"Tentu suka dong, ternyata selera Capa sejoli juga dengan Cama. Cama kok lelah ya," ucapnya sembari bersandar ke suaminya. "Kamu lelah? Tapi terkesan dan bahagia, kan?" tanya Fariz. "Iya Capa," jawab Salma. Setelah semua selesai, Fariz dan Salma ke kamar. Mereka masih memakai kostum resepsinya. Rasanya, Salma sangat ngantuk dan ingin langsung tidur. Ia segera merebahkan tubuh tanpa ganti baju. Matanya terpejam, meski ia belum tidur. Fariz berusaha terus membangunkan Salma supaya membersihkan dirinya dulu. "Sayang, ganti baju dulu dan bersihin make upnya," ucap Fariz namun tak dianggap oleh Salma. "Cama, jangan begini, ah!" Fariz mengecup keningnya. Tapi hasilnya tetap saja. Salma tetap diam dan terlihat seperti sudah tidur beneran. Fariz jadi tidak tega mau melanjutkan membangunkan, tapi kostum yang dipakai juga pasti tidak membuat dirinya nyaman untuk tidur. "Bangun, nggak? Kalau nggak mau bangun, ya udah Capa yang melepas kostum kamu ini keseluruhan!" Seketika Salma terbangu
"Eh, Asma ngomong apa, Sal?" tanya Rifki. "Asma minta dedek bayi, Ayah. Kan Ontynya Siska habis acara rame-rame juga punya dedek bayi," ucap Asma dengan polosnya membuat Rifki dan mamanya yang baru datang juga tertawa. "Hahaha … itu ceritanya Asma habis dari acara tujuh bulanan ontynya Siska waktu di luar negeri. Tapi permintaan bagus nih untuk kalian, udah ada belum?" tanya Rifki. "Ooo begitu, hahaha ... masih kosong Kak, dan," "Baiklah Asma. Onty Salma akan berusaha yaaa, do'akan cepat ada dedeknya," sahut Fariz. "Ah iya Asma. Minta juga ke Ayah sama Mama yaa, biar Asma bisa serumah dengan dedek bayi," lanjut Salma. "Emang Ayah dan Mama bisa ya, Onty? Kan nggak habis rame-rame." Celotehan Asma semakin mewarnai obrolan tersebut. Asma hanya berpikir, anak kecil itu memahami kalau habis ada acara rame-rame yang menyudutkan suami istri, itu berarti akan bisa ada dedek bayi. Padahal, yang ia hadiri itu ialah acara tujuh bulan kehamilan, sehingga dekat dengan proses persalinan. Asm
"Aku Wildan, masih ingat, kan?" tanya Wildan dari telepon. "Oh iya, kita sejurusan kan, ya?" tanya Salma sengaja loudspeaker. "Iya betul. Kamu ada waktu hari ini?" tanya Wildan. "Maaf, aku sibuk," jawab Salma. "Mmm, sama laki-laki itu ya. Dia siapa sih? Kalian sudah seberapa dekat?" Salma sangat tidak suka mendengarnya. Siapa dia? Terlalu penasaran saja dengan orang lain. Papa Rahman hanya tertawa mendengarnya. Hal-hal semacam ini juga yang ingin papa Rohman hindarkan, kenapa papanya menjadikan sebuah syarat harus menikah dulu sebelum kuliah. "Dia suamiku," jawab Salma mematikan sambungan telepon dengan kesal. "Hahaha … bisa mencerna nasihat Papa?" tawa papa Rohman. "Hehe, iya Pa." Salma jadi malu mengingat waktu dulu di depan papanya. *** Akhirnya setelah beberapa hari, hari itu peresmian panti dilakukan. Semua yang akan menempati panti itu, beserta teman-teman Salma yang siap membantu juga datang. Asma juga tidak lepas dari dekat Salma. Ia ikut saja dari sebelum acara dim
"No! Kan Asma ingin ikut beli," ucap Asma."Ya sudahlah, Capa ikut ke tempat pentol juga aja mendingan," ucap Salma.Sebenarnya itu tidak beli. Karena Fariz sudah menyediakan berbagai makanan di sana. Mulai dari makanan ringan, jajanan dan juga makanan berat.Mereka sudah bilang ke Asma kalau itu gratis. Tapi ia tetap ngeyel pokoknya beli pakai uang. Salma dan Fariz pun tidak mempermasalahkan hal tersebut."Asma mau yang besar apa kecil?" tanya Salma."Yang besar Onty, yang isi telur," jawab Asma.Fariz iseng mencuri untuk mencium Asma karena gemas. Hasilnya Asma malah nangis karena nggak suka dicium Fariz. Anak kecil itu pun merajuk tidak mau melihat Fariz dan minta pergi dari tempat itu."Aaaaaah, huaaaaaaa …Onty ... Om Fariz jahat," tangis Asma dalam gendongan Salma.
"Suka main boneka. Tapi bonekaku sudah sobek," jawab 'Izzi. Salma dan Fariz tersenyum. Mereka saling berpandang dan seakan bicara melalui mata. Fariz janji akan membelikan mainan sesuai kesukaan 'Izzi maupun anak panti yang lain. Setelah acara peresmian, Salma, Fariz dan beberapa pengurus yang telah dibentuk untuk mengurus panti tersebut membantu anak-anak menuju kamarnya. Asma juga sudah terbangun dan dengan wajahnya bangun tidur yang masih sedikit mengantuk berjalan mengikuti Salma. "Asma, masih ngantuk?" tanya Salma. "Iya Onty, itu mainan apa? Main ah." Ngantuknya langsung hilang saat melihat sebagian mainan yang sudah tersedia di ruang bermain. *** "Capa, setiap anak yang tinggal di panti itu punya cerita pahit sendiri-sendiri. Salma ingin melihat mereka bahagia di jalan yang benar, Capa. Itulah kenapa Cama minta dibuatkan panti asuhan," ucap Salma. "Capa paham kok, Cama. Kamu bahagia nggak dipanggil Ummah?" tanya Fariz. "Sangat dong. Rasanya seperti belum pantas, tapi ini
"Maulah Cama, ya udah yuk!" ajak Fariz langsung menggendong Salma."Capa duluan aja ke pantinya, entar Cama menyusul bawain kopi," ucap Salma setelah sampai dapur."Aku tunggu saja," ucap Fariz."Baiklah." Salma beranjak membuat kopi.Sejak dulu ia iseng menaruh garam di kopinya pada saat Fariz mengawasi ujian, kini hal tersebut belum terjadi lagi. Dulu, Fariz bilangnya suka kopi asin, entahlah kalau sekarang apa yang akan Fariz katakan.Mereka masih duduk di taman samping kopi. Salma ingin menunggu suaminya menghabiskan kopi dulu. Satu tegukan Fariz membuat menatap nanar ke istrinya.
"Boleh, tapi kan gak ada boxnya, kasihan kalau kena tendangan kita, gimana?" ucap Salma. "Siapa bilang tidak ada? Capa udah nyiapin kok, sudah ada di kamar sebelah," jawab Fariz. "Waaw, ya udah karena anak-anak juga sudah tidur, kita kembali ke rumah. Capa bisa gak gending bayi?" tanya Salma. "Eh, kalau sambil berjalan Capa belum lancar, hehe …" "Hahaha … ya udah sini Cama gendong." Serasa itu benar-benar anak kandung mereka. Ternyata, dengan bayi pun Fariz begitu peduli. Ia tidak jijik membersihkan kotoran Hunaisa. Ia tahu kalau ia tidak membersihkan, akan membuat Hunaisa tidak nyaman. Salma kagum dengan sikap suaminya. Dia terlihat semakin membuat Salma ingin mencubit gemas suaminya saat mengobrol dengan Hunaisa. Mereka menaruh box itu tetap satu kamar dengan mereka. Hunaisa berwajah cantik, imut dengan kulit putih kemerah-merahan dan mata khas bayi bule. Dan ternyata mengurus bayi juga perlu kesabaran super. Mereka berdua sering terbangun sesaat dari memjamkan mata. Melihat
"Kalau kamu nyaman, Capa ngikut saja, kamu siap?" tanya Fariz. "Insyaallah, lagian Cama kan masih lama masuk kuliah lagi. Jadi banyak waktu untuk bersama Naisa. Namun, seenaknya Hunaisa saja, b8sa di panti bisa di sini juga," jawab Salma. "Oh iya, waktu Capa dapat Naisa dari rumah sakit, identitas ayahnya bagaimana?" tanya Salma. "Itu dia, pihak rumah sakit juga tidak tahu. Karena ibunya Naisa pergi sendirian ke rumah sakit dan tidak memberi alamat apapun tentang keluarganya," jawab Fariz. "Tapi, Naisa punya tanda lahir di betisnya, siapa tahu itu bisa menjadi petunjuk," ucap Salma. "Udah-udah gak usah bahas itu dulu, tuh Naisa jadi sedih," Fariz mengelus pipi merahnya Naisa. *** Senangnya Fariz dan Salma bisa honeymoon ke Turki. Tepatnya mereka mengunjungi Pamukkale. Mereka mengunjungi Pamukkale di hari kedua. Hari pertama masih istirahat dan menghabiskan waktu di hotel. Fariz sudah beberapa kali ke Turki, tapi dengan otak yang berpikir mengurus pekerjaan. Bukan honeymoon sepe