"Menyebalkan! Misi macam apa ini? Masa untuk mempertahankan jabatan CEO harus luluhin cewek asing, buang-buang waktu saja!" pekik pria itu frustasi setelah beberapa kali memandang dokumen yang berisi info tentang calon istrinya.
Meski hujan, Haidar bahkan melajukan mobilnya dengan kecepatan tinggi. Ia masih tak menyangka dengan syarat yang diberikan keluarganya. Terlebih, dia jauh lebih muda dari Haidar!"Aaaaaaaaaaaaa!"Suara teriakan perempuan dari depan membuat Haidar terkejut. Ia segera mengerem mobil.CIT!Brugh!Sayangnya, pengendara motor di depannya tetap terjatuh.Oleh sebab itu, Haidar gegas keluar mobil dan menghampiri. "Sorry, sorry! Ada yang luka?"Alih-alih menjawab, perempuan itu merintih kesakitan. Hal ini membuat Haidar terdiam dan terus mengamatinya.Barulah dia tersadar sesuatu ....Bukankah gadis yang dijodohkan dengannya?"Malah bengong! Tolongin, woii!" teriak calon istri yang dijodohkan dengan dirinya secara diam-diam itu.Saat ini, Ciara memang basah kuyup karena hujan deras yang mengguyur bumi. Untuk memastikan keadaannya, Haidar kembali ke mobil untuk mengecek kebenarannya."Kamu Ciara Basma?" Haidar membantu Ciara berdiri, untungnya hanya sedikit luka lecet."Iya, kok tahu? Om ini siapa?" tanyanya."Mmm, temen abinya kamu. Ayo ke mobil! Om obatin lukanya dan sekalian antar pulang," ungkap Haidar."Oke! Om harus tanggung jawab karena bikin Cia jatuh, tapi kita ngobrol dulu aja di teras!" pinta Ciara."Hhhh! Dasar perempuan!"Melihat gadis di depannya itu, Haidar merasa sombong dalam dirinya. Ia menerka-nerka kalau meluluhkan gadis tersebut sepertinya tidak terlalu sulit meskipun tampangnya terlihat galak. Sampai-sampai tidak sadar, jika ia tersenyum manis ke arah Ciara."Hellooo! Cantik yaa ... aku? Sampai bengong dan senyum-senyum sendiri, jangan-jangan Om itu nak---"'Payah! Bibir gak bisa dikondisikan!' batin Haidar."Iya, Om naksir sama kamu. Ya udah ke teras dulu untuk obatin luka sama ...."Tidak ada seorang pun yang lewat menyeberangi hujan deras. Hanya ada mereka berdua yang kini duduk bersanding di teras warung. Haidar mengobati luka lecetnya Ciara kemudian memintanya untuk ganti baju."Sama apa! Om bukan orang jahat, kan?" tanyanya dengan ketus."Bisa jahat bisa baik, namanya juga manusia. Sama ... kamu harus ganti baju setelah ini!" Haidar menutup kembali obat merah dan bergegas untuk melepas kancing bajunya."Aaaaa, jangan!" teriak Ciara dengan menutup mata.Haidar hanya tertawa melihat reaksi gadis cantik itu terlihat ketakutan. Belum tahu saja, kalau Haidar hanya melepas bajunya dan masih memakai kaos berlengan pendek. Saat itu juga, petir membuat Haidar kaget yang membuatnya hampir jatuh ke tubuh Ciara.Dierrrr!"Iiihhh! Om!" Ciara memanyunkan bibirnya dan menjauhkan diri dari Haidar. "Oh, Om masih pakai kaos, bilang dong dari awal!""Sorry ... ada petir, hahaha ... buruan ganti! Tuh, di sana ada kamar mandi!" perintah Haidar."Celana Cia basah, percuma! Gak mungkin juga kalau pakai punya Om meskipun Om rangkap tujuh celananya! Ogah banget!" sahutnya.Jiwa-jiwa kesal Haidar mulai tumbuh lagi. Meladeni ucapan perempuan dan hanya berduaan? Sungguh perkara yang sangat menyebalkan dan mengganggu waktunya untuk hal-hal produktif. Namun, ia harus bisa mengontrol hal tersebut."Oh iya, di mobil masih ada celananya Om yang habis di-laundry, pakai itu aja!" seru Haidar."Celana cowok? Bajunya udah milik Om, gak maulah makai celana cowok! Pokoknya Om harus cariin celana cewek buat aku! Salah siapa main oleng bawa mobil!" omelnya."Argggh! Bisa diam, nggak!" bentak Haidar.Bagi Ciara, bentakan laki-laki untuk perempuan itu sangat menyakitkan. Sekalipun itu bukan siapa-siapanya. Ia menunduk tanpa kata, berusaha mengibaskan rasa sakit hati dari bentakan Haidar."Tanpa bertemu Om pun, kamu sudah basah kuyup!" imbuhnya."Iya, basah ... tapi tidak sekotor ini!" Ciara meneteskan air mata."Huffft! Malah nangis!" keluh Haidar. Ia memesan celana ke toko saudaranya untuk segera diantar ke teras warung tersebut."Sama perempuan jangan gitu dong, Om! Sakit banget dibentak laki-laki tuh. Perasaan, temen Abi gak ada yang jahatin Cia!" racau Ciara.Tidak ada obrolan untuk beberapa menit. Ciara terhanyut dengan rasa kesalnya kepada Haidar, begitu pula sebaliknya. Niat Haidar itu mau menolong supaya Ciara tidak kedinginan, tetapi sikap Ciara membuat Haidar semakin kesal saja. Ia pikir, perempuan itu akan tunduk dan bisa segera ia bujuk untuk diajak menikah.Tiiinnn!"Alhamdulillah, sudah datang," gumam Haidar.Ia segera mengambil celana yang ia pesan tadi. Sekalian memanfaatkan keadaan, Haidar menyuruh temannya yang mengantar tersebut untuk mengawasi keberadaannya bersama Ciara, tanpa sepengetahuan Ciara. Haidar takut terjadi hal yang tidak diinginkan karena gadis di sampingnya itu sudah pucat."Nih, celana baru! Cepat ganti di kamar mandi sana!" Haidar menyodorkan bingkisan."Wuih, gercep amat ... tapi di kam---" ucapnya tersendat."Kamu takut di kamar mandinya? Minta ditemenin?" tanya Haidar dengan senyum samar."Bukan takut apalagi minta ditemenin! Risih ... dari sini aja kelihatan kotor banget!" keluh Ciara."Ya udah, ganti aja di mobil!""Nggak mau juga, di mobil sempit dan terlalu mudah untuk Om intip, kan lagi naksir sama Cia," sahut Ciara."Nggak usah kepedean. Kamu jangan banyak alasan karena nggak mau ganti baju dan ujung-ujungnya pingsan! Ada hal serius yang harus kita bicarakan, tolong dong gak usah memperpanjang masalah ganti baju!" bentaknya lagi.Sebenarnya, ini seperti bukan Haidar yang berbicara. Ia bukan laki-laki yang mudah membentak perempuan dan maksud dia juga tidak untuk membentak Ciara. Kekhawatiran akan kesehatan Ciaralah yang sebenarnya ia ungkapkan. Karena dalam dokumen yang belum lama ia baca, calon istrinya itu tidak tahan dengan air hujan.Di sisi lain, Ciara akhirnya mau ganti baju di kamar mandi. Suara mobil berpadu dengan indahnya gerimis yang masih saja membasahi bumi. Haidar mengantarkan calon istrinya tersebut untuk pulang. Untuk membuktikan keakrabannya dengan abinya Ciara, Haidar menunjukkan foto dan video kebersamaannya di London."Enak kan kalau sudah ganti baju?" tanya Haidar."Lumayan, tapi bau!" jawab Ciara."Hahaha, pasti bau cinta ... kamu Om ajak nikah mau, kan?" ungkap Haidar."N-nikah?"Ciara tampak berpikir keras setelah melihat beberapa video Haidar bersama abinya dan ajakan menikah. Tidak mungkin lelaki jahat, jika dengan abinya saja dia kenal dan akrab. Itu sudah menjadi kunci Ciara saat mengenal laki-laki. Meskipun tadi sempet ia kira membentak, sekarang sadar kalau hal tersebut menjadi bagian dari kekhawatiran Haidar."Om beneran suka sama Cia? Atau terpaksa karena dijodohin Abi?" tanya Ciara."Beneran ... Om itu lagi nyari kamu, eh ... ketemunya pas jatuh. Biar Om lamar sekalian sampai rumah kalau Cia mau," jawab Haidar."Gak, ah! Ini pasti jebakan aja! Awas macem-macem! Mau tidur dulu, perut Cia sakit!"Haidar memelankan laju mobilnya. "Mana ada kayak gini dibilang jebakan? Astaghfirullah! Sakit kenapa perutnya? Sakit pengen hamil?" goda Haidar."Iiih! Jangan ngaco ngomongnya!" teriak Ciara.Haidar baru ingat. Selain Ciara yang tidak betah air hujan, ia juga tidak bisa telat makan. Konsentrasi menyetirnya kini pecah, antara memperhatikan setir dan Ciara yang terus saja merintih kesakitan, yang menyebabkan mobilnya tidak terkendali dengan baik."Awwww!" pekik Ciara dan Haidar sebelum lumuran darah mereka membasahi mobil."T-tolong!" teriak Ciara."Astaghfirullah! Ci, Cia … bangun!" seru Haidar sembari menepuk-nepuk pundaknya."Aaaaaa, tolong!" teriaknya lagi lalu terbangun."Haduh! Bisa-bisanya tidur sebentar aja udah ngelindur. Bangun-bangun gelagapan kayak habis dikejar setan," ucap Haidar. "Astaghfirullahal'adzim, aku mimpi kita kecelakaan. Alhamdulillah cuma mimpi Ya Allah. BTW, kok Om biarkan Cia tidur beneran, sih!" omelnya."Orang lemes begitu ya biarin aja tidur daripada pingsan maksain melek!" Haidar tersenyum samar ke arah Ciara. Betul juga, Ciara memang sedang lelah, badannya tidak baik-baik saja akibat hujan yang menerpa. Setelah ganti baju yang diserahkan Haidar, ia dan Haidar tidak menunda waktu untuk perjalanan pulang ke rumah gadis cantik tersebut. Haidar sengaja membiarkan Ciara tertidur di tengah perjalanan."Hhh! Ya takutnya manfaatin kesempatan dalam kesempitan!" bentak Ciara. "Kamu kok jadi emosi?" "Ya jelas! Laki-laki kalau lagi nak---""Suud! Laki-laki seperti Om ini kalau na
Suara benturan keras antara mobil Haidar dan pembatas jalan, terjadi di tengah sunyinya jalan dan derasnya hujan. Mereka mengalami kecelakaan tunggal karena rem blong. Akibat benturan tersebut membuat serpihan kaca mengenai tubuh keduanya, sementara kaki Haidar terjepit kursi dan dashboard."O-om, bangun!" pinta Ciara dengan lirih sebelum pingsan. Tidak ada satu menit setelah kejadian, keduanya tidak sadarkan diri. Darahnya banyak yang yang keluar melumuri mobil. Beruntungnya ada teman Haidar yang tadi sempat disuruh mengawasi keberadaannya bersama Ciara secara diam-diam. ***Selang berisi darah sudah berjalan masuk ke dalam perangkap transfusi darah untuk Ciara. Lain dengan Haidar yang masih terbaring belum sadarkan diri setelah operasi kakinya. Ciara meminta satu ruang bersama Haidar, bukan karena ingin mencari kesempatan, tetapi karena rasa bersalahnya yang hinggap. "Bangunlah! Om kan masih mau belajar buat sate yang enak. Katanya mau buktiin, bangun!" Suara alat bantu di rumah
"Apa-apaan ini? Om belum pernah nikah," jawab Haidar. "Terus itu siapa? Om juga denger sendiri, kan? Laki-laki tak tahu diri!" teriaknya. "Haidar! Alhamdulillah ... ternyata mayat yang di depan bukan kamu. Maaf ya, ngaku-ngaku jadi istri kamu ... biar cepet diladenin, soalnya lagi rame di depan." Perempuan berpakaian baju kantor yang menjadi sekretaris Haidar itu langsung masuk ruangan. "Hahaha, iya gak masalah," jawab Haidar.'Sial! Kenapa mereka nggak luka yang lebih parah?' batin Toya. "Hmmm ... Alhamdulillah masih diberi hidup, jadi ... masih ada kesempatan untuk menikahi Ciara." Haidar mengedipkan mata kirinya. "Ish, turuti syaratnya dulu!" bentak Ciara. "Mau dituruti atau nggak, yang namanya jodoh gak akan ke mana ... hahaha, lagian kalau udah naksir gak usah sok-sokan. Tadi aja pas Toya bilang suami ... wajah kamu udah kayak tomat," jawab Haidar."Ihh! Cia tuh hanya melindungi diri dari sengatan mangsa laki-laki! Intinya gak mau dipermainkan. Masih kekeh ingin mencoba penu
"Menikahnya sudah Om yang minta. Sekarang ganti Cia yang milih malam pertamanya. Mau di hotel aja! Kalau di hutan dingin!" rengek Ciara. "Justru dinginnya itu yang dicari," jawab Haidar. "Ogah, Cia mboten purun!" Ciara memonyongkan bibirnya. "Kedah purun," sahut Haidar. "Dibilang tidak mau ya tidak mau! Menyeramkan, Om! Cia tuh … takut gelap yang akut sebenarnya," ungkap Ciara. "Kenapa tertawa?" "Ya sudah ngikut kamu," jawabnya.Haidar mengalah untuk yang ini. Pikirannya sudah tertata karena jabatan CEO tetap berhasil. Haidar menyadari, selesai masalah satu, dia akan menghadapi perkara baru. Namun, itu sudah menjadi pilihannya.***"Siapa yang beliin baju itu? Siapa juga yang suruh pakai!" Haidar menutup mata. "Om kok begitu, tidak senang?" tanya Ciara. "Kamu terlalu menggoda!" Haidar berjalan ke ranjang, tetapi malah berselimut sendiri. Entah, harus dengan bahasa apa Haidar mengatakan yang sebenarnya. Pernikahan yang hanya pura-pura dijalankan dengan cinta. Menikahnya secara
"Ini, ada kabar dari keluarga Mamamu," jawab Ciara. "Kabar apa? Mana … kok sudah mati cuma sebentar?" tanya Haidar. "Hahaha … kena prank. " Ciara tertawa lepas, dia kesal dengan suaminya, sekalian saja di-prank. "Is, kamu masih waras? Masa baru beberapa hari nikah sama Om ... jadi gila?" Haidar menyentuh jidat Ciara. "Om Sayang apa, sih? Katanya suruh prasangka baik, lah ini … malah mengira kalau ciara gila!" keluhnya. "Hahaha, ingin ketawain saja. Yuk, buruan isi tenaga!" ajak Haidar. Haidar tahu saja kalau Ciara hanya prank. Begitulah dia, tidak mudah untuk dikelabui. Tidak kehabisan ide, Ciara terus bersikap centil di hadapan Haidar. Prank-nya gagal, tetapi tidak dengan langkah fisik selanjutnya. "Cium dululah!" pinta Ciara. "Om Sayang kan, tidak suka orang lebay!" Haidar ikut bercermin meraba dagu mulusnya sendiri. "Dulu saja mengancam mau cium waktu belum menikah, sekarang sudah menikah masa malah dibiarkan. Tidak mau mencium, ya sudah tidak mau makan!" seru Ciara. “Hhhh
"Tenang, kita liat sama-sama," jawab Haidar. Kabar tidak sedap kembali mengguncang. Tangis yang menderu itu, ternyata tangis tentang kabar kecelakaan pesawat yang tentunya menimbulkan banyak korban. Pihak yang akan bekerjasama dengan Haidar pun membatalkan pertemuan di waktu tersebut, mereka mengundur sehingga mengakibatkan Haidar mengurus kerjasama yang di luar kota terlebih dahulu. Pengunduran dilakukan karena pihak sana juga tahu akan kecelakaan tersebut yang mana beberapa korbannya merupakan anggota keluarga dari pihak yang akan bekerjasama. ***"Om Sayang, boleh minta sesuatu gak?" tanya Ciara. "Asal bukan anak," jawab Haidar. 'Hhh, minta jawaban aja," sahut Ciara. "Apa, hmm?" Mereka sudah dari tadi di atas ranjang, tetapi belum juga memejamkan mata karena Ciara terus saja mengajak bicara. Meskipun tidak jadi ke luar negeri, besok Haidar sudah harus berangkat ke luar kota. Seperti wanita pada umumnya, Ciara sengaja manja ke suami, walaupun dia juga tahu seharusnya malam ini
Ciara langsung bergegas untuk mandi. Ia orangnya mudah penasaran, apalagi ini tentang pernikahannya yang sekarang masih bermain dengan api meluluhkan. Haidar tersenyum samar, bahagia melihat senyum sang istri sudah mendarat. "Hemm, udah mandi," kata Ciara."Oke, Om mandi dulu ya, entar baru cerita," jawab Haidar."Jangan lama-lama, Sayang!" pintanya."Siap." Seperti peringatan istrinya, Haidar tidak terlalu lama di kamar mandi. Pada dasarnya, ia memang lelaki yang juga tidak suka berlama-lama di dalam kamar mandi. Istrinya sudah menunggu dengan dandannya yang mempesona. Dibilang tidak tertarik, itu munafik, Haidar tentu tertarik, tetapi tetap belum bisa melabuhkan cinta. "Tuh ganti bajunya, mau dipakaiin?" tanya Ciara. "Gak usah, biar cepet tak pakai sendiri saja." Haidar masuk ke ruang ganti baju. "Yee, dah rapi. Cerita sini sambil Cia sisirin," kata Ciara."Cerita apa?" "Tadi katanya mau cerita tentang pernikahan," jawabnya."Hehe, cuma bohongin Isbay saja, hahaha. Berchandya …
Terkejut dengan ucapan Ciara. Dalam bayang pikiran Haidar, istrinya tahu dari mana nomor ponselnya Bening. Ia masih berusaha santai dan tetap fokus ke laptopnya. Wajah dan kelakuan Ciara yang galak pun tidak bisa dikondisikan lagi, tanpa pikir panjang menggebrak meja kerjanya Haidar. Breghh."Astaghfirullahal'adzim, Isbay!" Haidar kaget dan langsung berdiri. "Aku ini sedang bicara sama Om!" teriaknya."Kalau kedatangan kamu cuma mau ribut, Om antar pulang sekarang!" seru Haidar."Tega ya! Om mikir gak sih, istri mana yang tidak cemburu jika foto suaminya diposting perempuan lain dengan caption love! Manaaaaa! Kecuali kalau memang orangnya seperti Om, nggak ada cinta untuk pasangan halalnya," omel Ciara."Duduk, Isbay … udah ya marahnya. Dapat nomer Bening dari siapa?" Haidar merangkul istrinya untuk duduk di atas ranjang."Mama Sita," sahutnya. Ciara terdiam melihat sorot mata suaminya yang tidak mungkin Haidar menduakannya. Hampir saja Haidar terpancing emosi, tetapi untungnya bisa