"Megan," desah Riley. Ia merengkuh wajah Megan dengan kedua tangannya. Menyesap bibir itu lebih dalam. Menikmati candu yang memabukkannya.Megan kehilangan arah—meremas kemeja Riley, napasnya mulai memburu karena pria tampan itu tidak memberikan sedetik pun jeda bagi Megan untuk sekedar menghela napas."Hmm," ia melenguh pelan. Lipatan bibirnya terbuka untuk memberi celah, berharap ada udara yang masuk untuk memberi paru-parunya pasokan oksigen. Namun celah itu segera terisi oleh lidah yang menyusup masuk—aktif bergerak, menjilat dinding langit hingga mengabsen setiap sudut. Saat kedua untaian bertemu, mereka saling menyapa—membelit disertai lumatan yang semakin cepat dan basah hingga terdengar decakan saat keduanya bertukar saliva."Rey," erang Megan yang nyaris kehilangan kesadaran. Ia menepuk dada bidang yang menekan—merengkuh tubuhnya. Memaksa pria bertubuh kekar itu melepas jalinan diantara mereka."Meg," desah Riley begitu melepaskan bibirnya. Napasnya memburu, mengimbangi wani
Megan dengan bantuan Riley, keduanya memasuki ruang rapat kantor pengacara lebih tepatnya kantor Allen. Sebelum tiba di rumah sakit, Allen menghubungi ponsel Riley dan meminta keduanya untuk ke kantornya lebih dulu untuk membicarakan kontrak yang harus di tanda tangani."Apa yang terjadi dengan leher mu?" Seru Baron langsung begitu melihat syal tebal yang dikenakan Megan untuk menutupi lehernya."Apa kalian baru selesai bercinta?"Semua orang yang ada di ruang rapat kantor mendelik kaget dengan sikap Baron yang terlalu lugas. Zian menarik Baron untuk kembali duduk. "Bersikaplah baik untuk hari ini," desisnya memaksa pria imut itu untuk menjaga sikap.Baron tak menanggapi, ia hanya melempar pantatnya ke kursi lalu melengos kesal karena Megan melotot—memintanya untuk diam.Setelah membantu istri ya duduk, Riley beralih pada Allen. "Kenapa kamu membawa mereka ke sini?"Allen mengendikkan bahu. "Well, dia memaksa ikut begitu tahu kamu dan Megan akan menemui ku," ujarnya pasrah."Kamu memb
"Aku ingin menambahkan satu syarat dalam kontrak ini," tukas Megan tiba-tiba."Apa lagi, Meg?" Sergah Riley sambil mengepalkan tangannya.Hampir semua orang yang ada di dalam ruangan terhenyak bingung, terutama Allen dan Riley. "Megan, sebelumnya kita sudah mencapai kata sepakat," ujar Allen untuk mengendalikan situasi keruh yang tengah terjadi. "Kenapa kamu mau menambahkan syarat lagi?"Megan mengangguk sempurna. "Aku tahu tapi, syarat terakhir ini sangat penting bagi ku." Urai Megan tegas."Apa? Katakan." Emosi Riley mulai mencapai ambang batas. Dia tidak ingin pengorbanannya untuk tetap mengikat istrinya dalam mahligai pernikahan menjadi sia-sia. Apapun permintaan Megan, untuk kali ini saja Riley akan bersabar dan menyetujuinya hingga pada waktunya, Riley akan membuat Megan tidak bisa beranjak dari sisinya selangkah pun."Aku tidak ingin kontrak ini mempengaruhi jalinan kerja antara perusahaan mu dengan agensi kami," ujar Megan hati-hati.Riley mendengus pelan. "Hanya itu?" buruny
"Megan, bangun, Sayang."Megan melenguh pelan, mengeliatkan tubuhnya di atas ranjang. "Berhenti melakukan itu, kamu bisa membuatku menerkam mu sekarang juga."Mendengar suara bernada gelap dan dalam membuat Megan seketika membuka matanya, mengerjab beberapa saat sebelum bisa mengenali dengan baik pemilik suara yang tengah menatap tubuhnya penuh minat."Jaga mata nakal mu itu atau aku akan menusuknya dengan sumpit," hardik Megan. Ia turun dari ranjang, memamerkan tubuh sintalnya yang hanya tertutup dress satin tipis."Holy shit, you're sexy as fuck," puji Riley kagum. Ia meraih lengan Megan untuk duduk diatas pangkuannya. Setelah saling bersitatap beberapa saat, Megan mengerakkan jarinya menuju leher Riley, bermain dengan simpul dasi yang melengkapi setelan jas suaminya. "Kamu mau berangkat ke kantor? tanyanya.Riley mengangguk. "Ya, ada pertemuan dengan kolega dari Singapura.""Apa kamu akan pulang terlambat?"Ibu jari Riley mengusap pelan bibir Megan. "Kenapa? Kamu merindukanku?""
Nesa menggiring kursi roda Megan memasuki ruangan luas bernuansa serba putih dengan salah satu dinding di lapisi kaca yang memantulkan setiap gerakan orang-orang yang melewatinya."Hari ini, kita mau ngadain audisi untuk pemeran pengganti," jelas Nesa."Peran pengganti? Harusnya semua pemeran sudah lengkap 'kan?" tanya Megan heran.Nesa mengangguk, tak lama dia berdecak kasar. "Derek memboyong mereka semua untuk bermain di projek terbarunya," keluhnya kesal.Megan terkekeh melihat wajah kesal Nesa. Dari awal wanita muda itu sudah menunjukkan tanda ketidaksukaannya pada Derek—sang sutradara."Ya sudahlah. Kita memakai Derek karena Zian terlalu sibuk dengan projek sebelumnya dan sekarang semuanya membaik dan aku lebih tenang bila Zian yang memimpin langsung syuting film ini," hibur Megan—membesarkan hati penulis muda itu."Iya juga sih." Nesa manggut-manggut membenarkan. "Oh ya, Meg. Kapan kita mulai proses re-create naskah? Aktris utama sudah tak sabar menunggu naskah mereka di kirim."
"Rey, bangun. Katanya kamu ada rapat pagi?" Megan menguncang tubuh Riley pelan, membangunkan. Megan telah selesai berkemas sejak lima belas menit yang lalu. Dia sengaja tidak membangunkan Riley lebih awal karena pria itu terlihat sangat kelelahan. Jadi Megan memberinya waktu tidur lebih lama."Hmm, Sayang, kamu udah bangun?" Riley mengucek matanya, tak lama dia bangkit dari ranjang—membuat tubuh atasnya yang berbalut otot terekspos dengan jelas.Megan segera mengalihkan pandangannya, berusaha untuk tidak melihat pemandangan menggoda di pagi hari.Riley terkekeh geli. Menghampiri Megan yang duduk di balik meja hias dan memeluk tekuk nua dari arah belakang."Hmm, kenapa kamu harus berpaling? Walaupun kita belum melangkah terlalu jauh tapi, kamu sudah melihat semuanya," desah Riley tepat di telinga istrinya. ia mengecup pipi kiri lalu berpindah ke kanan. "Selamat pagi.""Pa—pagi," balas Megan terbata.Riley terkekeh puas. Menggoda Megan menjadi hobi baru baginya. Dia sangat menyukai rona
"Apa kamu yakin?"Daniel menyusuri setiap kata yang tertulis dalam laporan yang diberikan detektif swasta yang sengaja disewanya untuk mencari keberadaan bayi dalam foto.Rasa penasaran mengusik Daniel untuk mencari tahu kabar sepupunya. Namun kenyataan pahit harus Daniel terima karena bayi yang digendong Mama dalam foto bukanlah sepupu melainkan kakak perempuan atau lebit tepatnya kakak tiri."Ya. Informasi dari panti asuhan, wanita di dalam foto meninggalkan anaknya disana dengan alasan akan menikah dengan laki-laki lain dan suami barunya tidak menginginkan anak ini."Mata Daniel menatap nanar wajah wanita di dalam foto. Dia seolah tak lagi mengenal sosok Mama, ingatannya mengabur bersama kenyataan bahwa wanita yang selama ini dia kagumi karena sikapnya bak seorang malaikat, ternyata tega mengabaikan bahkan membuang anaknya.***"Apa yang kamu pikirkan?" tanya Zian.Dia meletakkan puluhan lembar kertas biodata aktor yang melamar untuk peran pendukung di hadapan Megan dan juri lainnya
"Baron."Baron mendengus malas begitu melihat dua pria bersetelan jas menghampirinya."Hai." sapa Allen. Ia meringis begitu pria imut itu membuang muka—mengabaikannya."Di mana Megan?" tanya Riley."Apa aku terlihat seperti babysitter?" Sergah Baron ketus."Hei, tak bisakah kamu sedikit ramah," hardik Allen. Ia mulai kehabisan sabar untuk menghadapi emosi Baron.Riley menepuk pundak Allen—menenangkannya. "Aku menganggap mu sebagai adik dari istriku," ucap Riley tenang. Tidak ada gunanya berdebat dengan Baron yang menunjukkan sikap sangat jelas menolak kehadirannya dalam hidup Megan. Riley berusaha memahami itu, sifat Megan dan Baron hampir sama, keduanya cenderung keras dan sulit untuk di dekati secara langsung. Mereka harus benar-benar merasa nyaman, baru bersedia membuka diri menerima keberadaan orang-orang baru di sekitar mereka. Baron terhenyak oleh pengakuan Riley. "Dia di rooftop, istirahat," sahutnya mengalah."Baiklah. Terima kasih." Riley melirik sekilas pria asing yang te