"Salma gak bisa dong, wkwkwk … gampang Capa!Tinggal direkam dan translate," ucap Salma. "Bener ya, translate google, awas tanya Capa!" "Oh iya, sorry Capa! Cama lupa kalau Capa bisa, ayo dong kita mendekat!" ajak Salma. Fariz pun mengikuti ajakan istrinya. Ia tidak mau istrinya merajuk di tempat ia berlibur manis itu. Mereka segera mendekati laki-laki tersebut. Ternyata mereka tidak pakai bahasa Turki maupun Inggris. Tapi, pakai bahasa Indonesia. Memang sih, perempuan hamil yang bersama laki-laki itu berwajah Indonesia. "Sayang, kamu adalah istri pertama dan terakhirku, kamu memang sangat membuatku bahagia. Aku hanya Ayah dari anak yang berada dalam rahim kamu, semoga kita terus diberi kebersamaan yang indah." Mereka malah mendengar pernyataan seperti itu. Fariz tersenyum mengejek kepada istrinya karena dugaan istrinya salah. Mereka segera melanjutkan berenda
"Cama jadi rindu sekali dengan Hunaisa," ucap Salma. "Ehmm, rupanya Hunaisa sudah memikat kamu sekali ya, hahaha …" tawa Fariz. "Iya Capa, Cama mimpiin dia, huaaa, jadi kerasa banget kan," rengek Salma. "Capa juga rindu, Sayang. Toh, sebentar lagi kita akan pulang. Sabarlah ya, kita video call dulu, biasanya jam segini dia suka bangun mendengar orang-orang pada sholat malam," ucap Fariz. Salma mengangguk bahagia. Ternyata benar, ia sedang bangun dan dijaga oleh teman Salma yang mengurus panti yang sedang berhalangan, karena yang lain masih sholat malam. Wajah Hunaisa dengan banyak sekali ulasan senyum membuat Fariz dan Salma ingin segera menyentuh pipi gembulnya. Mereka ngobrol sekitar sepuluh menitan. "Eh, harusnya kita sholat malam dulu, Capa! Hunaisa, nanti disambung lagi ya Nak, kalau Hunaisa belum tidur. Ummah sama Daddy mau sholat malam dulu, daaaa Sayang," ucap Salma dari telepon. Mereka meskipun sedang tidak di rumahnya sendiri juga tetap menjalankan ibadah-ibadah yang b
"Ouw itu, itu tuh masuk pelajaran nahwu kalau di pesantren." "Yah, Cama kalau menjelaskan jangan pucuknya doang. Mana Capa bisa paham? Capa belum belajar seperti itu, Cama," gemas Fariz. "Hehe … iya. Mudhof itu yang bersandar, kalau mudhof ilaih yang disandari. Kebetulan, hal tersebut mirip dengan kita yang bicarain sandar menyandar tadi. Mudhof itu pula ada ketentuan supaya bisa menyandar ke mudhof ilaih. Sama dengan kita, Cama itu kalau menyandar ke Capa juga punya ketentuan," jelas Salma. "Emang apa ketentuannya untuk kamu?" "Cama sudah sah menjadi istri Capa, itulah ketentuannya. Kalau belum nikah, gak bisa asal menyandar aja. Sama dengan mudhof, kalau belum memenuhi ketentuan, juga tidak bisa menyandar ke mudhof ilaih. Jikalau ketentuan gak dipenuhi dan tetap saja menyandar, ya salah kaprah jadinya," "Ooo begitu, Capa lumayan menyesal dulu di pesantren cuma lima hari doang. Eh, tapi kan kamu sudah sah, berarti benar kan apa yang Capa bilang? Cama bebas kapan pun bersandar ke
Bab 81. Undangan Misterius"Mmm, mending makan dulu aja ya Kak. Reca lupa itu tadi," ucap Reca.Salma pun mengangguk, meski sebenarnya ia curiga karena sikap Reca seperti menyembunyikan. Dan ternyata itu benar. Reca sudah keceplosan bilang tentang undangan itu, dan ia tidak ingin melanjutkan.Fariz pun merasakan apa yang dirasakan Salma. Fariz mengingat-ingat tanggal hari itu. Akhirnya dia ingat, undangan siapa yang diberikan tersebut."Huk … uhuk …" Fariz keselek saat teringat tanggal itu."Capa, pelan-pelan dong." Salma menuangkan air minum untuk Fariz.***Usai makan, Fariz ikut ke kamar Reca untuk melihat undangan. Salma juga tahu trik mereka. Ia pun menaruh ponselnya di depan kamar Reca.Suara mereka lumayan terdengar, karena hanya di depan pintu Reca menaru
Salma mengabaikan apa yang ditanyakan suaminya. Tapi, saat ia hampir sampai kemarnya Reca, sebuah kata nada yang Sakla tidak harapkan kini meluncur membuat langkahnya terhenti."Berhenti! Stop mengurus urusan orang lain!" bentak Fariz tak bisa mengendalikan emosinya.Bentakan Fariz terdengar oleh papi dan maminya. Salma segera berbalik arah, dan bersiap untuk ke rumah orang tuanya. Bukan karena ia purik, tapi itu sudah kesepakatan dalam pernikahan mereka.Jika sebuah bentakan Fariz ucapkan, mereka mendapat konsekuensi untuk tidak bertemu selama satu minggu. Reca yang mendengar kejadian itu pun keluar dari kamar."Pernyataanmu sungguh mengecewakan. Konsekuensi berlaku." Salma menangis lebih dari tadi sambil memasukkan beberapa lembar neju ke dalam tasnya dan pergi ke rumah orang tuanya."Cama, tunggu Cama, maafkan Capa. Capa tidak sengaja, jangan perg
"Maaf, Cama masih mau di sini dan sekarang mau tidur," ucap Salma lalu mematikan ponselnya. Fariz paham istrinya masih kecewa. Tapi setidaknya, is sudah lega karena bisa melihat wajah istrinya. Fariz pun tertidur dengan memeluk foto Salma. *** Sudah tiga hati mereka tidak bertemu langsung. Mereka tetap chat dan telpon tapi tentu keadaan belum seperti biasanya. Nahssnya menjadi kaku, singkat namun tidak jelas dalam komunikasi mereka lewat udara. Tapi, mereka kini merasakan sangat rindu. Niken hanya Fariz, tapi Salma juga begitu. Salma juga rindu dengan anak panti dan mertuanya. Apalagi dengan Hunaisa, is begitu rindu dengannya. Salma sebenarnya sudah memaafkan suaminya dari hari pertama kejadian tersebut. Tapi, ia pura-pura cuek saja terhadap suaminya. Kini ia sudah tidak tahan. Ingin bercanda, betfursu berdebat canda seperti biasanya. Salma mencoba chat Fariz dan menyatakan kerinduannya. "Capa, Cama kangen banget," tulis Salma. "(Emoji ngakak full) Wkwkwk … gak tahan kan? Udah
"Cama, ini ice creamnya," ucap Fariz dengan tersenyum. Salma masih mendelik keheranan. Disisi lain ia sangat rindu dan ingin memeluk laki-laki tampan yang barusan masuk. Salma akhirnya tidak tahan dan ia sendiri yang menghampiri Fariz untuk diajak duduk di kasurnya. "Capa, Cama rindu," ucap Salma sambil memeluk Fariz. "Hahaha … sok-sokan mau seminggu. Capa juga rindu, kamu menyuruh anak kecil segala untuk Capa kesini, kenapa tidak langsung?" Fariz mengusap punggung istrinya. "Haa? Siapa yang menyuruh, Cama nggak menyuruh apa-apa ke Asma," jujur Salma. "Yang bener? Gak usah malu deh mengakui, keluarga kita dengar loh apa yang dikatakan Asma." Fariz juga menunjukkan fakta. Mereka berdua masih saling mengeyel dengan fakta dari apa yang mereka alami. Sungguh berbeda, membuat mereka tidak berhenti-berhenti untuk menunjukkan dirinya yang benar. Sampai suara mereka terdengar keluarganya, sehingga keluarganya termasuk Asma juga datang ke kamar mereka. "Maafkan Asma, Onty and Om, Asma ud
"Apa? Cepat katakan!" desak Fariz. "Capa harus tahu, tanpa harus diragukan lagi kalau Cama sangat merindukan Hunaisa dan anak-anak panti. Itu sudah hukum pasti, Capa!" "Hahaha … kirain apaan yang penting. Terus, kenapa belum juga mau pulang? "Orang masih diajak ngobrol dan belum juga digendong," Fariz segera membawa istrinya pulang. Hunaisa terlihat begitu sumringah mengetahui Salma sudah menggendongnya lagi. Ia jadi merasa bersalah dengan anak-anak. *** "Capa, kok gak siap-siap berangkat kerja? Cama udah siapin nih bajunya," ucap Salma. "Ehm … Capa hari ini full seharian ingin di rumah dengan kamu," jawab Fariz. "Capa jangan kayak anak bolos sekolah deh, masa CEO bolos," heran Salma. "Hahaha … gak bolos kok. Tenang aja! Besok kamu sudah mulai kuliah aktif, jadi hari ini full untuk kebersamaan kita," ucap Fariz. Salma tak bisa menjawab selain tersenyum kepada suaminya itu. Perasaan, mereka itu sudah sangat sering bersama. Bahkan, Salma ikut juga ke kantor Fariz. Tapi entahla