“Aku tidak mau melepaskanmu! Asal kamu mau merahasiakan tentang Rani. Ini untuk kebaikan kita, Sayang. Rani berperan penting bagi anak kita nanti,” terang Galvin menenangkan istri pertamanya.
Isak tangis Siska semakin pecah. Ia memang menginginkan seorang anak. Namun, ada rasa tidak terima jika anaknya nanti dikandung oleh wanita semacam Rani. “Aku mohon, kamu terima Rani. Bagaimana pun dia sudah rela mau memberikan anak untuk kita. Kamu mengerti ‘kan?” Galvin berkata kembali agar Siska paham. Anggukkan kecil pun Siska berikan kepada suaminya. Meski hatinya sebenarnya menolak keras, tetapi ia akan mencoba menerima Rani berada di keluarganya. “Maafkan aku, Mas. Aku terlalu egois. Sampai-sampai aku bersikap seperti ini,” sesal Siska lirih. Galvin yang masih memeluk tubuh istri pertamanya langsung merasa lega. Sebab, Siska sudah mau menerima Rani kali ini. “Tidak perlu meminta maaf. Ini semua salahku, harusnya dari awal aku memberitahumu. Akan tetapi, semua sudah terjadi,” kata Galvin menyesal. Siska semakin mempererat pelukannya kepada sang suami. Ia merindukan hal seperti ini. Apalagi hampir 2 minggu ditinggal keluar kota, lalu pulang-pulang membawa madu. Hal itu pun membuat hati Siska terasa sakit tak berdarah. Namun, berbeda dengan Rani yang melihat dua sepasang suami-istri itu yang sedang saling berpelukan. Entah kenapa ada rasa sensasi terbakar di bagian dadanya. Padahal memang sudah sepantasnya mereka berdua saling memaafkan satu sama lain. Akan tetapi, hati Rani serasa tidak bisa menerimanya. Ia pun akhirnya berpamit untuk ke kamarnya agar hatinya bisa kembali seperti semula. Baik Galvin maupun Siska ia hanya mengangguk pelan dan mereka pun melanjutkan kemesraannya yang sempat hilang dengan saling bertukar ciuman. Tentu saja, interaksi mereka dilihat langsung oleh Rani yang melihat dari lantai atas. “Harusnya aku senang melihat mereka berbaikan. Tapi ... Ah, lupakan. Ini hanya perasaanku yang sedang tidak baik-baik saja,” ungkapnya dalam hati dengan menutup pintu kamar dan berjalan ke arah jendela. *** Keesokan harinya. Rani yang baru bangun, ia menurunkan kakinya dari ranjang dan berjalan ke arah jendela untuk merasakan udara sejuk di pagi hari. Ia pun melihat ke arah cermin untuk memastikan penampilannya tak berantakan. Setelah itu, ia keluar dari kamar dikarenakan perutnya sedikit keroncongan. Sebab, tadi malam ia melewatkan makan malam akibat tertidur lebih awal. “Pagi,” sapanya ke arah Galvin dan juga Siska. Galvin sendiri hanya mengangguk. Sedangkan Siska, hanya memberikan senyuman dengan mengode agar Rani duduk di kursi seberangnya. “Maafkan aku, Rani. Atas sikapku yang kemarin,” kata Siska lirih. Rani tersenyum tipis dan mengangguk. “Lupakan saja, Nyonya. Dan terima kasih sudah mau menerimaku.” Siska pun membalas anggukan. Sementara Galvin melihat istri mereka berbaikan, perasaan di hatinya begitu bahagia. Ia pun berjanji akan bersikap adil kepada mereka berdua. Setelah sarapan selesai. Galvin pun bersiap berangkat ke kantor. Karena hari ini akan ada meeting besar bersama investor berasal dari Singapura. “Mas, ini jasnya,” kata Siska yang mendekat. “Terima kasih, ya, Sayang. Semoga acaramu nanti lancar. Maaf aku tidak bisa datang,” ucap Galvin dengan mengecup kening Siska secara lembut. “Terima kasih, Mas. Nggak apa, kok. Lagian kamu juga sibuk.” Siska merasa dirinya bahagia, suaminya tetap bersikap romantis apalagi di depan Rani saat ini. “Ya, sudah. Aku berangkat dulu, ya,” kata Galvin dengan tersenyum kepada Siska dan Rani. Rani hanya menanggapi dengan senyuman tipis melihat kepergian suaminya. Setelah mobil Galvin tak terlihat. Siska pun meninggalkan Rani begitu saja di teras rumah. Rani pun tak mempermasalahkan. Ia juga tidak mau bersikap sok dekat atau sok akrab dengan istri pertama suaminya itu. Meski Siska sudah mau menerimanya. Ia pun berjalan masuk ke dalam kamar, sebab bingung mau melakukan apa di rumah sebesar ini. Saat hendak masuk, ia berpapasan dengan Siska yang sudah rapi dan hendak keluar. “Aku akan ada acara di butik milikku. Mungkin pulang malam, apa kamu mau ikut?” tawar Siska basa basi. Rani sempat terkejut mendengar tawaran dari wanita di hadapannya yang memakai dress berwarna cokelat muda dengan rambut tergerai bergelombang. Karena merasa sungkan, membuat Rani hanya menggeleng pelan. “Tidak Nyonya. Aku di rumah saja,” jawab Rani menolak. Siska pun mengangguk. “Baiklah, aku tinggal dulu,” ucapnya dengan berjalan keluar ke arah parkiran mobil. Setelah kepergian istri pertama suaminya itu. Rani kembali masuk dan melihat ke sekeliling rumah suaminya yang belum sempat ia lihat keseluruhannya. Tatapannya kini tak sengaja melihat ke sebuah bingkai foto maternity shoot istri pertama suaminya. “Nyonya pernah hamil?” gumamnya terkejut. Perut yang dikandung Siska cukup besar, kemungkinan kehamilan di foto itu sekitar usia 8 bulan. Rani pun menaruh foto yang ia pegang kembali ke atas meja. Di dalam benaknya banyak sekali pertanyaan tentang Siska. Yang membuat ia semakin penasaran. “Kira-kira apa yang membuat Nyonya kini tak bisa hamil? Apalagi anak yang di kandungnya pun tak terlihat di rumah ini?” ungkap Rani menerka-nerka. “Duh, kok, aku kepo gini, sih? Cari tahu nggak, ya? Atau biarin saja?” imbuhnya dengan memegang kepalanya. Karena ia tidak ingin memusingkan hal itu. Ia pun melupakan pertanyaan tentang istri pertama suaminya. Rani akhirnya berjalan ke arah kamar, lalu merebahkan tubuhnya untuk beristirahat. *** Berbeda di tempat lain. Yakni kantor milik Galvin. Ia yang sibuk fokus ke layar monitor. Tanpa di sadari ia terkejut saat melihat ibunya datang ke ruangannya. Hatinya merasa tak enak, saat melihat raut wajah Helena yang tak biasa. “Ibu?” sapa Galvin dengan berdiri dan langsung menyalami. Namun, tangan Galvin langsung ditampik oleh Helena dengan kasar. “Apa maksudmu ini?” hardik Helena dengan menunjuk layar ponselnya ke hadapan Galvin. Wajah Galvin terkejut seketika. “Dari mana Ibu mendapatkan foto itu?” “Dari seseorang. Apa benar Rani itu wanita malam?” cecar Helena berbalik tanya. Galvin mengusap wajahnya secara kasar. Ia ingin mencurigai Siska, tetapi ia yakin jika istri pertamanya tak mungkin yang melakukan. “Jawab, Galvin! Apa benar Rani wanita penghibur?” ulang Helena sambil berteriak. Galvin membuang napas panjang sebelum menjawab. Lalu ia pun mengangguk pelan karena ia tak bisa mengelak lagi. Helena menggeleng pelan. Entah kenapa dadanya terasa sesak saat tahu tentang kebenarannya. “Berani-beraninya kamu membohongiku, Galvin. Ibu kecewa sama kamu! Kecewa!” desis Helena dengan memegang dadanya yang sakit. Galvin merasa bersalah telah berbohong, bahkan menutupi asal usul istri keduanya itu. Ia pun memohon maaf atas kesalahannya. Helena menggeleng, ia belum bisa menerima kenyataan tentang istri kedua putranya. Kepalanya tiba-tiba mulai berat dan tak berlangsung lama kesadarannya pun hilang. Helena terjatuh ke atas lantai dengan keadaan tak sadarkan diri. Galvin seketika panik. Ia pun berlutut menghampiri ibunya yang tersungkur di lantai. “Ibu, bangun, Bu. Maafkan aku, Bu,” ucapnya menyesal dengan mencoba membangunkan Helena.Galvin langsung membawa Helena ke rumah sakit terdekat dari kantor dibantu oleh asisten pribadinya. Setelah menempuh perjalanan kurang dari 20 menit. Kini mobil Galvin sudah sampai di halaman lobi rumah sakit. Lingga, asisten Galvin langsung membantu membukakan pintu mobil dan membantu mengangkat Helena ke atas brankar. “Lingga, tolong kamu handle dulu meeting hari ini. Aku akan menemani ibuku sampai sadar,” titah Galvin saat Helena sudah masuk ke ruang IGD. Sang asisten pun hanya mengangguk pelan. Setelah pamit kepada bosnya. Lingga langsung meninggalkan Galvin seorang diri di koridor rumah sakit. Galvin mendudukkan bokongnya di kursi tunggu dengan memijat pelipisnya secara pelan. Tak lama, seseorang datang tergesa-gesa menghampiri keberadaan Galvin. “Apa yang terjadi, Vin? Kenapa ibumu dilarikan ke rumah sakit?” tanya Frans tanpa basa basi. “Maafkan aku, Ayah. Ini semua salahku,” jawab Galvin dengan lesu. “Apa maksudmu, Galvin? Katakan dengan jelas!” hardik Frans menin
Rani yang bingung akan pengusiran dari mertuanya itu hanya bisa terdiam dengan wajah polosnya. “Apa yang terjadi, Mas?” Siska yang baru saja datang dibuat bingung oleh ekspresi wajah ibu mertuanya yang tampak kesal. “Suruh wanita j*lang itu pergi, Siska! Aku tidak sudi melihat dia di sini!” usir Helena sekali lagi mengarah pada Rani. “Kamu belum tahu ‘kan?” tunjuk Helena dengan jari telunjuknya. “Ternyata wanita itu adalah wanita malam. Aku tahu dia mau dijadikan istri kedua pasti ingin memanfaatkan Galvin dan juga anaknya nanti,” imbuhnya menyindir. Galvin yang mendengar hal itu tidak terima dengan apa yang dikatakan oleh ibunya. Karena kenyataannya tidak seperti itu. “Ibu, yang Ibu katakan itu tidak benar!” bela Galvin dengan tegas. “Aku yang menginginkan Rani. Aku pula yang sudah menawarkan Rani untuk menjadi istri keduaku. Rani memang sempat menolak, tetapi aku memaksanya. Sebab, aku merasa Rani wanita yang pantas untuk memberiku seorang anak,” beber Galvin menjelaskan
Sepulang dari rumah sakit. Rani tampak senang karena ia sudah bisa diterima oleh keluarga Galvin seutuhnya. Ia juga sudah berjanji akan memberikan seorang cucu secepatnya kepada Helena. Rani bahkan akan meminta haknya kepada Galvin agar melakukan hubungan selayaknya suami istri. Karena Siska saat ke rumah sakit membawa mobil sendiri membuat Rani dan Galvin pulang hanya berdua. Rani tidak akan melewatkan kesempatan untuk bertanya kembali mengenai haknya. “Tuan, aku ingin bicara,” kata Rani dengan serius. Galvin pun sengaja menghentikan mobilnya agar bisa mendengarkan apa yang akan dibicarakan oleh istri keduanya itu. “Mau bicara apa?” tanya Galvin dengan memandang ke arah wajah Rani. “Aku....,” jeda Rani gugup. Namun, karena ia tidak bisa menunda lagi. Akhirnya ia memberanikan diri mencium bibir Galvin. Tentu saja, Galvin sangat terkejut oleh sikap Rani yang seberani itu. Ia pun mendorong tubuh Rani untuk menjauh. “Maaf, Rani. Apa yang kamu lakukan?” Galvin berkata de
Malam yang dingin berubah menjadi malam yang panas bagi sepasang suami-istri yang baru menikah dua minggu yang lalu. Pernikahan yang terjadi secara kebetulan karena sebuah perjanjian demi memiliki seorang keturunan. Hal itu pun yang membuat mereka berdua kini saling bertukar gair*h tanpa direncana. Galvin sendiri di sesi terakhir, ia menyemburkan cairan hangat ke dalam rahim milik Rani yang sudah membuat h*sratnya tak bisa dikendalikan. Setelah kedua pasangan itu sama-sama sudah mencapai puncak kenikmatan. Galvin yang lelah, tak tersadar ia ambruk di atas tubuh istri keduanya. Rani bahkan tidak menyingkirkan tubuh suaminya itu. Ia biarkan Galvin terlelap di atas tubuhnya. “Terima kasih, Tuan. Atas sentuhanmu,” gumamnya dalam hati. Ia tersenyum sambil membelai pipi wajah Galvin yang tak sadarkan diri. Jantung Rani semakin berdebar saat jemari tangannya berhenti di bagian bibir suaminya. Ia pun langsung menarik dengan cepat dan tangannya mendorong tubuh Galvin agar turun
Rani pun membereskan sisa sarapannya dan merapikan semua yang ada di atas meja lalu membawanya ke dapur. Saat dirinya sibuk mencuci piring. Terdengar suara ponselnya yang dering. Di sana terlihat nama Marko yang muncul di layar pipihnya yang menyala. Sempat ragu akan menjawab atau tidak. Namun, karena berdering hampir tiga kali membuat Rani mau tak mau akhirnya menggeser tombol hijau ke arah kanan. “Ada apa?” tanya Rani singkat. “Kenapa tidak menjawab panggilanku sedari tadi, hah?” sungut Marko kesal. Rani hanya terdiam tak menjawab pertanyaan dari Marko. “Kita sudah tidak ada urusan. Jadi, jangan pernah hubungi aku lagi,” sahut Rani mengalihkan ke yang lain. Marko menyeringai tersenyum di seberang sana. “Mentang-mentang kamu sudah dinikahi oleh pria kaya raya, jadi kamu seenaknya bicara seperti itu, hah?” cecar Marko berteriak. Rani menjauhkan ponselnya dari telinganya karena suara keras Marko. “Maaf, aku sibuk jangan pernah hubungi aku lagi!” Rani pun mematikan
Rani terkejut saat melihat seseorang yang wajahnya sangat tak asing baginya. Sama halnya dengan Rani. Seseorang yang memakai jaz warna abu-abu juga ikut terkejut. “Rani?” ucap Pria itu memanggil wanita di hadapannya. Sontak Rani langsung tersenyum tipis saat mengingat jika pria di hadapannya saat ini adalah pria yang selalu memakai jasanya. “Tuan,” sapa Rani gugup. “Wah, aku tidak menyangka kita akan bertemu di sini. Aku kira kamu hanya menetap di Bali,” kata pria itu dengan memasang wajah senang. “Aku sudah pindah ke sini, Tuan.” “Baguslah kalau gitu. Jadi, aku tidak perlu jauh ke Bali untuk menemuimu,” kata pria itu lagi tersenyum. Rani yang paham dengan ucapan pria itu pun langsung mencari alasan yang lain agar obrolannya saat ini segera disudahi. Karena, pembahasan pria itu mengarah pada dirinya yang dikira masih menjadi wanita malam. “Maaf, Tuan. Aku harus pergi!” pamit Rani. Namun, pria itu langsung mencekal tangan kiri Rani, membuat si Rani mau tak mau menghen
“Kamu sangat memuaskan, Sayang. Aku akan kembali minggu depan, kamu harus bersiap,” ucap seorang Pria berbadan tinggi dengan tubuh sedikit gempal. “Kembalilah, akan aku tunggu,” jawab wanita seksi berbaju ungu dengan nada manja. Pria itu pun tersenyum lalu meninggalkan kamar VIP setelah pakaian yang ia gunakan rapi seperti semula. “Sungguh melelahkan sekali malam ini,” gumam wanita yang masih betah berbaring di atas ranjang. Tidak lama, ponsel yang ia letakan di nakas berdering. “Di mana kamu, Rani?” tanya wanita paruh baya di seberang sana. “Masih di kamar. Kenapa memangnya?” “Keluarlah, cepat. Datang ke ruanganku, sekarang!” titahnya dengan nada tinggi. Wanita yang di panggil Rani pun beranjak dari ranjang dengan malas. “Pasti akan di omelin lagi!” gerutunya dengan memungut pakaian seksinya yang masih berserakan di lantai. Rani keluar dari kamar VIP lalu berjalan ke arah ruangan yang di tuju. Setelah sampai ia pun membuka pintu dan masuk begitu saja. “Ada apa
Keesokan harinya. Sesuai perjanjian untuk bertemu di hotel Golden Star. Membuat Rani kini sudah bersiap akan berkunjung ke sana. Dia memakai pakaian terbaiknya, dengan memoles wajahnya secara natural. Namun, tetap terlihat berkharisma dan cantik. “Aku dengar kamu mendapat banyak uang semalam? Aku ingin meminta uang padamu?” cegah pria yang datang menemui Rani di kediamannya. “Aku akan melunasi, tetapi tidak hari ini. Hari ini aku sibuk, lusa aku akan ke tempatmu. Aku janji, semua akan ku lunasi!” timpal Rani memohon diberi waktu. “Alasan apalagi, hah? Aku ngga mau tahu, aku minta uangnya sekarang!” bentak pria itu emosi. Pria itu langsung mendorong Rani lalu menarik tasnya, ia membuka dan mengambil seluruh uang di dalam dompet Rani. Rani tak bisa memberontak selain pasrah. Setelah pria itu merampas semua isi di dompetnya, dia langsung pergi meninggalkannya begitu saja. Rani bahkan sampai tersungkur di lantai. Dia sudah muak diperlakukan kasar seperti ini. Ia sudah tidak tah