Erland? Nama yang cukup asing. Sekali pun pria dengan profesi dokter tadi pernah menyebutnya. Namun, sikap waspada Aruna mulai hilang. Meski tak merasa nyaman dengan tangan yang digenggam oleh sosok pria bernama Erland.
"Suami?" Mata Aruna melirik Erland sejenak.Sosok yang begitu tampan hingga terasa betah memandang lama. Tapi, anehnya. Pria ini sama sekali tak ada dalam ingatan Aruna. Bahkan, seolah tak pernah ada dalam kehidupannya.Bibir Erland mengulas senyum. "Benar Sayang. Aku suamimu."Aruna menarik napas. "Ini pasti lelucon."Ekspresi Erland berubah sejak saat itu. Wajah yang menegas, namun mencoba untuk bersikap ramah. Semua itu demi bisa meyakinkan bahwa sosok Aruna adalah Irene."Aku punya bukti kalau kita suami istri." Tangan Erland merogoh kantung dan membuka dompet yang terlipat."Lihatlah Irene-ku, Sayang."Mata Aruna membingkai foto yang diletakkan di tempat terpisah. Mustahil! Wajahnya ada di sana memakai gaun pengantin bersama pria ini. Sosok yang mengaku bernama Erland.Sedang Erland sendiri begitu fokus pada bibir Aruna. Dia berpikir, bibir di sana sama persis seperti milik Irene. Namun, nampak lebih berisi sedikit. Membuat Erland penasaran, apakah rasa akan sama setelah mengecup?"Jadi ... kau sungguh suamiku?" tanya Aruna dan akhirnya tidak bicara formal.Erland tersenyum. "Benar Irene."Tersentak Aruna begitu pria ini mendekatkan wajah dan mengecup bibirnya. Bahkan lidah sudah menerobos masuk, kemudian menjelajah di sana. Melihat tiada respon apa pun darinya yang masih mencerna perlakuan Erland, membuat pria ini menyesap lebih liar.Orang ini sudah gila! Pikir Aruna. Hingga tangannya segera mendorong pundak, lantas terakhir menampar wajah Erland. Pria ini tertegun atas perlakuan darinya."Sayang, kau menamparku?" wajah Erland masih terlihat tak percaya.Apalagi ketika Aruna menyentak. "Kau melakukan hal seperti itu pada orang yang lupa ingatan! Apa kau sudah tidak waras!"Erland menelisik Aruna yang menunjukkan kemarahan. Bahkan mengusap bibir yang sudah disesap dengan kasar. Erland menyeringai, dia merasa sepertinya Irene yang sekarang bakal sulit dikendalikan."Aku suamimu, Irene.""Justru karena suami, harusnya kau mengerti. Kalau istrimu sedang tidak mengingat siapa pun, termasuk dirimu," keluhnya."Apa kau binatang!" lanjutnya karena kesal.Erland mulai duduk di kursi lagi dengan tenang. Dia benar-benar tak menyangka. Di dunia ini, pada akhirnya ada orang yang berani menyebut dia binatang hanya karena mendaratkan ciuman. Dan itu adalah Irene kedua."Kau kan tahu sendiri Sayang, hasrat pria itu persis seperti binatang," sahut Erland tak ingin di masa depan kehilangan kesempatan saling menyentuh."Benar, karena kau merasa binatang, jadi menjauh dariku. Karena aku manusia." Usai mendebat, Aruna memunggungi Erland dan mulai memejamkan mata lagi. Lebih baik tak melanjutkan pembicaraan dengan orang yang tak dirinya ingat. Sementara Erland menatap punggung Aruna dengan pandangan serius. Lantas jemari mengusap sudut bibir. Dia membayangkan lenguhan tipis dari bibir Aruna yang galak lolos. Itu adalah suara yang harus dikumpulkan dan didengarkan jika rasa bosan melanda.***"Tuan, ini buku nikah yang Anda minta."Seorang pria yang terlihat seumuran dengan Aruna menyerahkan buku nikah pada Erland. Tak menunggu lama, pria itu langsung merampasnya. Matanya menelisik, seolah memikirkan sesuatu. Dia sadar, bahwa apa yang dia perbuat adalah hal yang salah. Pria mana yang melangsungkan pernikahan saat mempelai wanitanya sendiri tak sadarkan diri?"Sudah kau pastikan data pernikahan Erland dan Aruna disembunyikan?" tanya Erland sembari menyimpan buku tersebut."Sudah Tuan. Datanya dibuat terpisah, jadi tidak akan ditemukan. Hanya ada data Tuan Erland dan nyonya Irene menikah setahun lalu.""Bagus.""Lalu ... soal suami, bukan maksud saya si Yuda. Saya mendapat laporan kalau dia datang ke Jakarta.""Untuk apa?" tanya Erland dengan ekspresi dingin."Saya dengar dia ingin mutasi dari kantor lamanya."Erland menyeringai. "Jadi. Bisa dibilang, kalau si brengsek itu ingin memulai hidup barunya setelah menjadi penyebab istrinya kecelakaan serta matinya seorang wanita.""Lalu saya mendapatkan ini Tuan."Sekretaris bernama Daffa ini menyerahkan ponsel pada sang atasan. Erland menerima tanpa ragu. Hingga ponsel yang semula terlihat baru itu, justru menjadi rusak setelah dibanting dan berbenturan dengan dinding.Sang sekretaris menahan napas. Untunglah itu ponsel yang baru dibeli dan tak terpakai sama sekali. Jadi tak ada kerugian yang ditanggung."Sial! Berani sekali dia menuduh istriku membunuh wanita itu, bahkan dia menjadi saksi bahwa Aruna bunuh diri karena rasa bersalah!" "Meski Tuan sangat marah. Tapi, sepertinya Tuan tidak bisa mengusut kasus ini ke jalur hukum."Erland tak menyahut. Jelas dia lebih tahu risiko apa yang akan ditanggung jika ikut campur. Baiknya, nama Aruna tidak tercoreng. Tapi, hal buruknya! Yuda tahu keberadaan Aruna dan merebut dari tangan Erland."Hapus artikel itu dari media mana pun, beri tahu kepolisian untuk berhenti mengusut jika ada yang membuka kasusnya kembali.""Baik Tuan.""Lalu bagaimana dengan urusan rumah?" tanya Erland berusaha tenang."Sudah disiapkan sedemikian rupa Tuan."Mata Erland menatap sang sekretaris. "Bersikap baiklah pada Irene."Tangan Daffa mengepal, meski begitu tetap mengangguk. "Baik Tuan."***Aruna telah diperbolehkan pulang dari rumah sakit. Dan saat ini, tubuhnya mematung dengan mata menatap sebuah rumah yang sangat besar. Aruna beringsut saat tangan Erland sempat memeluk pinggangnya."Aku belum terbiasa," ujarnya ketika Erland menatap kecewa."Tidak masalah Sayang, kau akan segera terbiasa."Kakinya benar-benar memasuki rumah besar ini. Katanya tempat tinggal mereka berdua setelah menikah. Namun, Aruna tidak merasakan perasaan akrab sama sekali. Baik dengan rumahnya, juga para pembantu yang menyambut ramah.Namun, matanya membingkai sebuah foto yang terpampang besar di ruang tamu. Foto pernikahan yang Aruna lihat di dompet Erland. Hingga Erland yang menyadari langsung menggenggam tangannya."Foto pernikahan, waktu di rumah sakit kau sudah lihat kan Sayang?" singgung Erland."Iya, aku ingat," sahutnya sembari melepaskan tangannya dari Erland.Mata Erland menatap tajam ke arah pembantu yang terlihat bergetar setelah melihat sosok Aruna. Nyonya mereka yang telah meninggal dalam kasus bunuh diri. Mendapat peringatan, membuat wanita itu menunduk."Mari, aku tunjukan kamar kita," ajak Erland.Aruna menoleh dan kaget. "Kamar kita? Kita tidur satu kamar?"Erland terkekeh, suara yang berhasil membuat para pembantu tenang, sudah lama mereka tak mendengarnya. "Mana ada, suami istri yang tidak satu kamar, Irene?"Mendengarnya Aruna jadi diam. Ada benarnya juga. Hanya saja ... Aruna benar-benar tak nyaman berada di dekat Erland. Baginya, hubungan mereka seperti orang asing.Selagi kaki semakin melangkah. Menaiki anak tangga satu persatu. Aruna bergeming sejenak, membuat Erland menoleh."Ada apa Sayang?""Tidak, aku hanya merasa tidak asing mendengar suara kakiku yang menaiki tangga," ujarnya membuat ekspresi Erland dingin seketika.Namun, langsung tersenyum saat Aruna menoleh. "Begitu? Itu artinya sebentar lagi istriku akan mengingat semuanya, termasuk kenangan lama kita."Begitu tiba di lantai atas. Erland langsung memeluk tubuhnya dari belakang. Detak jantung yang berdegup sangat kencang ini membuat Aruna tertegun. Pria ini seperti anak remaja yang sedang jatuh cinta."Bisakah malam ini aku tidur denganmu?”Belum sempat Aruna mendebat. Bibirnya langsung disesap oleh Erland, membuat tangan Aruna langsung mendorong tubuh pria ini. Namun, Erland menyudutkan dirinya hingga membentur dinding.Ciuman Erland begitu menggebu, sedang tangan merambat di pinggangnya. Berusaha memasuki cela bajunya. Ingin Aruna menampar kembali, namun sorot mata Erland bagai elang. Hingga berhasil mencengkram tangan Aruna."Apa yang kau lakukan!" serunya marah.Erland tersenyum meski mendapat bentakan. Reaksi Aruna benar-benar sesuai ekspetasi. Apalagi mata yang melotot, membuat Erland mengusap wajahnya. Tapi dengan kasar Aruna menepis."Apa kau tidak mendengar ucapanku? Telingamu tuli?" ocehnya.Lagi, pria ini malah tersenyum. Kemudian menyenderkan kepala pada dadanya, membuat Aruna tertegun. Napas Erland sedikit menembus hingga kulit dada terasa hangat."Aku sangat merindukanmu Sayang," gumam Erland sangat pelan, bahkan tak sampai ke telinga Aruna."Kau sedang apa? Menyingkir dariku," tegasnya.Perlahan Erland men
Erland benar-benar memejamkan mata. Bahkan napas yang menerpa puncak kepalanya terasa lebih halus dan damai. Aruna mencari kesempatan untuk lolos, namun pelukan Erland tak mampu ia singkirkan."Kau sungguh tidur? Nyaman dengan posisi membuat aku terjepit begini?" komennya.Terdengar sedikit tawa dari Erland. "Sudahlah Sayang, ayo kita tidur."Aruna menghela napas. Bobot tubuh Erland hampir separuhnya diberikan padanya dan terasa sangat berat. Aruna menjadi kesal dan berbalik, berniat memukul namun melihat wajah damai pria ini. Membuat niatan Aruna sirna sudah.Jantung yang terdengar melambat merajai malam sunyi. Namun, ada suara denyut yang lebih kencang di hadapannya. Mata Aruna fokus menatap dada Erland, selaku sumber suara itu."Sepertinya kau sungguh mencintai aku ya?" tanyanya.Erland menunduk sejenak untuk mengecup keningnya, kemudian menyahut dengan lembut, "sangat.""Bahkan jika harus mencarimu di tengah samudra, aku rela menghabiskan seluruh harta untuk mengarunginya," lanjut
Mulut pembantu sampai berteriak sedang netra Aruna mengecap gila pada Yuda yang baru saja berdiri di hadapan taksi. Sopir taksi begitu cekatan menginjak rem hingga tak sempat terjadi kecelakaan, meski sopir ini menunjukkan ekspresi kaget."Apa kau bosan hidup!" seru sopir taksi terlihat kesal.Yuda menunjukkan tangan, meminta kesempatan untuk bicara. Sopir taksi mendengkus kesal, tapi sedikit menepi. Pembantunya langsung menghalangi Yuda yang membuka pintu dan melongok ke dalam."Aruna," sebut Yuda menunjukkan raut seolah menemukan mainan lama.Pembantunya menjadi marah. "Siapa yang kau sebut Aruna! Lalu kenapa kau tidak sopan--"Kepala Aruna menoleh dan netra membingkai tangan Yuda yang membungkam mulut pembantunya. Kemudian menarik paksa tangan Aruna hingga keluar dari taksi."Kau gila!" serunya sembari berusaha memberontak.Yuda mendorong tubuhnya hingga membentur pintu taksi. Akses keluar yang tertutup, membuat pembantu geram. Lantas memutuskan untuk keluar dari sisi lain demi bis
"Apa yang kalian lakukan sialan!"Sepanjang berlari keluar cafe. Yuda memaki dan berteriak, membuat Daffa menoleh. Mata Yuda menangkap sosok sekretaris dari Erland yang terang-terangan memerintah beberapa orang berhenti merusak mobil."Ada apa ini? Kenapa Anda merusak mobil saya?" Yuda bertanya dengan mata nyalang.Kepala Daffa menoleh, menatap Yuda begitu santai. Lantas menunjuk mobil warna hitam di depan kendaraan Yuda dengan tatapan."Tuan Erland tak suka ada kendaraan yang menghalangi."Tangan Yuda mengepal marah. "Apa Anda bercanda? Di mana-mana parkir selalu ada yang terdepan dan belakang!""Benarkah? Kalau begitu jadikan ini sebagai pelajaran. Tuan Erland tidak suka ada mobil lain yang parkir di dekatnya, termasuk dari segala sisi."Tatapan Yuda mengikuti Daffa yang memasuki cafe dengan penuh amarah. Namun, ada hal yang perlu Yuda pertimbangkan untuk menyerang. Pria itu jelas membutuhkan pekerjaan yang sekarang untuk menyambung hidup. Membuat masalah dengan sekretaris serta Er
Sempat tertegun sejenak. Tapi, Erland yang sangat harus menyangkal, langsung mengulas senyum. Kemudian mencampakkan pekerjaan dan beranjak dari meja kerja."Tentu saja ada, itu pun jika kau yang meninggalkan kamar dari balkon atau jendela," sahut Erland.Aruna menarik napas. "Aku tidak sebodoh itu. Rumah disediakan pintu tentunya untuk keluar, lantas kenapa aku harus membahayakan diri sendiri."Erland tersenyum. "Benar, kau sangat pintar hingga aku tak perlu cemas."Mata Aruna membingkai tubuh Erland yang mendekati bar kecil, hanya terpisahkan oleh sekat dinding saja. Semakin melihat seluruh kamar, Aruna meyakini sesuatu. Bahwa ini adalah kamar yang suram.Erland berjalan mendekatinya dengan secangkir gelas berisi air putih. Menduduki sofa yang sama, namun sedikit memberi jarak. Selagi meneguk habis minuman, mata Erland tak berhenti menatapnya.Seolah sedang menilai. Bahwa tak akan ada Irene kedua yang rela menjatuhkan diri dari balkon kamar ini. Hanya demi sebuah kebebasan yang tak p
Mentari pagi itu nampak malu-malu mencuri pandang melalui jendela. Berbeda dengan Erland yang begitu antusias, memenjarakan sosok Aruna dalam retina mata. Apalagi kegiatan dirinya adalah berganti pakaian.Wanita yang sewaktu di rumah sakit begitu marah ketika dicium. Pagi tersebut sangat santai, meski diintip secara terang-terangan."Bukankah kau sedang bersiap ke kantor?" singgung Aruna sembari menoleh ke belakang.Erland tertawa sinis, lantas tangan melepas dasi yang belum terbentuk sempurna. Lantas, kaki Erland mendekati Aruna dengan santai. Merengkuh tubuh juga terobsesi menghirup lehernya."Aku berubah pikiran," ujar Erland."Soal apa?" Aruna menyelesaikan mengancing kemeja.Mata Erland membingkai cermin. Benda itu memantulkan sosok Aruna yang dibalut pakaian milik Erland. Terlihat oversize, namun tak membuat sang istri terlihat aneh."Bisakah pakai celana saja?" Dan Erland mulai menego penampilan Aruna.Wajah Aruna mulai terlihat kesal. "Kau kira aku anak remaja? Aku wanita mode
Erland terlihat menduduki sofa panjang di ruang tamu. Lantas, mengambil secangkir teh yang disandingkan. Mata membingkai sosok ayah mertua yang lebih baik, ketimbang dua bulan setelah kehilangan."Senang rasanya melihat nak Erland akhirnya berkunjung.""Tentu saja, sebagai anak aku harus sering datang," sahut Erland dengan suara santai.Lantas mata Faisal melirik sekeliling, membuat Erland mengikuti. Foto-foto Irene yang tersenyum malu terbingkai di beberapa pelosok dinding rumah. Faisal tersenyum sendu. "Apa di rumah Nak Erland juga, masih terpasang foto-foto Irene?"Kepala Erland mengangguk. "Sosoknya jika boleh aku awetkan pun, akan kulakukan, Ayah."Pria munafik, itu perumpamaan yang Erland berikan pada sang ayah mertua. Pasalnya, pria ini yang paling ngotot melarang Irene jatuh pada tangan Erland. Hanya dengan ancaman, barulah dia mendapatkan sosok Irene.Tapi, pada akhirnya tak bisa memaksa Irene untuk mencintai Erland. Bahkan lebih memilih mengakhiri hidup ketimbang menjalin b
Aruna menyeringai, lantas jemarinya menunjuk kamar yang berjejer di belakangnya. "Sepertinya seluruh kamar di rumah ini, aku tak punya hak apa pun."Amarah Erland mendadak lenyap. Usai tersadar telah membentak sang istri. Ketika Erland hendak meraih tangannya, Aruna langsung memundurkan langkah."Bukan begitu Sayang. Tentu kau punya hak, bukan hanya kamar tapi seluruh rumah juga."Mata Aruna menatap tajam. "Kalau begitu aku ingin kamar itu.""Tidak boleh," larang Erland terdengar kekeh."Kenapa? Apa yang kau sembunyikan di sana? Hingga aku tidak boleh tinggal di sana, juga kau sangat marah aku memasukinya," ocehnya kesal.Erland memejamkan mata sejenak. "Jangan pancing emosiku, Irene. Aku tidak menyembunyikan apa pun, itu hanya ruangan tak terpakai.""Jika memang tak terpakai, kenapa aku tidak boleh memilikinya?""Suami istri itu harus tinggal di kamar yang sama," tegas Erland."Ya kalau begitu kau bisa pindah bersamaku di sana, apa susahnya?"Tatapan Erland kembali menegas. "Aku tida