Share

BAB 06

"Sedang apa aku disini? Apa kau tak di beri tahu jika tempat ini adalah perpustakaan pribadiku? Harusnya disini aku yang bertanya padamu, sedang apa gerangan gadis sepertimu tengah malam ada disini?"

Dinda terpaku di tempatnya berdiri. Hanya bisa mengulum senyuman sembari berpikir dengan keras karena tak terpikirkan adanya tempat pribadi semacam yang di katakan pria itu.

"Maafkan.. Saya.." ucap Dinda dengan terbata-bata.

Tuan Evan melirik majalah dewasanya, yang sedari tadi masih berada di genggaman gadis di hadapannya. Kemudian tersenyum menyeringai seolah memikirkan sesuatu yang tak semestinya.

"Hm, aku tak menyangka jika gadis sepertimu punya selera yang bagus."

Dinda gegas tersadar, reflek menjatuhkan majalah itu karena sedikit panik.

Tuan Evan tampak menatap Dinda yang tengah gugup itu. Dengan mata menyoroti dengan tajam pakaian tidur tipis dan menerawang yang Dinda kenakan.

Terdengar pula ketika Tuan Evan menghela nafasnya yang begitu panjang. Sehingga membuat bulu kuduk Dinda berdiri tegak karena takut.

"Sebaiknya kau kembali sekarang, sebelum hal yang tak pernah terlintas di kepalamu itu menimpamu." bisik pria itu sembari melirik belahan pakaiannya. Membuat Dinda dengan cepat menyilangkan kedua tangannya di dada.

"Jangan menatapku seperti itu, Tuan." lirih Dinda, cemas.

Sampai ketika kedua netra mereka bertemu di titik yang sama.

Membuat Dinda begitu tak percaya jika pria di hadapannya itu ternyata bisa berpikiran kotor seperti itu padanya.

Padahal jelas-jelas tadi siang Dinda mendapati Tuan Evan menolak Jia yang notabene lebih seksi dan menggoda dari pada dirinya. Benar-benar aneh!

Dinda bangkit dari tempat duduknya sebelum waktu membuat mereka lupa diri.

Tatapan tajam gadis itu benar-benar seperti belati tajam yang siap menghunus Tuan Evan kapan saja ia mau.

Dan Tuan Evan, ia hanya bisa tersenyum masam melihat tingkah istri termudanya itu.

Tanpa Dinda sadari jika pemandangan lain justru terpampang lebih jelas di hadapannya sekarang.

Ketika pakaian tidur Dinda yang begitu pendek itu tersingkap dan malah menampakan sedikit banyak pahanya yang mulus.

Deg!

Dinda terpaksa mengikuti arah mata Tuan Evan, dan saat ia lagi-lagi tersadar, gadis itu hanya bisa menahan malu karenanya. Terlihat sangat bodoh! Menurutnya.

Tuan Evan memalingkan pandangannya, berusaha keras agar tak terjatuh pada perangkap nakal istri keempatnya itu.

"Nampaknya kau sama sekali tak berbeda dengan ketiga istriku ya? Lihatlah kau yang mencoba merayuku."

"Stop! Jangan mendekat!" Dinda berteriak, ketika melihat Tuan Evan yang semakin mendekatinya.

"Kau berani menghentikan ku? Bukankah kau sengaja melakukan semuanya demi perhatian ku?"

"A-aku... Aku harus kembali ke tempatku. Maaf karena sudah mengganggu waktumu. Permisi"

Dinda benar-benar telah habis akalnya. Sehingga menurutnya hal paling tepat adalah pergi dari tempat itu sekarang juga.

Grep!

Namun sepertinya itu hanya angan-angan Dinda saja, ketika ia berpikir jika langkahnya untuk pergi bisa berjalan lancar. Sekarang Tuan Evan justru menghentikan langkahnya dengan mencengkram lengannya.

"Apa yang.... Ah!"

Dinda begitu terkejut, ketika tiba-tiba Tuan Evan justru menariknya hingga ia jatuh ke pelukannya.

Mendaratkan wajahnya tepat di dada Tuan Evan yang bidang itu. Sampai tak sengaja kedua matanya bisa melihat rambut halus yang tumbuh dari balik kancing piyama yang pria itu kenakan.

Dinda bingung, ketika Tuan Evan memeluknya erat hingga ia kesulitan untuk menghirup oksigen.

Sampai ia terpaksa mengangkat tangan kanannya, dan....

Pluk! Menempelkan telapak tangannya tepat di wajah Tuan Evan dan mendorong kepalanya dengan berani.

Sepertinya Dinda memilih bersikap kurang ajar pada orang yang terlebih dahulu bersikap kurang ajar padanya itu.

Membuat Tuan Evan hanya terdiam dengan apa yang ia harus terima.

Dengan tatapan sinis Dinda mencoba membuat Tuan Evan tak berani macam-macam padanya. Mendorong tubuh Tuan Evan, lalu mengepalkan kedua tangannya dan memasang kuda-kuda.

"Aku atlet karate." seru Dinda dengan lantang.

Untunglah Tuan Evan tak terbawa emosi dengan tindakan kurang ajarnya itu.

"Singkirkan tanganmu itu. Meski kau atlet tinju sekalipun, itu tak akan membantu."

Dinda kesal, terpaksa bersikap biasa ketika kena tegur.

"Kau iblis kecil! Sepertinya kau ini tak takut jika nanti aku menghukum mu ya?"

Dinda tersenyum, menatap Tuan Evan tanpa segan kali ini.

"Hukum? Ayo hukum aku. Istrimu ini sudah kelewat batas bukan? Bagaimana kalau Tuan ceraikan saja aku."

"Cerai?"

"Ya, aku bukan istri yang baik untukmu. Aku kurang ajar, tak beretika dan susah di atur. Alangkah lebih baik jika Tuan menceraikan, dan tendang aku keluar dari kediaman mu ini."

Kini giliran Tuan Evan yang tersenyum, senyum smirk untuk mengimbangi Dinda.

"Kalau begitu mati saja."

"Mati?"

"Ya dengan begitu aku akan mengirim mu keluar dari kediaman ini."

"Hah? Lalu untuk apa kau mengoleksi istri banyak-banyak disini? Jika kau saja tak mencintai mereka."

"Aku memang tak mencintai ketiga istriku itu."

"Empat. Ingat? Kau punya empat istri sekarang." Dinda menunjukan jarinya yang membentuk bilangan empat.

"Oh, apa kau mau di sebut sebagai istri Tuan Evan juga?"

"Ah lupakan saja. Intinya kau mau menceraikan ku tidak?"

"Aku ini suamimu bukannya temanmu. Panggil aku dengan sopan. Panggil Tuan!"

"Aku ini istrimu bukannya pembantu mu. Mengapa aku harus memanggil Tuan pada suamiku?"

Dinda tak menampakan raut wajah takut sama sekali. Sedangkan Tuan Evan hanya bisa mengerutkan dahinya.

Dia sama sekali tak menyangka jika istri yang baru ia nikahi itu sangat berbeda dengan ketiga istrinya yang lain.

"Pergilah kau, sebelum ku panggang kau hidup-hidup."

"Cih, suami macam apa kau ini. Melihat majalah dewasa tapi tak mau menggauli Kak Jia yang terus menggodamu itu. Ibarat beruang kutub yang menolak memangsa ikan."

"Apa beruang kutub hanya memangsa ikan? Dia bisa saja sudah kenyang memangsa pinguin."

"Hah atau jangan-jangan kau termasuk pria yang belok?" Dinda menutup mulutnya dengan tangannya setelah mengutarakan isi pikirannya.

"Sepertinya kau sangat tertarik dengan kehidupan seksual ku ya, istriku. Apa sekarang kau mengajukan pembuktian?"

"Lihat, bahkan kau terangsang pada anak sekecil ku?"

"Hahaha, aku sudah terangsang padamu sejak kau bayi, Dinda."

Dinda termenung mencerna perkataan Tuan Evan yang baru saja di ucapkan. Butuh beberapa menit bagi otaknya yang kecil itu untuk menerjemahkan artian kata-kata yang keluar dari mulut pria dewasa di hadapannya itu.

"Bayi? Hahaha... Apa kau melihat bahkan saat aku bayi?" Dinda seolah tak percaya dengan ucapan Tuan Evan yang terkesan mengada-ada.

Mendengar cemoohan Dinda, tampak Tuan Evan membuka laci meja bacanya. Mengeluarkan selembar potret hitam putih lalu menunjukkannya pada Dinda.

"Lihat, bukankah ini kau waktu bayi?"

Gegas Dinda merebut foto lama itu dari tangan Tuan Evan dan menyelidikinya benar-benar.

Dan benar membuat terkejut saat Dinda melihat foto lama itu. Tampak jelas tergambar di sana seorang pria tanggung tengah menggendong bayi kecil yang tak asing.

"Ah ini Kakekku?" Dinda menunjuk seorang pria tua yang juga ada di dalam foto itu.

"Apa sekarang kau percaya jika aku menyukaimu bahkan sejak kau bayi."

"Ini sama sekali tak lucu! Apa kau punya hasrat pada seorang bayi waktu itu. Hahaha kau seorang pedofil jika begitu."

Dinda tertawa terbahak-bahak karenanya, sehingga kelepasan dengan memukul-mukul dada Tuan Evan ketika tertawa.

Tuan Evan yang kesabarannya hampir habis lalu menangkap tangan Dinda dan menggenggam erat tangannya "Kau bahkan cantik sedari bayi, Dinda."

Deg! Deg! Deg!

Kali ini mereka terdiam, terpaku menatap satu sama lain di kesunyian malam.

Kedua mata Dinda mendelik lebar. Kali ini dia bahkan sampai bergidik ngeri. Ketika melihat ekspresi Tuan Evan yang tampak tak merasa berdosa sedikitpun.

"Kau pedofil?" tanya Dinda.

Bukannya marah, Tuan Evan justru tersenyum. "Bagaimana itu di sebut pedofil? Aku menikahi mu di saat usiamu sudah legal untuk di nikahi."

Dinda melepaskan genggaman tangan Tuan Evan dengan paksa, kemudian berlari meninggalkannya sendiri. Kabur dari obrolan gila mereka di tengah malam.

Sedang Tuan Evan hanya menggelengkan kepalanya saat melihat kepergian Dinda. Lalu kembali tersenyum sinis karena tak habis pikir dengan kelakuan istri kecilnya itu.

"Bukankah dia sudah melewati batas Tuan?"

Seseorang muncul dari balik kegelapan. Karena ternyata di tempat itu tak hanya ada mereka berdua sejak tadi.

Dia adalah Rendra, orang kepercayaan Tuan Evan yang selama ini melayaninya.

"Kau awasi terus gadis itu. Jangan sampai dia terluka sedikitpun."

"Baik Tuan."

******

"Hah hah hah.. Gila! Benar-benar gila! Ternyata dia orang yang begitu menjijikan."

Dinda mengusap peluhnya saat sampai di depan pintu kamarnya. Dia telah menjadi sangat berkeringat karena dengan sekuat tenaga berlari pergi agar terlepas dari Tuan Evan.

"Dinda, kau dari mana saja? Aku mencari mu kemana-mana." Tiur muncul dari dalam kamarnya.

"Haus, ambilkan aku air."

Melihat Dinda yang begitu kepayahan, gegas Tiur menuangkan air ke dalam gelas lalu memberikannya pada Dinda.

Dan dalam beberapa tegukan saja ia sudah menghabiskan air minumnya itu.

"Apa kau sudah olahraga malam?" tanya Tiur, khawatir.

Dinda menatap Tiur lekat-lekat "Ini semua salahmu."

"Salahku?" Tiur tak mengerti.

"Kenapa kau memakaikan ku pakaian setipis ini? Lihat! Ini sangat menerawang. Bahkan bra ku saja terlihat dengan jelas." gerutu Dinda kesal.

Tiur tersenyum saat mendengar keluh kesah Dinda "Semua baju malammu disini memang seperti ini semua. Apa kau baru sadar?"

"Kenapa aku harus memakai pakaian seperti ini?"

"Tentu saja agar Tuan Evan melihatmu dan kau mendapatkan kasih sayangnya." jawab Tiur tanpa ragu.

Glek! Dinda sampai kesulitan bahkan untuk menelan salivanya. ketika kembali teringat bagaimana kejadian yang sudah ia lewati bersama Tuan Evan baru saja.

"Ngawur kamu. Kak Jia saja tak di lirik. Apa lagi badan triplek kaya aku ini."

Tiur menggeleng, "Bahkan menurutku dari semua istrinya, kau ini yang paling cantik."

"Hahahaha, jujur belum pernah ada yang bilang aku cantik selama ini."

"Itu karena mereka tak memperhatikanmu. Kau cantik dengan caramu sendiri. Percayalah."

Dinda hanya bisa tersenyum saat mendengar Tiur yang selalu memujinya itu. Sampai hari itu berakhir begitu saja. Dinda yang sudah sangat lelah memutuskan untuk beristirahat setelahnya.

*****

Hari berlalu begitu cepat berganti, membuat Dinda yang harus bangun ketika baru beberapa jam tertidur sampai kehilangan selera makannya. Terpantau Dinda hanya menatap piring sarapannya pagi ini. Rasa lelahnya lebih melelahkan ketimbang rasa lapar yang melanda nya.

Tanpa pemberitahuan, tiba-tiba saja Tuan Evan sudah duduk bergabung dengan ke empat istrinya di meja makan.

Jia yang terkejut buru-buru memanggil pelayan untuk melayani suami mereka itu dengan baik.

"Sangat jarang sekali Tuan sarapan dengan kami." ucap Jia dengan begitu girang.

"Apa tak boleh aku semeja dengan istriku." ujar Tuan Evan sembari melirik Dinda yang tampak sesekali memejamkan kedua matanya itu. Gadis itu benar-benar mengantuk!

"Bukan begitu, saya jadi tak bisa melayani Tuan dengan benar." lirih Jia terdengar begitu menyesal.

"Sudahlah, habiskan saja sarapan mu itu. Abaikan saja aku."

Tuan Evan meraih sendoknya, lalu sesekali kembali melirik Dinda yang kini tengah menatapnya.

Sepertinya Dinda sama sekali tak peduli akan kehadirannya. Dia terlihat lebih merindukan kasur dan selimutnya sehingga tak terlalu memperhatikan Tuan Evan yang terus mencuri pandang padanya.

Anita yang duduk di sebelah Dinda sepertinya menyadari gelagat Tuan Evan yang sebenarnya pada Dinda. Membuatnya tersenyum kecil saat Tuan Evan menangkap tatapan Anita yang kini menaruh curiga padanya.

Bahkan seorang Tuan Evan bisa salah tingkah saat Anita memergokinya. Pria yang biasanya bersikap acuh dan tak peduli pada apapun, kini terlihat begitu terikat pada sosok istri baru yang terlihat tak begitu mengharapkannya. Benar-benar lucu!

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status