Alea menyiapkan sarapan dan sudah membersihkan rumah. Dia juga sudah berpakaian rapi karena hari ini adalah kelas masak pertamanya. Dia ingin berangkat lebih pagi karena tidak ingin terlambat di kegiatan itu. Ardhan pasti sedang disamping melakukan rutinitasnya di pagi hari. Dia memperhatiaknnya dari dalam dan tidak heran jika pria itu memiliki tubuh yang bugar dan bagus.“Kak, sarapannya sudah aku siapkan di meja. Aku berangkat dulu!” ujar Alea menghampiri Ardhan.“Kemana?”“Hari ini ada opening cooking class, aku mau berangkat lebih awal.”“Astaga ini baru jam berapa? Bareng aku saja, tempatnya juga satu gedung dengan kantorku!” Alea sedang memikirkan tawaran Ardhan, namun hatinya yang sedih karena semalam membuatnya masih enggan dekat-dekat dengan pria ini.“Enggak usah, Kak. Aku berangkat dulu, Kakak belum siap-siap juga, kan?” Alea memilih alasan itu agar Ardhan tidak bertanya macam-macam lagi.“Naik apa?” Ardhan menghentikan aktifitasnya dan menghampiri Alea.“Aku pesan taksi.
“Baiklah gays, apa kabar kalian?” Reynal menyapa peserta kelasnya sambil melambai dan menyisir pandang ke semua sudut ruangan.Reynal dibantu asistennya berkenalan dengan beberapa peserta secara acak, sekedar mengetahui motivasi dan tujuan untuk ikut memasak. Tidak hanya itu, peserta juga diminta untuk mengomentari cake yang ada di mejanya.“Namaku Raihana, 25 tahun, biasa dipanggil Hana. Motivasi dan tujuan saya ikut kelas masaknya chef nugros karena orang tua saya punya beberapa restoran, dan saya hanya ingin ikut andil dalam membesarkan bisnis tersebut dengan membuat masakan yang sensasional. Seperti cake ini, terlihat sangat elegan, tanpa harus mencobanya saya yakin semua orang akan sangat tertarik dengan kue ini”Suara gemuruh tepuk tangan membahana di ruangan. Alea pun ikut merasakan atmosfer yang mulai tercipta diantara para pelaku bisnis kuliner itu. Berandai seandainya dia punya restoran sendiri.“Hallo, kamu?” tiba-tiba Alea terkejut chef muda dan ganteng itu turun dari podi
Opening berakhir dengan sangat manis. Peserta mulai mendapat pra kelas yang diisi beberapa koki, termasuk Devano. Alea tak berkedip ternyata Devano bukan hanya seorang pelayan, tapi dia koki. Sepanjang Devano memberikan sedikit materi Alea terus memperhatikannya dengan bangga. Oh, beruntung sekali dia punya sahabat seperti Devano.“Ya ampun, kenapa tidak bilang kalau kau sebenarnya koki?” Alea menonjok bahu Devano saat mereka terlihat keluar barengan setelah kelas berakhir.“Kalau aku bilang, kau akan jatuh cinta padaku, aku tidak mau lho jadi pebinor!” canda Devano pada Alea. Alea hanya tertawa mendengarnya.“Kalau begitu aku traktir ya?” Alea menawarkan diri. “Anggap saja rasa terima kasihku karena sudah memasukan aku ke kelas itu.” lalu Alea sedikit berbisik, “Kau juga yang membuat Chef Reynal mendatangiku tadi kan?”“Benar, tapi ternyata Chef Reynal juga menyukaimu. Aku jadi menyesal melakukannya tadi!” Devano kembali mencandai Alea. Membuat Alea hanya memukul bahunya dengan gemas
Ardhan tampak tidak berdaya saat Hera mengintrogasinya macam-macam terkait keduanya yang ternyata pisah kamar.“Barang-barang Alea banyak, Ma! Karena itu aku merelakan lemariku untuknya. Dan barang-barangku ku taruh di kamar lain.” ujar Ardhan beralasan saat Hera marah-marah.“I-iya, Ma!” sahut Alea segera setelah kaki Ardhan menyenggol kakinya.“Kalian tidur terpisah?” Hera masih bertanya.“Tidaklah, Mama! Kami masih tidur satu ranjang, kok!” Ardhan merangkul Alea agar terkesan romantis. Yang dirangkul hanya senyum-senyum saja meski tampak terpaksa.“Beneran tidak pisah ranjang?” Hera masih mendesak.“Tidak!” jawab Ardhan dan Alea hampir bersamaan.“Baguslah!” Hera mulai tampak percaya.“Kalian tidurnya di kamar yang mana?” tanya Hera lagi.Namun pertanyaan itu justru mengacaukan lagi suasana. Karena Alea dan Ardhan menunjuk ke arah yang berbeda.“Di sana, Ma!” Alea menunjuk kamar depan yang ditempati Ardhan.“Di sana!” sementara Ardhan menunjuk kamar yang ditempati Alea.Hera membel
Ardhan setengah sadar. Merasakan sesuatu yang lembut di dalam sentuhannya. Jari jemarinya terus meremas benda lembut dan kenyal. Hingga dia membuka matanya dan menyadari sesuatu. Tangannya telah menangkup di atas tubuh depan Alea dan tampak nyaman di sana.“Astaghfirullah!” tukasnya seketika menarik tangannya yang memeluk Alea itu.Dia berjingkat dan menggeser tubuhnya menjauhi Alea. Dilihatnya jam digital masih menunjukan pukul 03.00. Bahkan masih belum subuh. Ini adalah jam-jam krusial bagi seorang pria. Dia bangkit menyalakan lampu, setidaknya membuat otaknya terus terjaga menghindari hal yang belum ingin dilakukannya.Namun keputusan untuk menyalakan lampu itu sepertinya salah. Dia yang saat ini duduk di kepala ranjang melihat seseorang yang terlelap disampingya itu dengan lekat. Dia jarang memperhatikan Alea dengan baik. Saat ini dia benar-benar menyadari sesuatu, bahwa dia telah menikahi seorang bidadari.Wajah Alea begitu damai dalam mi
Kelas memasak selesai. Alea merapikan mejanya. Beberapa temannya berpamitan, dan Alea hanya tersenyum melambaikan tangannya. Dia ingin membawakan kue itu untuk diincip Ardhan di lantai atas. Karena itu Alea segera mengambil tasnya dan membawakan kue buatannya itu ke kantor Ardhan.“Ada apa?” tanya Ardhan melihat Alea masuk ruang kerjanya sambil senyum-senyum.“Aku bawain kue buat, Kakak!” Alea menghampiri meja Ardhan dan meletakan kue di depannya.“Jangan sok manis deh, bawain makanan segala!”Ucapan Ardhan yang dingin itu membuat hati Alea yang senang mendadak jadi sedih. Dibawain makanan bukannya berterima kasih, malah cuek begitu.“Ya udah deh kalau enggak mau, ngapain juga tadi aku repot-repot bawain ke sini. Nyesel aku lihat muka jutek Kakak!” Alea menggerutu dan mengambil lagi kue yang di bawanya.Pintu terbuka dan masuklah Leon. Melihat ada Alea di sana dia tersenyum lebar dan menghampir
Alea geram lantaran Ardhan mulai membanding-bandingkan dirinya dengan kekasihnya itu. Tidak ada orang yang suka dibanding-bandingkan. Apalagi Alea adalah seorang perempuan. Bagaimana jika Alea juga membanding-bandingkan dirinya dengan para suami diluar sana yang mengerti bahwa jika sudah mengucapkan akad untuk seorang wanita, maka dalam hatinya haram memikirkan wanita lain.Sebagai anak lelaki keluarga Muradz yang didikan agamanya masih kental, tentu Ardhan tahu hal itu. Tapi pria ini mungkin sudah terkontaminasi dengan lingkungannya. Alea hanya berharap yang terbaik saja untuk kedepannya. Entah lanjut atau berhenti di tengah jalan. Dia benar-benar tidak bisa melihat masa depan.“Ini baju tidur biasa lho, bukan lingeri. Serapuh itu ya iman Kak Ardhan, lihat cewek langsung napsu!”Alea jadi teringat wanita-wanita di kantor Ardhan yang berpakaian seksi itu. “Dan apa kak Ardhan juga setiap hari bernapsu melihat karyawan Kak Ardhan yang pakaiannya
Alea masih kesal dengan apa yang sudah diperbuat Ardhan padanya. Dipandangannya sikap Ardhan benar-benar tidak gentle sekali. Dengan jelas dia selalu mengatakan bahwa sangat mencintai kekasihnya itu, tidak mau meninggalkannya begitu saja meskipun sudah menikahi Alea. Lalu kenapa dia masih melakukan hal itu padanya? Kalau saja tidak ada Hera di rumah, maka Alea akan mogok masak dan bersih-bersih rumah. Kalau perlu pergi ke rumah Valen dan menginap beberapa hari di sana agar pria ini tahu, dia juga bisa marah. Sesaat dia teringat legi wejangan Hera padanya, bahwa salah satu fungsi pernikahan adalah meredam nafsu birahi. Seorang istri harus rela dijadikan pelampiasan hasyrat suami demi menyelamatkan dari perzinaan. Ah, sepertinya Alea merasa itu kurang adil baginya. Karena Ardhanlah yang tidak mau melepas kekasihnya itu. Jika Ardhan mau memulai hidup baru tanpa ada orang ketiga bersama Alea, tentu Alea akan rela menyerahkan tubuhnya untuk di sentuh sang suami. Bagaimana jika nanti Ardh