Tok..tok..tok"Lady anda dipanggil yang mulia ibu suri," ucap Briana.Earwen menatap pantulan dirinya di cermin, sejak tadi ia hanya berdiam diri tidak tau ingin melakukan apa. Hillary sangat asing baginya, suasana baru membuat Earwen harus beradaptasi lagi."Dipanggil untuk apa Briana?" tanyanya.Briana menggeleng. "Saya tidak tahu lady." "Yasudah, antarkan saya." Briana mengangguk dan mengikuti langkah Earwen di belakang dengan pandangan menunduk, sesekali Briana menatap sekelilingnya. "Disitu lady tempatnya." Earwen menatap tempat yang ditunjukkan Briana, pusat pelatihan alat panah. Earwen bergegas masuk kedalam. Netranya melihat Belinda yang tengah menikmati teh mint, kemudian Earwen menghampirinya dan memberi penghormatan nya. "Grandma memanggil saya?" tanya Earwen."Iya, kamu pasti bosan bukan Earwen?" Earwen tersenyum kecil dan mendudukkan tubuhnya, "Saya tidak tahu harus melakukan apa." "Edmund belum memberikan tugas Queen kepadamu Earwen?" "Belum grandma." Belinda me
Suara burung hantu dan semilir angin malam menemani Earwen yang tengah duduk termenung disamping balkon. Earwen menekuk kedua kakinya, mata hazelnya menatap gemerlap bintang di langit. Pikiran Earwen meleset jauh, ia bertanya-tanya kemana perginya Edmund. Sejak kejadian tadi siang ia tidak melihat Edmund hingga sekarang Edmund bahkan tidak kembali ke kamarnya. Ah Earwen tahu ia tidak boleh mencampuri urusan pribadi Edmund seperti yang tertulis di perjanjiannya dengan Edmund tapi, bolehkah ia mengkhawatirkannya? setidaknya sebagai seorang istri Edmund, walaupun gelar istri itu sementara tapi Earwen ingin menghargai Edmund sebagai suaminya pertama dan terakhir. Earwen tidak berniat menikah lagi jika suatu saat Edmund menendangnya dari Hillary. Ceklek.. Suara decitan pintu mengalihkan pandangan Earwen dan sosok yang ia cari sedari tadi kini tengah berdiri memunggunginya. Earwen beranjak dari posisinya. "Yang mulia, apa anda sudah makan malam?" ucap Earwen. Karena tadi ia tidak melihat
Suara kicauan burung membangunkan Earwen yang tengah terlelap, ia kemudian melirik ke arah ranjang dan melihat Edmund yang masih tertidur. Earwen kemudian bangkit dari posisinya dan berjalan masuk ke kamar mandi. Sekitar 20 menit ia menyelesaikan ritual mandinya tanpa bantuan Briana, Earwen sudah cantik dengan gaun berwarna hitam dan dipadukan dengan sepatu flat.Matanya menatap ke arah Edmund yang masih juga tertidur, ia hendak menyiapkan pakaian Edmund namun Earwen kembali mengurungkan niatnya, pernikahan ini hanya sementara dan dirinya tidak perlu membangun citra yang indah di depan Edmund karena dimata Edmund, Earwen hanya wanita cacat. Earwen tersenyum kecut mengingat perkataan Edmund tadi malam.Earwen tidak tahu kenapa ia harus dipandang sebelah mata karena tidak memiliki sihir, sedangkan ada beberapa orang di Hillary juga yang sama sepertinya, mungkinkan karena ia berdarah bangsawan dianggap tidak sempurna jika tidak memiliki sihir?Earwen kemudian melenggang pergi, di depan p
"Grandma ingin menyerahkan ini kepada kalian, sebagai hadiah untuk pernikahan kalian," ucap Belinda seraya menyerahkan sepasang cincin kepada Edmund dan Earwen."Cincin ini merupakan cincin turun temurun dari leluhur kita yang dulu, grandma ingin kalian memasang cincin ini dijari kalian masing-masing," sambungnya.Edmund menatap dua cincin tersebut, ia kemudian mengambil satu cincin tersebut dan menyematkan di jempolnya karena, jari manisnya sudah terisi kan cincin pernikahannya.Earwen mengambil cincinnya dan menyematkannya di telunjuknya. "Terimakasih Grandma," ucap Earwen."Oh ada satu lagi, ini untukmu Earwen. Spesial!" ucap Belinda dan menepuk tangannya.Pengawal datang dengan seekor kuda poni dewasa berwarna putih. Mata hazel milik Earwen berbinar melihat kuda poni tersebut."Kuda poni untukmu Earwen," ucap Belinda.Earwen bangkit dari duduknya dan mendekati kuda tersebut, ia kemudian mengelus pelan surai putih milik kuda tersebut. "Dia sangat cantik, terimakasih Grandma," ucap
Earwen terbangun dari tidurnya ketika seseorang membelai pipinya, netranya membelak kaget ia lantas mundur kebelakang."Tidak kusangka keturunan darah biru tidak mempunyai sihir," kekehnya pelan.Nafas Earwen naik turun melihat sosok yang didepannya–Galadriel. Penyihir hitam yang lumayan ditakutkan oleh sebagian penduduk Esterlens."Kau tau siapa aku?" tanyanya."Apa yang kau lakukan disini?" tanya balik Earwen tanpa membalas pertanyaan Galadriel.Galadriel tersenyum misterius, matanya menatap ke arah ranjang yang berisikan Edmund yang masih terlelap. "Oh aku hanya menyapamu, apa itu tidak boleh? Saya juga masih bagian keluarga Hillary," ucapnya dan hendak menyentuh rambut coklat milik Earwen."Cih! Sejak kapan kau bagian dari Hillary? Kau hanya seorang penghianat."Galadriel menoleh dan tertawa melihat Edmund menarik Earwen dibelakangnya. "Oh ya ampun cucuku, kau sudah besar." Mata itu, mata yang dilihat Earwen saat penyerangan tiba-tiba Galadriel saat ia memanah bersama Belinda. Ma
Mata coklat milik Earwen menatap danau kecil di belakang istana, ia baru menemukan tempat ini setelah berputar-putar tiga kali di istana karena merasa bosan sedari pagi."Lady ini sangat indah," ucap Briana dengan terpana menatap tempat baru yang baru dijumpainya."Selama saya disini, saya tidak pernah melihat tempat ini," lanjutnya.Earwen tersenyum. "Bagaimana kalau kita jadikan sebagai tempat rahasia kita?" tanya Earwen.Briana mengangguk menyetujuinya. "Ide yang indah Lady, saya akan merahasiakan tempat ini." "Omong-omong Briana, dimana buku yang saya minta untuk kamu simpan saat sarapan?" "Buku yang bersampul polos Lady?" tanya Briana.Earwen mengangguk. "Iya, dimana itu?" "Saya meninggalkannya di kamar anda terdahulu, sebentar saya ambilkan dulu," ucap Briana dan meninggalkan Earwen.Earwen menghirup dalam udara disini, ia kemudian menyentuh pelan air berwarna jernih tersebut, bahkan batu didalamnya sangat terlihat jelas. Dingin, kata pertama yang mendeskripsikan air danau in
Wow, kata pertama yang bisa mendiskripsikan di depannya. Ini sangat berbeda dengan ekspektasi Earwen apa yang ia lihat sekarang sungguh berbeda. Pesta topeng yang selalu menjadi bayangannya ternyata seperti ini. "Apa kau menyesal datang kesini?" ucap Edmund yang tengah melihat lihat beberapa topeng untuk dipakainya."Sedikit," ucap Earwen dengan lemas"Kau terlalu berekspetasi tinggi mengenai pesta topeng." Earwen mengangguk lesu, yang dikatakan Edmund benar adanya dan ia sudah terlanjur datang kesini. "Benar yang mulia, oh menurut anda mana yang lebih bagus?" tanya Earwen sambil memperlihatkan topeng dengan warna silver semu biru dan silver sepenuhnya. "Ini, terlihat cocok dengan pakaianmu," ucap Edmund seraya menunjuk topeng berwarna silver semu biru. "Terimakasih Yang Mulia." "Astaga, suatu kehormatan bagi saya melihat anda datang ke pesta saya My Lord... Edmund," ucap pria paruh baya tersebut."Apakah ini Lady Earwen? Maaf saya tidak sempat datang di pernikahan anda," tambah w
Earwen menggeliat dalam tidurnya, ia membuka matanya dan berlari kedalam kamar mandi memuntahkan isi perutnya yang terasa seperti diaduk-aduk. Hanya cairan bening yang dikeluarkannya, Earwen bangkit dan mencuci mulutnya dengan air bersih. Namun, ia kembali berlari ke closet dan memutahkan kembali walaupun tidak yang keluar rasanya seperti ada yang mengganjal di perutnya. Earwen duduk lesu disamping closet sembari memijat kepalanya yang terasa pusing. "Kau berisik sekali," ucap Edmund yang tengah berdiri di depan pintu. "Maaf. Yang Mulia jangan kesini ini menjijikkan," lirih Earwen.Edmund memutar bola matanya malas, tentu saja ia tidak akan kesitu tetapi suara muntahan Earwen sangat menganggu tidurnya yang indah dan membuatnya harus berdiri disini."Bersihkan mulutmu dan cuci tangan, saya akan meminta pelayan membuat teh jahe," ucap Edmund dan pergi meninggalkan Earwen. Earwen bangkit dari duduknya dan mencuci mulut dan tangannya. "Apa yang kau lakukan?" ucap Edmund melihat Earwen