Ada rasa bahagia saat dokter mengatakan kalau Rara sedang hamil dan gejala yang muncul sangat umum untuk awal kehamilan. Tanpa harus mengikuti program kehamilan, ternyata istrinya sudah lebih dulu mengandung. Namun, ada kekhawatiran melihat Rara tergolek lemah karena tidak sadarkan diri.Bahkan saat kehamilan Kiya, Kevin tidak tahu dan tidak mendampingi karena mereka terpisah semenjak ada masalah. Pun saat Kiya lahir, Kevin malah dalam proses pengobatan di Singapura.“Maaf sayang, kali ini aku pastikan akan mendampingi kamu. Apapun yang kamu rasakan kita jalani bersama,” bisik Kevin sambil mengusap kepala istrinya.Akhirnya Rara pun siuman dan terkejut dengan keberadaannya saat ini, bukan di kamarnya.“Mas ….”“Jangan memaksa bangun,” ujar Kevin menahan tubuh Rara agar tetap berbaring.“Aku kenapa Mas?”“Kamu sempat pingsan waktu kita mau pulang. Bukannya aku sudah bilang kalau kamu sakit jangan memaksa untuk ikut denganku.”“Hanya sakit kepala saja Mas. Ayo kita pulang, aku takut Kiy
Rara mendengarkan curhatan adik iparnya mengenai sang suami yang dituduh selingkuh. Sungguh hal yang jauh dari sikap seorang Slamet. Apalagi pria itu terlihat begitu menyayangi Kamila dan putra mereka. Begitu pun kesempatan untuk macam-macam, sepertinya tidak ada.“Aku yakin dia selingkuh kak.” Kamila menyimpulkan setelah dia menceritakan bagaimana sikap Slamet yang dianggap tidak setia. “Iya ‘kan?”“Hm, gimana ya,” gumam Rara.“Gimana apanya?”“Kamila, gini loh. Ketika suami macam-macam, biasanya istri akan merasakan dan melihat perubahan sikap dari sang suami. Misalnya jarang di rumah atau mulai acuh. Kalau aku lihat, Slamet nggak ada indikasi begitu. Lihat saja tuh, dia malah asyik main dengan Kai dan Kiya.”“Ya bisa aja pas di kantor. Aku curiga mungkin saja perempuan itu teman satu divisinya.”“Kamila, curiga boleh ….”“Kak, aku bukan curiga,” ujar Kamila menyela ucapan Rara.Rara kembali mendengarkan ocehan Kamila dan sesekali mengangguk. Saran darinya untuk memastikan kebenaran
Rara terjaga dari tidurnya. Menggeser pelan tangan Kevin yang memeluk pinggangnya lalu beranjak duduk dan bersandar pada headboard. Masih dengan suasana kamar yang cahayanya temaram, ia mengusap perut yang sudah sangat membola sambil mengatur nafas. Sudah beberapa malam merasakan sakit yang datang dan pergi, sepertinya kontraksi palsu. Namun, kali ini terasa lebih sering. Sedangkan hari perkiraan lahir bayinya masih minggu depan.“Ahhhh.” Rara mengerang pelan. Terdengar suara tangisan Kiya, meskipun ada Nani yang akan sigap sebagai Ibu tentu saja Kiya tidak tega. Beranjak pelan menuju kamar putrinya. Benar saja, Kiya sedang menenangkan putrinya.“Princess bunda kenapa nangis?”“Nda,” panggil Kiya sambil mengulurkan tangannya.Rara tersenyum lalu ikut naik ke ranjang Kiya yang saat ini berumur satu setengah tahun.“Bobo lagi ya, masih malam nih.”“Nda.”“Ssttt.” Rara memeluk Kiya dan menepuk bok0ng bocah itu dengan pelan. “Nani, tolong buatkan susu botol, mungkin dia haus.”Setelah me
“Mas, aku kok ragu ya.”“Ayolah, sesekali tidak masalah tinggalkan anak-anak. Ada Ibu dan Mamih, juga pengasuh mereka. Aku mau ditemani kamu, sekalian kita honeymoon. Kita belum pernah loh, tahu-tahu sudah punya anak dua.” Kevin memeluk Rara yang sempat terhenti mempersiapkan perlengkapan yang akan dibawa.Ada kegiatan di luar kota, kali ini Kevin mengajak Rara. Arka sendiri tidak masalah, begitu pun dengan Mihika. Kiya sedang berlibur di Surabaya, bersama eyang -- ibu Rara. Hanya Abimana dan Mihika tidak keberatan kalau bocah itu dititip bersamanya.Apalagi di kediaman Arka ada kedua anak Slamet dan Kamila, membuat Abimana tidak akan jenuh karena memiliki teman sebayanya.“Jangan bawa banyak pakaian, apalagi untuk malam. Aku lebih suka kamu tidak berpakaian,” bisik Kevin.“Masss.”“Aku tunggu di bawah ya, jangan kelamaan aku sudah lapar.”“Hm.”Saat Rara bergabung di meja makan, Kevin dan Abimana sudah siap di kursinya. Terlihat Kevin sedang menjelaskan kalau besok Rara dan dirinya a
Akhirnya jam kerja pun berakhir. Rara bergegas merapikan meja dan memastikan komputer sudah off lalu menuju mesin absen tidak jauh dari lift. Biasanya dia tidak pernah meninggalkan kantor di jam seperti ini, karena akan berebut menggunakan lift. Apalagi berada di lantai tujuh dan lift sudah penuh dari atas. Karena hari ini ada perayaan yang begitu spesial, jadi gadis itu harus bergegas pulang. Beruntungnya Rara berdesakan di dalam lift dengan para wanita. Tidak perlu khawatir ada yang mengambil kesempatan. Saat keluar dari lift, segera ia menuju parkiran basement. Tepatnya parkiran motor. Tujuannya adalah toko kue, The Harvest Cake. Harganya lumayan mahal, tapi sesuai dengan rasanya. Apalagi ini momen spesial, wajar kalau harus mengeluarkan budget yang tidak biasa.Sampai di toko, pilihannya jatuh pada chocolate tiramisu. Bentuknya saja sudah menggugah selera. Kebetulan Rara dan Harun sama-sama penyuka coklat. Harun adalah kekasih Rara dan hari ini anniversary setahun hubungan merek
Kejadian Rara putus dua hari lalu menjadi pembicaraan di divisi tempatnya bekerja. Padahal dia hanya cerita ke Pak Robert, waktu mau izin tidak masuk karena sakit. Sakit hati, maksudnya. Sudah tidak diizinkan, eh malah disebar ke yang lain. Alhasil, gosip Rara putus di perayaan setahun hubungan pun merebak.Hari ini mood gadis itu belum normal, tapi dia tetap profesional dengan datang tepat waktu dan mengerjakan tugas sesuai tupoksi. Jangan sampai saat salary masuk ke rekening tidak sesuai karena ulahnya yang terpuruk pasca putus dengan Harun.“Mbak Rara, hari ini Pak Robert harus presentasi di rapat dengan pimpinan,” seru salah satu rekan Rara dengan logat jawanya yang kental. “Hm,” sahut Rara tapi pandangan tetap pada layar komputer.“Ini bahan presentasinya,” ujar Slamet sambil menyerahkan flashdisk.“Kenapa diserahkan ke aku?” tanya Rara heran.“Pak Robertnya sakit, tadi sudah sampaikan di grup pesan. Mbak Rara yang akan gantikan dia, mbak belum baca ya?”“Hah, yang bener?” Rara
Kevin mengusap kasar wajahnya, mendengar Mami lagi-lagi membicarakan masalah jodoh. Menurut wanita itu, di umur Kevin ini seharusnya sudah punya anak dua. Papi Kevin seakan tidak peduli, dia fokus dengan tablet dan menyesap kopinya. Mungkin sedang mengawasi pergerakan saham.“Kevin, kamu dengar Mami nggak sih?”“Ck, ya dengar Mih. Mami dari tadi ngoceh terus bahkan aku nggak jadi sarapan nih,” keluh Kevin.Sebenarnya Kevin sudah tinggal terpisah di apartemen dan pagi ini dia mampir karena permintaan Mami. Sudah bisa diduga akan begini, lagi-lagi masalah perempuan. Memang umurnya sudah tiga puluh lima dan belum menikah lagi. Pernikahan sebelumnya berakhir karena mantan istri Kevin berkhianat.“Pih, anakmu nih,” ujar Mami.“Sayang, tenang saja. Mungkin Kevin masih belum yakin dengan pilihannya, jadi kita tunggu saja.”“Memang kamu mau istri yang kayak gimana sih?” tanya Mami.‘Yang enak lah Mih, cantik tapi nggak enak ya mana aku mau,’ batin Kevin.“Jangan yang kayak Mami,” sahut Papi.
“Pak, ini saya mau diculik ke mana?” tanya Rara sambil mengalihkan pandangan ke luar jendela. Kevin tidak menjawab, perasaan gadis itu makin tidak karuan.Bagaimana kalau Pak Kevin akan minta ganti rugi dengan hal lain. Menjadi pembantu rumah tangga atau one night stand. Oh Tuhan, aku harus bagaimana. Tidak mungkin aku minta bantuan Ayah dan Ibu untuk bantu ganti rugi, sedankgan mereka menunggu bantuanku juga, batin Rara. “Ini kok belok ke restoran sih,” gumam Rara. Ini sebenarnya mau ke mana, kenapa malah ke restoran mewah. Rara menduga Kevin minta ditraktir makan siang. Tentu saja hal ini membuat Rara semakin takut, dia tidak akan sanggup bayar. Tadi pun Rara berniat cari makan siang yang harganya murah.“Turun!” Kevin melepas seat belt-nya.Rara bergeming, memikirkan adegan di film yang mana sang pria melepaskan seat belt sang wanita lalu … Stop Rara, kembali ke dunia nyata.“Pak Saya nggak lapar, kita balik ke kantor aja bicara di sana,” pinta Rara bahkan sambil memohon.“Aku bil