Dave mencoba menghentikan kegiatan Rachel agar menoleh ke arahnya.
"Kamu lagi ngapain? Bukannya istirahat malah sibuk sendiri," tegur Dave sembari berlutut mensejajarkan pandangan matanya.
"Masukin baju-baju, Dave. Lupa ya kalau besok aku sudah boleh pulang," timpal Rachel dengan riang.
Ketika Rachel ingin membuka tasnya, Dave kembali memegangi tangan istrinya.
"Nanti saja. Biar saya saja yang memasukkan baju-baju itu—"
Dave membawa Rachel kembali berbaring ke tempat tidur.
"Sudah kamu istirahat dulu. Tidur-tiduran saja."
Rachel menurut. Ia hanya diam mengamati Dave yang kini menggantikan tugasnya berkemas. Sesekali ia berkomentar dan memberikan arahan agar tidak ada satupun barang yang tertinggal.
"Kemarin sebelum pulang, mamah minta kita buat tinggal bareng mereka. Kamu nggak keberatan 'kan kalau bes
Rachel memandangi wajah tampan yang nyaris sempurna di depan matanya. Lelaki itu terlihat beribu kali lebih tampan dan mempesona dalam keadaan tertidur pulas seperti saat ini. Melihat dari jarak sedekat ini, Ia tidak dapat menahan hasratnya untuk menyentuh wajah suaminya. Ujung telunjuknya perlahan mendekat ke dahi lelaki itu kemudian perlahan turun ke sela di antara kedua matanya, terus turun ke ujung hidung, lalu ke bibir dan berakhir di dagu lancipnya. Menyadari ada pergerakan di kelopak mata lelaki itu, Rachel segera menjauhkan telunjuknya dari wajah Dave dan menutup kembali kedua matanya seperti sebelumnya. Tidak berselang lama Dave menguap pelan sembari membuka perlahan kedua matanya. Ia memandangi wajah Rachel cukup lama. Entah apa yang sedang di pikirkan lelaki itu sebelum akhirnya mencondongkan kepalanya mendekat. Rachel menahan diri untuk tidak membuka kedua matanya ketika merasakan
Dave terkejut mendengar perkataan Rachel. Saking terkejutnya ia sampai berbicara dengan suara yang agak keras. "Jangan keras-keras, Dave. Kecilkan sedikit suaramu. Tidak enak kalau sampai terdengar dan menganggu yang lain. Di kiranya kita lagi bertengkar," tegur Rachel sambil mendekatkan telunjuk ke mulutnya sendiri. Dave menghela napas pelan. "Kamu serius ambil cutinya hanya seminggu?" tanya Dave setengah berbisik. Rachel mengangguk. "Aku cuma di kasih cutinya segitu, Dave." "Bisa di perpanjang bukan cutinya? Jadi kamu nggak usah ke kantor dulu besok." "Mana bisa begitu. Tetap harus ke kantor dulu kalau mau minta tambahan cuti. Itu juga kalau di izinkan. Lagi pula kalau aku ambil cuti banyak di awal, pas mau lahiran nanti aku hanya hanya bisa ambil cuti beberapa hari saja dong." Dave mengusap ujung dagu sesaat setelah mende
Rachel mendadak terbangun di tengah tidur nyenyaknya. Begitu terbangun, matanya langsung tertuju pada sebuah jam besar yang tergantung di dinding kamar Dave. Waktu di jam itu masih menunjukkan pukul satu dini hari. Masih lama waktunya untuk sarapan tapi entah mengapa perutnya terasa lapar. Rachel melirik ke arah Dave yang masih tertidur pulas di sampingnya. Ia sejenak ragu. "Dave..." panggil Rachel sambil menepuk-nepuk lengan Dave. Tidak ada sahutan atau gerakan yang menunjukkan respon dari lelaki itu. Rachel kembali memanggil nama Dave dengan tepukan yang lebih keras dari sebelumnya. Dave mengeliat pelan, tapi kembali tertidur saat Rachel berhenti. Rachel tak gentar. Kali ini ia menepuk-nepuk pipi Dave sembari menyerukan nama suaminya berulang-ulang. Terdengar suara mengumam dari mulut Dave, namun matanya belum mau terbuka. "Bangun, D
Dewi sedang membasuh mulutnya di depan wastafel. Begitu selesai membasuh mulut, ia mendongak. Wajahnya nampak terkejut saat melihat Rachel berdiri dari balik kloset melalui cermin yang ada di depannya. "Kenapa mbak kaget begitu lihat saya?" tanya Rachel menyadari raut wajah Dewi nampak tegang. "Enggak. Saya tadi nggak lihat kalau mbak dari dalam WC," ucapnya terbata-bata. Rachel berjalan perlahan mendekati Dewi. Melihat wajah Dewi nampak pucat pasi, ia jadi sedikit iba. Seperti merasa senasib, Rachel tiba–tiba menatap Dewi dengan wajah sendu. "Mbak, kenapa? Sakit?" "Eh? Enggak. Saya hanya lagi nggak enak badan saja. Kayanya masuk angin nih," kelit Dewi dengan cepat. "Sudah coba periksa ke dokter belum, Mbak? Muka mbak kelihatan pucat loh. Takutnya bukan masuk angin biasa," timpal Rachel terdengar seperti mencoba menakut-nakuti.
Begitu keluar dari kamar mandi, mata Dave melebar mencari sosok istrinya. Di lihatnya Rachel masih duduk di atas ranjang. Wajahnya nampak tertunduk sembari memegang ponsel."Sudah dapat baju yang mau di beli?" sapa Dave seraya mendekati Rachel.Rachel menoleh. Tatapannya nampak dingin saat memandang ke arah suaminya."Dave...""Ya?"Rachel menyerahkan ponsel Dave tanpa berkata apapun.Dahi lelaki itu seketika mengkerut. Melihat keanehan sikap istrinya, ia lantas mengambil ponsel dan melihat sendiri ada apa di dalamnya. Begitu layar menyala, nampak aplikasi messenger yang langsung terlihat di ponsel itu."Kamu baca-baca pesan di hapeku?" tanya Dave seraya melirik Rachel."Iya. Kenapa? Enggak boleh?"Dave diam saja seakan tidak ingin mempermasalahkan sikap Rachel dan memilih mengabaikan pertan
Bagaimana Rachel tidak menuduh Dave yang macam-macam. Tidak ada angin maupun hujan, Dewi tiba-tiba mengirimkan beberapa pesan yang memberitahu kalau dirinya sedang hamil. "Mana saya tahu, Hel. Kenapa dia lapor kehamilannya segala? Memangnya saya dokter kandungan," gerutu Dave sembari mengetik sesuatu di ponselnya. "Kamu sedang berpura-pura bukan?—" Mata Rachel memicing tajam ke arah Dave. "Jawab jujur, Dave. Apa yang sebenarnya terjadi sama kalian sampai Dewi bisa hamil? Dia nggak mungkin kasih tahu kehamilannya kalau nggak ada sangkut pautnya sama kamu." Rachel terus memberondong Dave dengan berbagai pertanyaan tanpa jeda, membuat lelaki itu jadi sakit kepala mendengarnya. "Bisa diam sebentar tidak?" Dave menaruh telunjuknya di bibir. Berharap Rachel menghentikan suaranya. Namun istrinya itu tidak memperhatikan isyara
Dave menghela napas panjang mendengar pertanyaan bernada sindiran yang keluar dari mulut Rachel."Saya sama Fabio ketemuan buat membahas Dewi. Masa iya orang yang di bahas kita ajak juga. Kamu ini ada-ada saja pertanyaannya," timpal Dave sambil mengeleng heran.Dave yang sudah selesai mengeringkan rambutnya, perlahan naik ke atas ranjang. Ia merebahkan tubuhnya di sebelah Rachel."Baca majalahnya di lanjutkan besok lagi saja. Sudah, ayo! Kita tidur," tegas Dave seraya meminggirkan majalah yang ada di atas ranjang ke nakas di sebelahnya.Rachel yang tadinya bersandar pada kepala ranjang, kini sudah berbaring di sebelah Dave. Ia melirik Dave yang hendak memejamkan mata."Kamu beneran nggak mau jelaskan apapun ke aku soal Dewi ya?" tanya Rachel tiba-tiba."Jangan sekarang ya, Hel. Saat ini saya belum bisa kasih kamu penjelasan apa-apa."
Kate menghela napas pelan setelah mendengar pengakuan jujur Rachel. "Anak mamah yang satu itu memang garing, Sayang. Mungkin karena kurang suka bercanda juga. Tapi dia sebenarnya orangnya apa adanya, Hel. Bahkan cenderung tidak bisa berpura-pura." Kate mendadak mengulas senyum lembut. "Kamu takut suamimu itu tidak menyayangimu?" Rachel mengangguk pelan. "Tenanglah, Rachel. Sebagai wanita yang melahirkan dan membesarkan Dave, mamah tahu anak itu sangat sayang sama kamu. Buktinya dia sampai rela gantiin pak Jiman jadi supir papah." "Maksud mamah?" "Dave tadi minta pak Jiman buat antar kamu pergi. Bahkan dia sampai kirim pesan ke mamah segala buat memastikan kamu berangkat kerjanya nggak sendirian," sambung Kate seraya memperlihatkan pesan singkat Dave di ponselnya. Rachel seketika menundukkan kepal