"Jadi Paman yang menukar tempat Praktek Kerjaku?"Marvin dengan santai menganggukkan kepala, dia tersenyum namun itu malah mengerikan di mata Zelda–membuat Zelda meneguk saliva secara kasar dan paksa, gugup bercampur merinding menatap senyuman mengerikan suaminya. Ah, maksud Zelda pamannya. Ditambah tatapan Marvin yang selalu tajam, itu semakin membuat Zelda khawatir dan takut. 'Bagian matanya yang hitam sangat misterius. Aku seperti menyelami samudera ketika melihatnya.'"U--untuk apa Paman melakukannya?" tanya Zelda, masih menoleh gugup dan canggung ke arah Marvin. Pria ini tak sedikitpun membiarkan Zelda pindah, padahal sejujurnya Zelda risih duduk di atas pangkuan Marvin. "Mengawasi istriku." Marvin berkata dingin, menyenderkan dagu di atas pundak Zelda–secara santai dan tanpa beban sedikitpun, tak tahu saja jika Zelda risih dengannya. Dia tahu sebenarnya, tetapi Marvin memilih untuk tak peduli. Zelda sudah menjadi miliknya seutuhnya, dan sudah sepantasnya tubuh Zelda terbiasa d
Dengan ragu, dia membuka mulut dan menerima suapan dari pamannya. Ketika makanan itu sudah masuk dalam mulutnya, Zelda spontan menutup mulut dengan tangan–dia takut mual dan memuntahkannya. Namun ….Zelda seketika terdiam, fokus mengunyah makanan dalam mulut sembari memikirkan sesuatu. 'Kenapa tidak rasa rumput yah? Ini …- enak.' batin Zelda. "Kenapa?" Zelda yang masih bingung sontak menoleh ke arah pamannya, di mana dia dengan suka rela membuka mulut dan menerima suapan kedua dari Marvin. "Ini … sayur apa, Paman?" tanya Zelda sembari menatap sayur di mangkuk. Warnanya hijau dan mirip dengan rumput daun lebar. "Mirip dengan Amaranthus spinosus," celutuk Zelda sembari mengamati sayur dalam mangkuk cantik dan antik tersebut. "Humm. Amaranthus tetapi bukan kelas spinosus," jelas Marvin, menatap lamat pada sang istri–di mana kedua pipi Zelda terlihat tembem karena diisi oleh makana dalam mulut. Oh, shit! Di mata Marvin, ini sangat menggemaskan. Terlebih mata Zelda bulat, bulu matanya
Sekitar tengah sembilan malam, Zelda pulang ke rumah sang Paman. Tentunya setelah dia menghabiskan waktu bersama teman-temannya, nongkrong untuk menghilangkan stress ala mahasiswa angkatan akhir. Sejujurnya, Zelda merasa sedikit takut karena ini sudah malam dan dia baru pulang. Dia takut berhadapan dengan Marvin, di mana pamannya tersebut akan memarahinya habis-habisan. Namun, rasa ke khawatiran Zelda tersebut seketika lenyap saat tak melihat mobil yang biasa Marvin pakai terparkir di tempatnya. Karena mungkin Marvin sering mengenakan mobil hitam mewah tersebut, dia punya parkiran khusus yang bisa dipantau dari luar–seperti yang Zelda lakukan sekarang. Dan … mobil sang Paman belum ada di sana. Artinya, pamannya belum pulang. "Yes yes yes …!" Zelda memekik senang, menaikkan tangan yang dikepal lalu menarik tangan dengan semangat sembari melangkah riang masuk dalam rumah mewah tersebut. "Atau jangan-jangan Paman ke luar kota lagi," monolog Zelda sembari berjalan riang, menaiki tangg
Namun sebelum dia beranjak sedikitpun, tangan Marvin lebih dulu mengalung di pinggang Zelda; melingkar di sana dengan erat dan sangat posesif. "Pa--Paman …-" Cup'Belum selesai Zelda melanjutkan perkataannya, bibir pria itu lebih dulu menempel di atas bibirnya. Zelda membelalak kaget, beberapa detik tak bisa menguasai diri dengan hanya terdiam dan mematung. Jantungnya berdebar kencang, rasanya akan pecah di dalam sana. Bibir Marvin perlahan bergerak, menyapu dan melumat bibir lembut dan manis Zelda. Awalnya hanya lumatan dengan ritme pelan dan penuh penghayatan, namun beberapa detik setelah itu lumatan Marvin berubah kasar, menuntut dan juga rakus. Jantung Zelda semakin kacau dalam sana, wajahnya memucat dan matanya membulat sempurna. Dia tahu dia pernah melakukan ini, bahkan lebih dengan Marvin. Namun, tetap saja Zelda tidak bisa menguasai diri–dia tetap terkejut dan risih dengan semua ini. "Eungmmm," racau Zelda, memejamkan mata sembari mendorong kuat dada bidang sang paman. Bu
"Ja--jangan merokok," ucap Zelda, tiba-tiba bangkit dan langsung merampas korek saat Marvin ingin menyalakan rokok. Marvin menaikkan sebelah alis, menatap Zelda dengan manik dan sorot mata yang sulit diterjemahkan. Marvin melepas rokok dari bibir, meletakkannya kembali di nakas. Smirk tipis tiba-tiba muncul di bibir seksinya, menatap lagi ke arah Zelda dengan tatapan intens yang melelehkan. "Asal kau memberikan bibirmu sebagai gantinya, aku bisa berhenti merokok." Marvin berkata dengan serak, tiba-tiba meraih pinggang Zelda–memeluknya dengan mesra, "bagaimana, Mi Esposa," tambah Marvin, meraih korek di tangan Zelda lalu meletakkannya di sebelah rokok tadi. Zelda membulatkan mata, cukup cengang mendengar perkataan Marvin. Wajah Zelda menegang dan bibirnya terkunci rapat. Entah kenapa Zelda takut jika bibirnya terbuka, Marvin akan melahapnya. Tidak! Tapi … mengganti bibirnya dengan rokok-- itu seperti apa?Zelda memiringkan kepala, menatap Marvin bingung. Tangannya berada di pundak
Bug'Berhenti dengan menghantam kepala sang CEO perusahaan. Zelda menganga di tempat dengan tubuh membeku dan mematung. Habislah dia!!Semua orang menahan nafas, menatap sang CEO dengan raut cemas dan takut-takut. Dimas-- laki-laki berusia dua puluh dua tahun tersebut segera berdiri dari lantai, membungkuk kemudian meminta maaf. "Maaf … maaf, Pak," ucap Dimas. Bukan hanya sekali tetapi dia mengulangnya beberapa kali karena takut bermasalah dengan pria berbahaya dihadapannya tersebut. Sedangkan Marvin, dia mengabaikan laki-laki yang meminta maaf padanya. Sejenak dia menatap sepatu yang menghantam kepalanya–kini sepatu itu tergeletak di lantai, di depannya. Kemudian dia mengangkat pandangannya, menatap ke arah seorang perempuan muda. Tak lain perempuan itu adalah istrinya. Marvin meraih sepatu tersebut, setelah itu menatap Zelda dengan tatapan tajam dan penuh intimidasi. "Ikut!" dinginnya. Selanjutnya kembali melangkahkan kaki, beranjak dari sana dengan diikuti oleh rombongannya. "K
"Minum," ucap Marvin datar sembari menyodorkan gelas berisi air mineral tersebut pada Zelda. Zelda mendongak ke arah Marvin, menatap pria itu dengan tatapan canggung bercampur takut–di kepala Zelda masih teringat dengan jelas betapa mengerikannya Marvin saat marah di kantor tadi. Dan sekarang, bahkan wajah Marvin masih terlihat dingin. Zelda mengerjabkan mata beberapa kali, mengatur dirinya supaya tetap tenang dan tidak takut berlebihan. Zelda meraih gelas pemberian Marvin kemudian meminum air dari gelas tersebut. Diam-diam Marvin mengumpat dalam hati. Oh shit! Ekspresi Zelda tadi-- itu sangat cute dan memancing secara bersamaan. "Terimakasih, Paman," jawab Zelda pelan, tanpa menoleh ke arah Marvin dengan kembali pura-pura sibuk makan. 'Kenapa Paman masih di sini? Cik, aku sangat gugup. Dia baru memarahiku,' batin Zelda, mencengkeram sendok dengan kuat, berusaha untuk mengontrol rasa gugup yang melanda tubuhnya. Sesekali dia mencuri pandang ke arah Marvin, memastikan apakah pria i
Marvin memasukkan bola dan berhasil?! Tidak! Ze--Zelda tidak kalah kan?!! "Paman curang," ucap Zelda dengan nada terkesan ketus dan penuh ketidak terimaan. Marvin menaikkan sebelah alis, menyunggingkan smirk tipis sembari menatap Zelda geli. "Mau tanding ulang?" "Tidak perlu." Zelda menggelengkan kepala. "Berarti kau mengakui kekalahan, Little Wife?" ucap Marvin, kemudian menoleh ke arah Neon–memanggil kepercayaannya tersebut untuk membawakan payung. Gerimis semakin turun lebat serta deras. "Tidak juga." Zelda mendengkus pelan. 'Benar kata orang, pebisnis itu tidak dapat dipercaya.' batinnya sembari menatap dongkol ke arah sang paman. Sedangkan Marvin, dia terlihat cuek–menerima payung dari Neon, lalu dia memayungi sang istri. Marvin menggiringnya untuk masuk ke dalam rumah. 'Padahal tinggal lari, nggak harus memakai payung segala.' batin Zelda lagi, memutar bola mata secara malas dan bersedekap di dada sembari menatap lurus ke depan. Marvin memeluk pinggangnya. Cik, Zelda ya