Kini semuanya seakan terlambat. Elis sudah menganggapku telah ‘terikat’ dengan gadis lain. Penyesalan ini membuatku menghindar ketika Elis menatapku dengan sorot mata menyimpan sesuatu : entah amarah, kesal, atau kecewa. “Elis ... Elis akan kasih keputusan itu sekarang, Abi,” kata Elis tiba-tiba sambil berdiri dan menunduk di hadapan ayahnya. “Insya Allah, Elis pun siap jadi istri Kang Hafiz.” Berbanding terbalik denganku, kudengar Abi mengembuskan napas lega seraya berucap, “Alhamdulillaah!”Aku bingung, tak tahu harus berbuat atau berbicara apa. Pura-pura senang? Atau pura-pura sedih? Atau gabungan dari keduanya?“Nah, Bram, Elis sudah bilang setuju. Artinya, nggak lama lagi setelah Elis lulus S1, mudah-mudahan Abi bisa segera menggendong cucu.” Ungkap Abi sambil ters
Astaghfirullaahaladziim! Siapa para remaja asing itu? Berbulan-bulan mengajar di sini, aku tak pernah melihat tampang mereka. Aku tak mengenal mereka! Berbaur dengan para siswa dari SMU Insan Kamil, mereka saling adu jotos setelah berhasil menerobos pos satpam yang setahuku biasanya selalu dijaga ketat oleh petugas kemananan. Apa yang harus kulakukan? Para guru! Ke mana mereka semua?! Kulihat dari jauh, pintu ruangan guru tertutup rapat, dimana seharusnya mereka tak tinggal diam dengan keributan berdarah ini! “Kalian! Kembali ke kelas masing-masing! Tutup pintu! Cepat!” teriakku pada siswi-siswi yang masih berkeliaran di luar dan sebagian di antaranya berlarian menuju kelas. Dengan gemetar dan nyali yang tak seberapa besar, kukawal beberapa siswi yang masih di luar hingga masuk ke kelas mereka dan kupastikan pintu-pintu itu terkunci ra
Aku seperti terbangun dari tidur. Perlahan aku membuka mata. Alhamdulillah penglihatanku kini jelas sudah. Kulihat Pak Tris duduk di sebelahku. Saat kulihat sekeliling ruangan, ternyata kami hanya berdua. Tak ada orang lain lagi di kamar perawatan berdinding putih bersih dan beraroma khas obat-obatan ini. “Alhamdulillah, Bram sekarang sudah sadar.” Sambut Pak Tris dengan senyum hangat. “Bukan hanya Bram yang cedera. Banyak siswa-siswa kita yang terluka. Polisi telah mengamankan anak-anak yang menyerang sekolah kita. Sekarang sekolah sudah aman meski dalam seminggu ke depan akan diliburkan.” “Semoga ke depannya, kita bisa lebih waspada, ya, Pak. Jangan sampai terulang lagi kejadian itu. Kasihan anak-anak yang nggak tau apa-apa,” ucapku lemah. &l
Namun, Sulis mengurungkannya ketika seseorang perlahan-lahan mengetuk pintu kamar. “Assalaamualaikum,” Kepala Elis tersembul sedikit ketika pintu didorong dari luar. “Waalaikum salam,” sahutku dan Sulis, hampir bersamaan.Kulihat Elis tersenyum saat mengetahui Sulis ada bersamaku di ruangan ini. Sebaliknya, begitu melihat kedatangan Elis, Sulis cepat-cepat berdiri dari duduknya dengan sikap canggung. “Nggg, maaf, Mas Bram, kalau begitu Sulis di luar dulu, ya,” katanya.“Lho, mau ke mana? Saya Cuma sebentar, kok, cuma mau nganterin titipan dari Umi untuk Aa Bram.”Setelah meletakkan buah-buahan dalam plastik transparan
Suara muadzin dari masjid rumah sakit yang menyuarakan azan Subuh menyempurnakan kesadaranku, pagi ini. Baru jam lima, tetapi di luar sana rona fajar pagi sudah mulai terlihat.Ayah Fajrin yang menjagaku sudah bangun lebih dulu. Beliau sengaja membuka jendela kamar, membiarkan angin pagi yang segar mengembus dan menyapu wajahku. Setelah menungguku bertayamum sebelum sholat Subuh, Bapak meninggalkanku untuk sholat di mesjid. Beliau pun sempat meminta izin pada perawat ruangan, yang datang untuk mengecek keberadaan pasien dan mengantarkan segelas susu hangat.Bapak belum kembali ke kamar begitu aku selesai sholat. Di luar sana, aktifitas rumah sakit di pagi menjelang siang ini sudah kembali ramai. Sesekali, lalu-lalang perawat yang membawa pasien disertai rombongan keluarganya terlihat melalui jendela kamarku. Namun, hiruk-pikuk itu makin tak membuatku nyaman. Aku kian merasa tak berteman. Sendiri. Hampa.Kuraih ponsel yang kutaruh di bawah bantal. Tak tahan
Setelah itu, perlahan Sulis berdiri dari duduknya. Memandangku lagi dengan daerah sekitar mata yang kali ini benar-benar basah, lalu mengeratkan pegangannya pada tasnya. Bersiap untuk pergi.“Sulis, tunggu!” cegahku akhirnya. Tak mungkin aku membiarkan gadis yang tak bersalah itu benar-benar pergi dengan hati terluka, tanpa sepatah kata pun penjelasan dariku. “Maafkan aku, Lis. Aku nggak tahu harus memohon maaf padamu dengan cara apa. Semua ini terjadi di luar kehendakku. Aku nggak pernah tahu kalau selama ini Fajrin memilihku untuk menemani hidupmu.”Kudengar Sulis menghela napas, dan tersenyum menatapku saat mengembuskannya pelan.“Ya. Sulis mengerti itu, Mas.” Katanya. “Mas Bram nggak perlu minta maaf, bukankah semua ini terjadi karena niat Bapak? Hmm, seharusnya dulu Mas Bram bilang saja terus terang sama Bapak, bahwa Mas Bram nggak bisa menerima keinginan Mas Fajrin. Ah, tapi sudahlah, Sulis mengerti kok kebingungan
"Jaga diri baik-baik. Jangan sungkan mengabari kami kalau ada apa-apa.”Demikian Bapak berpesan, sementara Ibu memelukku erat-erat dan Sulis memandangi kami bertiga sambil tersenyum-senyum. Inilah momen saat kami berpisah. Keluarga baruku ini harus kembali ke Tegal. "Kalau liburan, pulang ke Bumi Jawa, ya, Nak," Ibu mengingatkan sambil tak henti menyusut air mata. Aku yakin, Ibu pun mulai mengganggapku sebagai pengganti Fajrin. “Insya Allah, Bu. Ibu yang sehat-sehat, ya,” sahutku. “Sulis, titip Bapak dan Ibu, ya?” “Iya, Mas. Mas Bram juga, kalau Sulis kirim message, jangan kelamaan balasnya,” “Iya, iya, Dek, pasti Mas Bram balas.&rdqu