"Kalau kamu nyaman, Capa ngikut saja, kamu siap?" tanya Fariz. "Insyaallah, lagian Cama kan masih lama masuk kuliah lagi. Jadi banyak waktu untuk bersama Naisa. Namun, seenaknya Hunaisa saja, b8sa di panti bisa di sini juga," jawab Salma. "Oh iya, waktu Capa dapat Naisa dari rumah sakit, identitas ayahnya bagaimana?" tanya Salma. "Itu dia, pihak rumah sakit juga tidak tahu. Karena ibunya Naisa pergi sendirian ke rumah sakit dan tidak memberi alamat apapun tentang keluarganya," jawab Fariz. "Tapi, Naisa punya tanda lahir di betisnya, siapa tahu itu bisa menjadi petunjuk," ucap Salma. "Udah-udah gak usah bahas itu dulu, tuh Naisa jadi sedih," Fariz mengelus pipi merahnya Naisa. *** Senangnya Fariz dan Salma bisa honeymoon ke Turki. Tepatnya mereka mengunjungi Pamukkale. Mereka mengunjungi Pamukkale di hari kedua. Hari pertama masih istirahat dan menghabiskan waktu di hotel. Fariz sudah beberapa kali ke Turki, tapi dengan otak yang berpikir mengurus pekerjaan. Bukan honeymoon sepe
"Mau baju tiga dan warnanya pink, Onty," jawab Asma. "Oke Asma, Onty pasti beliin kok. Tapi sekarang harus," "Tidur, yeee baju pink. Baiklah Onty, Asma mau tidur," jawabnya penuh semangat. "Naisa kenapa? Rindu ya? Sabar Sayang, di rumah sama Oma dulu." "Iya Nais, Daddy senengin Ummah dulu di sini. Biar lebih semangat lagi entar kalau udah pulang," ucap Fariz. Naisa tersenyum dan berceloteh. Membuat mereka juga semakin rindu dengan Naisa juga yang lain. Namun, perlahan Naisa menangis dan seperti ingin bilang kalau dia ingin ikut. Salma mulai menerka-nerka keadaan tersebut. Wajah Naisa khas sekali seperti bayi bule Turki. Salma jadi berpikir apa ia ada kontak batin dengan ayahnya yang siapa tahu orang Turki. "Capa, apa Naisa kontak batin ya ingin ikut kita karena ayahnya di sini?" tanya Salma. "Hahaha …" tawa Fariz. "Kok malah ketawa sih." Salma heran. "Ngawur kamu Sayang, ya Naisa menangis tuh karena ingin bersama kita, kamu kejauhan deh mikirnya," "Eh, ini gak ngawur. Asli,
"Salma gak bisa dong, wkwkwk … gampang Capa!Tinggal direkam dan translate," ucap Salma. "Bener ya, translate google, awas tanya Capa!" "Oh iya, sorry Capa! Cama lupa kalau Capa bisa, ayo dong kita mendekat!" ajak Salma. Fariz pun mengikuti ajakan istrinya. Ia tidak mau istrinya merajuk di tempat ia berlibur manis itu. Mereka segera mendekati laki-laki tersebut. Ternyata mereka tidak pakai bahasa Turki maupun Inggris. Tapi, pakai bahasa Indonesia. Memang sih, perempuan hamil yang bersama laki-laki itu berwajah Indonesia. "Sayang, kamu adalah istri pertama dan terakhirku, kamu memang sangat membuatku bahagia. Aku hanya Ayah dari anak yang berada dalam rahim kamu, semoga kita terus diberi kebersamaan yang indah." Mereka malah mendengar pernyataan seperti itu. Fariz tersenyum mengejek kepada istrinya karena dugaan istrinya salah. Mereka segera melanjutkan berenda
"Cama jadi rindu sekali dengan Hunaisa," ucap Salma. "Ehmm, rupanya Hunaisa sudah memikat kamu sekali ya, hahaha …" tawa Fariz. "Iya Capa, Cama mimpiin dia, huaaa, jadi kerasa banget kan," rengek Salma. "Capa juga rindu, Sayang. Toh, sebentar lagi kita akan pulang. Sabarlah ya, kita video call dulu, biasanya jam segini dia suka bangun mendengar orang-orang pada sholat malam," ucap Fariz. Salma mengangguk bahagia. Ternyata benar, ia sedang bangun dan dijaga oleh teman Salma yang mengurus panti yang sedang berhalangan, karena yang lain masih sholat malam. Wajah Hunaisa dengan banyak sekali ulasan senyum membuat Fariz dan Salma ingin segera menyentuh pipi gembulnya. Mereka ngobrol sekitar sepuluh menitan. "Eh, harusnya kita sholat malam dulu, Capa! Hunaisa, nanti disambung lagi ya Nak, kalau Hunaisa belum tidur. Ummah sama Daddy mau sholat malam dulu, daaaa Sayang," ucap Salma dari telepon. Mereka meskipun sedang tidak di rumahnya sendiri juga tetap menjalankan ibadah-ibadah yang b
"Ouw itu, itu tuh masuk pelajaran nahwu kalau di pesantren." "Yah, Cama kalau menjelaskan jangan pucuknya doang. Mana Capa bisa paham? Capa belum belajar seperti itu, Cama," gemas Fariz. "Hehe … iya. Mudhof itu yang bersandar, kalau mudhof ilaih yang disandari. Kebetulan, hal tersebut mirip dengan kita yang bicarain sandar menyandar tadi. Mudhof itu pula ada ketentuan supaya bisa menyandar ke mudhof ilaih. Sama dengan kita, Cama itu kalau menyandar ke Capa juga punya ketentuan," jelas Salma. "Emang apa ketentuannya untuk kamu?" "Cama sudah sah menjadi istri Capa, itulah ketentuannya. Kalau belum nikah, gak bisa asal menyandar aja. Sama dengan mudhof, kalau belum memenuhi ketentuan, juga tidak bisa menyandar ke mudhof ilaih. Jikalau ketentuan gak dipenuhi dan tetap saja menyandar, ya salah kaprah jadinya," "Ooo begitu, Capa lumayan menyesal dulu di pesantren cuma lima hari doang. Eh, tapi kan kamu sudah sah, berarti benar kan apa yang Capa bilang? Cama bebas kapan pun bersandar ke
Bab 81. Undangan Misterius"Mmm, mending makan dulu aja ya Kak. Reca lupa itu tadi," ucap Reca.Salma pun mengangguk, meski sebenarnya ia curiga karena sikap Reca seperti menyembunyikan. Dan ternyata itu benar. Reca sudah keceplosan bilang tentang undangan itu, dan ia tidak ingin melanjutkan.Fariz pun merasakan apa yang dirasakan Salma. Fariz mengingat-ingat tanggal hari itu. Akhirnya dia ingat, undangan siapa yang diberikan tersebut."Huk … uhuk …" Fariz keselek saat teringat tanggal itu."Capa, pelan-pelan dong." Salma menuangkan air minum untuk Fariz.***Usai makan, Fariz ikut ke kamar Reca untuk melihat undangan. Salma juga tahu trik mereka. Ia pun menaruh ponselnya di depan kamar Reca.Suara mereka lumayan terdengar, karena hanya di depan pintu Reca menaru
Salma mengabaikan apa yang ditanyakan suaminya. Tapi, saat ia hampir sampai kemarnya Reca, sebuah kata nada yang Sakla tidak harapkan kini meluncur membuat langkahnya terhenti."Berhenti! Stop mengurus urusan orang lain!" bentak Fariz tak bisa mengendalikan emosinya.Bentakan Fariz terdengar oleh papi dan maminya. Salma segera berbalik arah, dan bersiap untuk ke rumah orang tuanya. Bukan karena ia purik, tapi itu sudah kesepakatan dalam pernikahan mereka.Jika sebuah bentakan Fariz ucapkan, mereka mendapat konsekuensi untuk tidak bertemu selama satu minggu. Reca yang mendengar kejadian itu pun keluar dari kamar."Pernyataanmu sungguh mengecewakan. Konsekuensi berlaku." Salma menangis lebih dari tadi sambil memasukkan beberapa lembar neju ke dalam tasnya dan pergi ke rumah orang tuanya."Cama, tunggu Cama, maafkan Capa. Capa tidak sengaja, jangan perg
"Maaf, Cama masih mau di sini dan sekarang mau tidur," ucap Salma lalu mematikan ponselnya. Fariz paham istrinya masih kecewa. Tapi setidaknya, is sudah lega karena bisa melihat wajah istrinya. Fariz pun tertidur dengan memeluk foto Salma. *** Sudah tiga hati mereka tidak bertemu langsung. Mereka tetap chat dan telpon tapi tentu keadaan belum seperti biasanya. Nahssnya menjadi kaku, singkat namun tidak jelas dalam komunikasi mereka lewat udara. Tapi, mereka kini merasakan sangat rindu. Niken hanya Fariz, tapi Salma juga begitu. Salma juga rindu dengan anak panti dan mertuanya. Apalagi dengan Hunaisa, is begitu rindu dengannya. Salma sebenarnya sudah memaafkan suaminya dari hari pertama kejadian tersebut. Tapi, ia pura-pura cuek saja terhadap suaminya. Kini ia sudah tidak tahan. Ingin bercanda, betfursu berdebat canda seperti biasanya. Salma mencoba chat Fariz dan menyatakan kerinduannya. "Capa, Cama kangen banget," tulis Salma. "(Emoji ngakak full) Wkwkwk … gak tahan kan? Udah