Bab 81. Undangan Misterius"Mmm, mending makan dulu aja ya Kak. Reca lupa itu tadi," ucap Reca.Salma pun mengangguk, meski sebenarnya ia curiga karena sikap Reca seperti menyembunyikan. Dan ternyata itu benar. Reca sudah keceplosan bilang tentang undangan itu, dan ia tidak ingin melanjutkan.Fariz pun merasakan apa yang dirasakan Salma. Fariz mengingat-ingat tanggal hari itu. Akhirnya dia ingat, undangan siapa yang diberikan tersebut."Huk … uhuk …" Fariz keselek saat teringat tanggal itu."Capa, pelan-pelan dong." Salma menuangkan air minum untuk Fariz.***Usai makan, Fariz ikut ke kamar Reca untuk melihat undangan. Salma juga tahu trik mereka. Ia pun menaruh ponselnya di depan kamar Reca.Suara mereka lumayan terdengar, karena hanya di depan pintu Reca menaru
Salma mengabaikan apa yang ditanyakan suaminya. Tapi, saat ia hampir sampai kemarnya Reca, sebuah kata nada yang Sakla tidak harapkan kini meluncur membuat langkahnya terhenti."Berhenti! Stop mengurus urusan orang lain!" bentak Fariz tak bisa mengendalikan emosinya.Bentakan Fariz terdengar oleh papi dan maminya. Salma segera berbalik arah, dan bersiap untuk ke rumah orang tuanya. Bukan karena ia purik, tapi itu sudah kesepakatan dalam pernikahan mereka.Jika sebuah bentakan Fariz ucapkan, mereka mendapat konsekuensi untuk tidak bertemu selama satu minggu. Reca yang mendengar kejadian itu pun keluar dari kamar."Pernyataanmu sungguh mengecewakan. Konsekuensi berlaku." Salma menangis lebih dari tadi sambil memasukkan beberapa lembar neju ke dalam tasnya dan pergi ke rumah orang tuanya."Cama, tunggu Cama, maafkan Capa. Capa tidak sengaja, jangan perg
"Maaf, Cama masih mau di sini dan sekarang mau tidur," ucap Salma lalu mematikan ponselnya. Fariz paham istrinya masih kecewa. Tapi setidaknya, is sudah lega karena bisa melihat wajah istrinya. Fariz pun tertidur dengan memeluk foto Salma. *** Sudah tiga hati mereka tidak bertemu langsung. Mereka tetap chat dan telpon tapi tentu keadaan belum seperti biasanya. Nahssnya menjadi kaku, singkat namun tidak jelas dalam komunikasi mereka lewat udara. Tapi, mereka kini merasakan sangat rindu. Niken hanya Fariz, tapi Salma juga begitu. Salma juga rindu dengan anak panti dan mertuanya. Apalagi dengan Hunaisa, is begitu rindu dengannya. Salma sebenarnya sudah memaafkan suaminya dari hari pertama kejadian tersebut. Tapi, ia pura-pura cuek saja terhadap suaminya. Kini ia sudah tidak tahan. Ingin bercanda, betfursu berdebat canda seperti biasanya. Salma mencoba chat Fariz dan menyatakan kerinduannya. "Capa, Cama kangen banget," tulis Salma. "(Emoji ngakak full) Wkwkwk … gak tahan kan? Udah
"Cama, ini ice creamnya," ucap Fariz dengan tersenyum. Salma masih mendelik keheranan. Disisi lain ia sangat rindu dan ingin memeluk laki-laki tampan yang barusan masuk. Salma akhirnya tidak tahan dan ia sendiri yang menghampiri Fariz untuk diajak duduk di kasurnya. "Capa, Cama rindu," ucap Salma sambil memeluk Fariz. "Hahaha … sok-sokan mau seminggu. Capa juga rindu, kamu menyuruh anak kecil segala untuk Capa kesini, kenapa tidak langsung?" Fariz mengusap punggung istrinya. "Haa? Siapa yang menyuruh, Cama nggak menyuruh apa-apa ke Asma," jujur Salma. "Yang bener? Gak usah malu deh mengakui, keluarga kita dengar loh apa yang dikatakan Asma." Fariz juga menunjukkan fakta. Mereka berdua masih saling mengeyel dengan fakta dari apa yang mereka alami. Sungguh berbeda, membuat mereka tidak berhenti-berhenti untuk menunjukkan dirinya yang benar. Sampai suara mereka terdengar keluarganya, sehingga keluarganya termasuk Asma juga datang ke kamar mereka. "Maafkan Asma, Onty and Om, Asma ud
"Apa? Cepat katakan!" desak Fariz. "Capa harus tahu, tanpa harus diragukan lagi kalau Cama sangat merindukan Hunaisa dan anak-anak panti. Itu sudah hukum pasti, Capa!" "Hahaha … kirain apaan yang penting. Terus, kenapa belum juga mau pulang? "Orang masih diajak ngobrol dan belum juga digendong," Fariz segera membawa istrinya pulang. Hunaisa terlihat begitu sumringah mengetahui Salma sudah menggendongnya lagi. Ia jadi merasa bersalah dengan anak-anak. *** "Capa, kok gak siap-siap berangkat kerja? Cama udah siapin nih bajunya," ucap Salma. "Ehm … Capa hari ini full seharian ingin di rumah dengan kamu," jawab Fariz. "Capa jangan kayak anak bolos sekolah deh, masa CEO bolos," heran Salma. "Hahaha … gak bolos kok. Tenang aja! Besok kamu sudah mulai kuliah aktif, jadi hari ini full untuk kebersamaan kita," ucap Fariz. Salma tak bisa menjawab selain tersenyum kepada suaminya itu. Perasaan, mereka itu sudah sangat sering bersama. Bahkan, Salma ikut juga ke kantor Fariz. Tapi entahla
"Peluk siapa tadi pagi," ucapnya dengan manja. "Hahaha … Reca maksudnya? Dia kan adik Capa, Sayang," tawa Fariz. "Katanya cuma cinta sama Cama." Kata-kata yang tak perlu ia katakan pun keluar. "Aduh, masa masih jeles terus sampai sekarang. Ya cintanya beda dong, kalau yang model begini yang cuma sama Cama. Sekarang Capa tanya deh, apa kamu tidak menyayangi kak Rifki?" tanya Fariz. "Ya sayanglah," jawab Salma mulai terlihat seperti orang yang bertaubat. "Hahaha … wajah kamu biasa aja. Gak usah seperti wajah-wajah mau bertaubat. Udah sembuh kan jelesnya?" Fariz malah tertawa melihat Salma seperti itu. *** Salma bareng bersama Fariz untuk berangkat kuliah. Ia sama sekali tetap seperti dulu. Prinsipnya, tidak mau diantar jemput sopir kalau memang keadaan tidak darurat. "Bye Cama, semangat kuliahnya," ucap Fariz seraya melambaikan tangan. Salma membalas dengan hal yang serupa. Tapi, begitu Fariz pergi, Clarissa dan dua kawannya menghampiri Salma. Ia ingin menghindar saja, tapi Clar
"Alhamdulillah, kami baik," jawab Salma. "Tentu, kita berbeda dong, Pak. Bisa kayak cacing digoreng kalau satu fakultas, apalagi satu jurusan," jawab Freya. Salma memanggil Freya. Pak Dorsin yang merupakan dosen tersebut juga belum paham dengan pernyataan Freya. Salma tidak ingin untuk saat itu, ada yang tahu akan keadaan tersebut. "Maksudnya begini Pak. Otak kita itu jalannya beda bidang, jadi kalau disatuin ya gak nyambung. Kami ambil di jurusan dakwah, Pak," jelas Salma. "Oo begitu. Terus, kenapa terdengar ribut tadi?" tanya Dorsin. "Biasa Pak, mulut-mulut wanita. Kita pengakraban," jawab Clarissa. *** Sepulang dari kampus, wajah Salma ditekuk tanpa senyum sedikit pun. Fariz heran melihatnya. Seharusnya di hari aktifnya kuliah dia bahagia. Karena itu sudah impian dia dari dulu. Tapi sekarang wajah tidak sesuai ekspetasinya Fariz. Sebelum melanjutkan mobil untuk jalan, ia ingin tahu dulu apa yang membuat istrinya itu terlihat merajuk akut lagi. "Kenapa ditekuk? Enak kan kuli
"Idiih, berdua? Gak bisa! Seharian penuh Capa, biar semakin sejuk, ya Hunaisa obatnya," jawab Salma. "Sayang, bukannya kamu udah adem ya? Entar kalau kedinginan masuk angin," ledek Fariz. "Ya gak bakal masuk angin kalau dianya peka, tidak membiarkan anginnya masuk. Dan, Hunaisa bukan angin, buruan dong! Kalau udah tidur angkat pelan-pelan." Salma tetap bersikeras ingin Hunaisa tidur bersamanya. Fariz pun menelpon pengurus panti. Selain malam itu Fariz ingin tidur berdua saja, tapi ia rasa, kasihan kalau Hunaisa terbangun dalam tidur nyenyaknya. "Nggak, Capa nggak akan turutin. Kasihan sudah tidur pulas. Capa sekarang lapar, buatin nasi goreng dong," pinta Fariz. "Iya juga ya. Nasi goreng? Ya udah deh, tapi temenin!" Salma segera ke dapur. Mereka memasak bersama di malam hari tersebut. Salma juga kepincut untuk ikut makan. Suara gaduh mereka membangunkan Reca yang juga mencium bau sedap itu, jadi tertarik untuk ikut makan. Karena kamar Reca lumayan dekat dengan dapur dibanding ka