"Ini desainku!" pekik Nita tiba-tiba dengan nada marah bercampur kesal. Nita dengan marah menghampiri Zelda, "kamu pasti mencuri file ini ketika aku berkunjung ke rumah Mr. Marvin kan?"Zelda mengerutkan kening, menatap Nita antara kaget dan tersinggung secara bersamaan. Dia kaget karena di depan semua orang perempuan ini menuduhnya mencuri file perempuan ini. "Heh, mentang-mentang anda punya nama, anda bisa menuduh saya mencuri dengan seenak jidat?! Apa buktinya saya mencuri file-mu dan … apa buktinya ini desain-mu?""Tanpa membuktikannya pun semua tahu jika ini desain milik seorang Nita!" angkuh Nita dengan menatap nyalang ke arah Zelda, "aku hebat dan diakui. Sedangkan kamu? Mengurus penampilanmu saja tidak bisa, bagaimana kamu bisa membuat desain se bagus ini? Tidak mungkin! Lagipula, saat semua orang sibuk membuat desain, apa kamu sibuk?! Tidak! Aku melihat dengan mata kepalaku sendiri. Kamu hanya fokus bermain game, santai. Ya, karena kamu memang berniat mencuri desainku. Kenap
Bug' Bug' Bug' Zelda dengan marah melempar bola basket ke arah ring– dia berusaha melampiaskan emosinya dengan cara ini. Saat ini Zelda pergi sebuah Gor yang sering ia kunjungi, lokasinya tidak terlalu jauh dari kampusnya. Kebetulan tempat tersebut sedang sepi, hanya ada beberapa anak basket yang Zelda tak kenal. Tetapi mereka sedang istirahat, duduk di bangku penonton. Bug' Zelda kembali meraih bola lalu melemparnya dengan kuat ke arah ring. Dia benci ini! Dia sangat membenci Marvin! Padahal Zelda sudah mempersiapkan diri dengan matang, karena dia yakin Marvin akan percaya pada omongan Nita dan Marvin akan memarahinya. Dia pikir dia bisa dan baik-baik saja. Yah, apalah arti dari dimarahi? Dia sudah pernah mengalami hal yang sangat menyakitkan di dunia ini. Kehilangan orang tua, kemudian dibully satu keluarga yang punya dua muka. Tetapi … dia salah! Dimarahi oleh Marvin rasanya sangat menyakitkan. Ditambah sosok itu sama sekali tak percaya padanya. Zelda sering diremehkan dan d
"Tuan, buku apa yang sedang anda baca?" tanya Neon, memperhatikan tuannya yang terlihat tengah sibuk dan serius memandangi sebuah buku– di mana Marvin membuka lembar demi lembar buku tersebut, memandanginya lamat dan dengan tatapan serius. "Buku milik Amore–ku," jawab Marvin, tanpa menoleh pada Neon karena dia terlalu fokus serta serius memperhatikan setiap gambar desain pada lembaran buku ini. Cantik, rapi, unik dan penuh dengan ciri khas. Setiap lembar ada note waktu, tanda tangan Zelda serta deskripsi dari gambar. Walau hanya dua kalimat. Ada dua hal yang Marvin rasakan saat ini, perasaan bangga serta takjub yang sangat besar pada Zelda dan perasaan bersalah karena tidak mempercayai istri kecilnya tersebut. Oh, hell! Zelda sedikitpun tak terlihat punya ketertarikan pada dunia fashion serta seni menggambar. Tak disangka-sangka ternyata Amore-nya punya talenta dibidang tersebut. Jangan menilai seseorang dari penampilan, mungkin kalimat itu yang cocok untuk Marvin resapi saat ini
Zelda begitu senang karena Marvin sungguh membawanya ke suatu tempat yang bisa membuat hati Zelda meluluh serta menerima maaf pria itu. Marvin membawanya makan malam berdua di sebuah restoran mewah hotel. Setelah makan malam mewah tersebut, Marvin membawanya ke museum seni– tempat yang sangat menyenangkan bagi Zelda. Ada beberapa lukisan dari tokoh terkenal favorit Zelda di sana, karya seniman favorit Zelda juga ada di sana, dan … banyak karya seni rupa yang sangat menakjubkan di sana. Zelda sangat suka!Pulang dari sana, Marvin masih mengajaknya jalan-jalan malam ke taman kota. Kebetulan ada festival kuliner di sana. "Aku mendapatkan maaf, Amore?" tanya Marvin, saat ini duduk di sebuah bangku taman bersama Zelda– menghadap ke sebuah wahana Komidi putar. Festival ini jatuhnya mirip seperti pasar malam, karena ada beberapa wahana bermain yang ikut meramaikan festival ini. "Iya, Paman," jawab Zelda sembari menganggukkan kepala, menoleh sekilas pada Marvin kemudian menatap komidi puta
"Paman," panggil Zelda pada Marvin, di mana saat ini keduanya berjalan beriringan menuju ruangan pria itu. Di belakang mereka ada Neon dan Lusia. "Paman?" beo Marvin dingin, menoleh sekilas pada Zelda dengan melayangkan tatapan tajam yang membunuh pada perempuan itu. Zelda meneguk saliva secara kasar. Ais, dia tahu apa kesalahannya– dia memanggil Marvin dengan sebutan Paman. Akan tetapi, Zelda melakukan itu karena dia canggung jika harus memanggil Marvin dengan sebutan 'Mas. Ada Neon dan Lusia di sini. "Mas Marvin maksudku," ralat Zelda sembari menggaruk pipi, di mana pergelangan tangannya tiba-tiba di tarik oleh Marvin– menjauhkan tangan Zelda yang tengah menggaruk pipi tersebut dari wajah Zelda. "Bicara setelah di ruanganku," ucap Marvin, menggenggam tangan istrinya dengan lembut dan penuh kasih sayang. Zelda menghela napas dengan pelan kemudian menganggukkan kepala. Cik, padahal dia ingin mengatakannya sekarang agar dia bisa segera kembali ke lantai tempat ia bekerja. Setel
"Setelah orang tuaku tiada, keluarga dari Mama tak ada yang mau memberikan tumpangan hidup padaku. Dan aku terpaksa ikut dengan Paman Marvin, kerabat dari Ayah. Tetapi karena kami tak punya hubungan darah dan hubungan kekerabatan kami jauh, Paman Marvin memilih menikahiku. Agar aku punya hak tinggal di rumahnya dan agar keluarga Mama tidak macam-macam lagi padaku. Alasan kenapa kita semua bisa kesasar melaksanakan praktek kerja di sini, yah, karena ulah Paman juga," jelas Zelda pada teman-temannya. Terpaksa dia berbohong karena dia tak mungkin mengatakan apa yang sebenarnya terjadi padanya. "Dan yang di foto, itu emang aku dan Paman. Dia lagi menemaniku jalan-jalan. Dan … sebenarnya yang terjadi di foto, itu hanya insiden. Paman mau ngambil ranting kecil yang jatuh di belakang aku, trus aku tiba-tiba noleh. Jadi begitu lah," tambanya yang mendapat anggukan dari para teman-temannya. "Padahal jika tanpa insiden juga sah-sah saja, Zel. Kan ciumannya dengan suami," cengenges Abu, yang me
Zelda saat ini di gazebo halaman samping, dia duduk di sana sendirian sembari menikmati keindahan taman. Sejujurnya dia ingin sekali ke green house yang Marvin berikan padanya, tetapi-- setelah mendengarkan perkataan Marvin mengenai dirinya tadi entah kenapa hati Zelda terasa sesak, tertohok dan timbul rasa penyesalan mendalam. 'Persetan jika dia membenciku begitu besar. Yang terpenting Amora-ku bisa bersinar terang dan bisa meraih impiannya suatu saat.' 'Aku ada untuk mengarahkannya ke langkah yang benar.' 'Tak ada yang lebih tahu Zahra dibandingkan aku, bahkan Zahra sendiri!' Kata-kata itu terus mengiyang dalam kepala Zelda. Suara Marvin masih terdengar mengiyang dalam kepala Zelda, memenuhi memorinya dan terus menggema dalam sana. 'Persetan jika dia membenciku, masa bodo jika dia mengaggap aturanku sebagai hukuman untuknya. Yang terpenting dia bersinar suatu saat nanti.' Itu kalimat yang menyentuh dan mengetuk hati Zelda, membuatnya merasa bersalah dan bahkan membuat Zelda men
"Umm … Zelda, sejujurnya aku risih melihatmu duduk seperti itu. Kesannya tidak sopan dan seperti anak kecil. Bukankah kamu sudah sudah dewasa, Zelda?! Jadi tolong perbaiki cara dudukmu. Kalau bisa jangan duduk dipangkuan Marvin. Kasihan Marvin, dia baru pulang dari kantor. Pasti dia lelah," tegur Nita dengan nada lembut dan manis, tetapi percayalah dalam hati dia mengumpati Zelda. Shit! Dia sangat tak suka dengan Zelda. Terlebih bagaimana perempuan ini dengan santai serta manja duduk di pangkuan Marvin. Harusnya dia yang berada di sana, duduk manja di pangkuan Marvin. Zelda menyakiti mata Nita. Zelda menatap kesal ke arah Nita, wajahnya tak bersahabat dan dia benar-benar dongkol dengan perempuan satu ini. Bilang saja jika dia cemburu Zelda duduk di pangkuan Marvin. Cih, pakai acara menegur segala. "Aku juga mau pergi," ketus Zelda, bangkit dari pangkuan Marvin dan berniat beranjak dari sana. "Amore," panggil Marvin, menatap kepergian Zelda– di mana istrinya tersebut berjalan den