Di dalam ruangan putih berukuran dua puluh empat meter persegi, berdiri dua orang lelaki yang nampak sangat canggung satu sama lainnya. Kepala kedua lelaki itu tengah tertuju pada sesosok wanita yang tengah terbaring lemah di atas ranjang rumah sakit.
Dave menatap tajam ke arah Alex dan Rachel secara bergantian. Rachel hanya bisa menundukkan kepala. Entah mengapa ia tidak sanggup untuk bertatapan mata langsung dengan Dave.
Sedangkan, Alex nampak kesal melihat kedatangan Dave yang mendadak baginya.
"Sepertinya kedatangan anda kemari bukan untuk berkunjung secara baik-baik. Jadi tidak salah bukan kalau saya mengusir anda dari sini sekarang juga?"
Pertanyaan Dave jelas sekali di tujukan untuk Alex, walau matanya memandang tajam ke arah Rachel. Melihat hal itu, Alex mendesis pelan sembari melirik ke Rachel.
"Tidak perlu kau usir pun, saya juga akan pergi sendiri dari
Dave hendak keluar ruangan, namun tidak bisa. Tangannya mendadak di pegangi oleh Rachel. "Mau kemana lagi? Di sini saja. Temani aku," pinta Rachel dengan tatapan memohon. Dave memandang wajah Rachel untuk beberapa saat. Seharian ini waktu dan tenaganya seakan tersita oleh sesosok wanita yang kini tengah berbaring di hadapannya. Wanita yang keinginannya kerap berubah-ubah dan tak jarang membuatnya kebingungan. Walaupun begitu Dave merasa hidupnya kian menarik. Dan mungkin akan semakin menarik seiring bertambahnya usia kehamilan Rachel. Bagaimana tidak menarik kalau semenjak wanita itu hamil, Dave kerap di suguhi pemandangan mengemaskan seperti ini. Kedua mata Rachel mendongak menatap Dave seolah minta di kasihani. Tatapan polos yang penuh harap itu, malah membuat Dave ingin berlama-lama ada di dekatnya. "Saya temani tapi kamu makan sekarang ya."
Rachel nampak mengeliat pelan dalam tidurnya. Menyadari langit biru telah berubah warna jadi gelap, wanita itu lantas terbangun dari tidur panjangnya. Seraya menguap lebar-lebar, Rachel mengedarkan pandangannya mencari sosok keberadaan suaminya. Sebelum tertidur tadi, Dave masih duduk di sofa menemaninya sembari bermain ponsel. Namun ketika ia terbangun, sofa itu sudah kosong. Tidak berselang lama, Rachel mendengar suara derit pintu yang terhubung langsung dengan toilet. Ia menahan napas ketika pintu itu terbuka. Seketika ia menghela napas lega saat melihat Dave yang keluar dari balik pintu itu. "Sudah bangun rupanya," celetuk Dave begitu matanya bertemu pandang dengan Rachel. Rachel menggangguk pelan. Dave berjalan mendekat, kembali ke samping Rachel. "Aku kira kamu pergi kemana," gumam Rachel pelan. "Saya hanya ke kamar mandi sebentar. Ken
Dave mencoba menghentikan kegiatan Rachel agar menoleh ke arahnya. "Kamu lagi ngapain? Bukannya istirahat malah sibuk sendiri," tegur Dave sembari berlutut mensejajarkan pandangan matanya. "Masukin baju-baju, Dave. Lupa ya kalau besok aku sudah boleh pulang," timpal Rachel dengan riang. Ketika Rachel ingin membuka tasnya, Dave kembali memegangi tangan istrinya. "Nanti saja. Biar saya saja yang memasukkan baju-baju itu—" Dave membawa Rachel kembali berbaring ke tempat tidur. "Sudah kamu istirahat dulu. Tidur-tiduran saja." Rachel menurut. Ia hanya diam mengamati Dave yang kini menggantikan tugasnya berkemas. Sesekali ia berkomentar dan memberikan arahan agar tidak ada satupun barang yang tertinggal. "Kemarin sebelum pulang, mamah minta kita buat tinggal bareng mereka. Kamu nggak keberatan 'kan kalau bes
Rachel memandangi wajah tampan yang nyaris sempurna di depan matanya. Lelaki itu terlihat beribu kali lebih tampan dan mempesona dalam keadaan tertidur pulas seperti saat ini. Melihat dari jarak sedekat ini, Ia tidak dapat menahan hasratnya untuk menyentuh wajah suaminya. Ujung telunjuknya perlahan mendekat ke dahi lelaki itu kemudian perlahan turun ke sela di antara kedua matanya, terus turun ke ujung hidung, lalu ke bibir dan berakhir di dagu lancipnya. Menyadari ada pergerakan di kelopak mata lelaki itu, Rachel segera menjauhkan telunjuknya dari wajah Dave dan menutup kembali kedua matanya seperti sebelumnya. Tidak berselang lama Dave menguap pelan sembari membuka perlahan kedua matanya. Ia memandangi wajah Rachel cukup lama. Entah apa yang sedang di pikirkan lelaki itu sebelum akhirnya mencondongkan kepalanya mendekat. Rachel menahan diri untuk tidak membuka kedua matanya ketika merasakan
Dave terkejut mendengar perkataan Rachel. Saking terkejutnya ia sampai berbicara dengan suara yang agak keras. "Jangan keras-keras, Dave. Kecilkan sedikit suaramu. Tidak enak kalau sampai terdengar dan menganggu yang lain. Di kiranya kita lagi bertengkar," tegur Rachel sambil mendekatkan telunjuk ke mulutnya sendiri. Dave menghela napas pelan. "Kamu serius ambil cutinya hanya seminggu?" tanya Dave setengah berbisik. Rachel mengangguk. "Aku cuma di kasih cutinya segitu, Dave." "Bisa di perpanjang bukan cutinya? Jadi kamu nggak usah ke kantor dulu besok." "Mana bisa begitu. Tetap harus ke kantor dulu kalau mau minta tambahan cuti. Itu juga kalau di izinkan. Lagi pula kalau aku ambil cuti banyak di awal, pas mau lahiran nanti aku hanya hanya bisa ambil cuti beberapa hari saja dong." Dave mengusap ujung dagu sesaat setelah mende
Rachel mendadak terbangun di tengah tidur nyenyaknya. Begitu terbangun, matanya langsung tertuju pada sebuah jam besar yang tergantung di dinding kamar Dave. Waktu di jam itu masih menunjukkan pukul satu dini hari. Masih lama waktunya untuk sarapan tapi entah mengapa perutnya terasa lapar. Rachel melirik ke arah Dave yang masih tertidur pulas di sampingnya. Ia sejenak ragu. "Dave..." panggil Rachel sambil menepuk-nepuk lengan Dave. Tidak ada sahutan atau gerakan yang menunjukkan respon dari lelaki itu. Rachel kembali memanggil nama Dave dengan tepukan yang lebih keras dari sebelumnya. Dave mengeliat pelan, tapi kembali tertidur saat Rachel berhenti. Rachel tak gentar. Kali ini ia menepuk-nepuk pipi Dave sembari menyerukan nama suaminya berulang-ulang. Terdengar suara mengumam dari mulut Dave, namun matanya belum mau terbuka. "Bangun, D
Dewi sedang membasuh mulutnya di depan wastafel. Begitu selesai membasuh mulut, ia mendongak. Wajahnya nampak terkejut saat melihat Rachel berdiri dari balik kloset melalui cermin yang ada di depannya. "Kenapa mbak kaget begitu lihat saya?" tanya Rachel menyadari raut wajah Dewi nampak tegang. "Enggak. Saya tadi nggak lihat kalau mbak dari dalam WC," ucapnya terbata-bata. Rachel berjalan perlahan mendekati Dewi. Melihat wajah Dewi nampak pucat pasi, ia jadi sedikit iba. Seperti merasa senasib, Rachel tiba–tiba menatap Dewi dengan wajah sendu. "Mbak, kenapa? Sakit?" "Eh? Enggak. Saya hanya lagi nggak enak badan saja. Kayanya masuk angin nih," kelit Dewi dengan cepat. "Sudah coba periksa ke dokter belum, Mbak? Muka mbak kelihatan pucat loh. Takutnya bukan masuk angin biasa," timpal Rachel terdengar seperti mencoba menakut-nakuti.
Begitu keluar dari kamar mandi, mata Dave melebar mencari sosok istrinya. Di lihatnya Rachel masih duduk di atas ranjang. Wajahnya nampak tertunduk sembari memegang ponsel."Sudah dapat baju yang mau di beli?" sapa Dave seraya mendekati Rachel.Rachel menoleh. Tatapannya nampak dingin saat memandang ke arah suaminya."Dave...""Ya?"Rachel menyerahkan ponsel Dave tanpa berkata apapun.Dahi lelaki itu seketika mengkerut. Melihat keanehan sikap istrinya, ia lantas mengambil ponsel dan melihat sendiri ada apa di dalamnya. Begitu layar menyala, nampak aplikasi messenger yang langsung terlihat di ponsel itu."Kamu baca-baca pesan di hapeku?" tanya Dave seraya melirik Rachel."Iya. Kenapa? Enggak boleh?"Dave diam saja seakan tidak ingin mempermasalahkan sikap Rachel dan memilih mengabaikan pertan