"Sialan, berat banget." Baron menghempas tubuh Zian di atas ranjang. Membiarkan tubuh itu jatuh dalam posisi telungkup. Ia menghela napas panjang sekalian menyeka bulir keringat di keningnya."Harusnya ku tinggal aja di tempat karaoke," desisnya kesal."Baron, bantuin!"Teriakan dari lantai utama membuat Baron mengacak rambutnya frustasi."Bentar," balasnya. Ia membentang selimut hingga menutupi tubuh Zian dan berbalik, keluar dari kamar."Apa yang harus kita lakukan dengan dua orang ini?"Daniel mengaruk kepalanya melihat Allen dan Nesa yang masih terkapar di atas sofa panjang."Bawa Nesa ke kamar Megan. Kalau Allen, hmm—""Kita buang aja keluar," celetuk Baron asal.Daniel terkekeh geli. "Kamu masih punya energi untuk bercanda?""Hah." Baron menghela napas panjang sembari mencampakkan tubuhnya ke sofa dan memejamkan mata."Kenapa mereka harus bertingkah bersamaan," keluhnya.Gerakan tangan di pundaknya membuat Baron tersentak kaget."Pundakmu tegang banget," ujar Daniel sambil mema
"Sayang, bisakah kamu menjaga jarak dari pria bernama Daniel?"Megan menautkan kedua alisnya. "Daniel? Kenapa?" tanyanya sambil mengunyah hotdog di tangannya.Riley mendesis gemas. "Pelan-pelan, bahaya keselek," ujarnya sambil menyeka mayonaise di sudut bibir Megan lalu mengecap sisa krim di jarinya."Kenapa?""Emm. Aku hanya merasa bocah itu punya maksud terselubung. Dia selalu menatap mu."Megan membulatkan matanya dengan pipi yang menggelembung. Rambut sebahunya terurai, dihempas angin yang masuk melalui jendela mobil yang terbuka."Tuhan!" Erang Riley sambil menekan tombol untuk menaikkan kaca. "Uhm, Rey!" Jerit Megan karena Riley meraup bibinya cepat. Menjilati setiap sudut sembari menggigit bagian yang menebal."Berhenti membuatku gila, Sayang!" Desah Riley di tengah napas yang memburu."Rey, tenangkan dirimu. Kita lagi di luar," desis Megan panik. Ia menjauhkan diri, memalingkan wajahnya untuk melihat kondisi di luar. Berharap tak ada satupun orang yang berada di sekitar mobi
"Mama?!" Daniel membulatkan matanya begitu melihat wanita dengan paras ayu dan tubuh sintal, meski di umurnya yang sudah cukup matang—membuka dan melewati pintu masuk."Oh, kamu masih mengenal wajah Mamamu?" Sindir Yasmen.Daniel memaksa sebait senyum. Ia paham betul tabiat Mamanya yang melempar sindiran tajam setiap kali kesal dengan tingkah putranya.Ia bergegas menghampiri Yasmen. "Mama, ngapain disini?" Daniel melirik dua orang yang mendampingi Yasmen, mengirimkan tatapan mengancam. Membuat keduanya meringis, serba salah."Tentu saja untuk menemuimu dan—" Yasmen melirik wajah-wajah asing di dalam ruangan. "Teman-temanmu.""Mama dengar, kamu menjenguk teman yang sakit?"Yasmen mengurai senyum ramah, menyapa orang-orang yang tengah menatapnya."Ah ya." Daniel mengaruk kepalanya lalu buru-buru menarik lengan Baron untuk berdiri disampingnya. "Ini, Baron," ujar Daniel untuk membuka sesi perkenalan."Halo, Baron." Balas Yasmen. Namun Baron tak bergeming. Pemuda itu hanya menatapnya d
"Meg, gimana kalau kita bulan madu ke Paris?""Hmm." Megan mengumam sambil berpikir. "Entahlah.""Kamu tidak suka?" Riley mengeratkan rangkulan di pinggang Megan saat beberapa pasang mata menatap istrinya penuh minat. Ia menarik Megan untuk lebih dekat, membuat posisinya nyaris masuk dalam pelukan."Aku sudah beberapa kali mengunjungi Paris."Riley mengangguk paham. "Lalu? Kamu punya ide lain?""Gimana kalau Sicily? Sudah lama aku ingin ke sana," cetus Megan."Itali?"Ya." Angguk Megan penuh semangat. "Aku ingin mengunjungi kota Palermo.""Baiklah. Kamu boleh memilih kemanapun yang kamu mau, nanti aku akan meminta Irene mengatur jadwal kita.""Irene?" Nada suara Megan turun ketika mendengar nama sekretaris baru itu disebut."Kenapa harus dia?" Gumamnya."Untunglah bocah itu pergi.""Hmm, siapa?" Megan mengikuti arah pandangan suaminya."Oh, Daniel." ujar Megan gusar. Ia tidak ingin Riley kembali mengangkat emosinya. "Tapi, siapa itu?""Siapa?" Riley yang mengalihkan perhatian kembali
"Apa Papa tahu Mama pergi dari rumah?"Daniel meletakkan minuman kaleng yang telah ia hangatkan di depan Yasmen lalu duduk di kursi rotan yang berhadapan langsung dengan sofa panjang dimana Mamanya duduk santai sambil membalik halaman majalah fashion edisi terbaru Minggu ini."Tentu saja. Mana mungkin Papa mu melepaskan Mama pergi tanpa izin," sanggah Yasmen tanpa berkedip."Baguslah. Aku hanya tidak ingin Mama dan Papa bertengkar hanya karena masalah ini."Yasmen mendengus sebal. "Kalian ini, anak sama bapak sama aja. Selalu mengekang Mama untuk tinggal di rumah dan tidak melakukan apapun," keluhnya."Papa hanya tidak ingin Mama terluka. Apalagi di masa kampanye seperti ini, lawan akan melakukan segala cara untuk menjatuhkan Papa untuk mengincar suara terbanyak, salah satunya dengan menyakiti orang-orang terdekat," tutur Daniel mengingatkan.Ia memaklumi keluh kesah Ibunya namun tak bisa berbuat apapun. Papa sangat protektif pada istrinya begitupula dirinya yang tidak ingin Mama menj
Allen menunggu dengan penuh harap. Menatap pria imut yang tengah mengangkat sendok untuk suapan pertama."Gimana?""Apa kamu buta? Bahkan aku belum memasukkan sendok ke dalam mulut," sergah Baron kesal."Yah, aku hanya penasaran. Cepatlah."Baron melesakkan suapan pertama ke mulutnya. Mengunyah beberapa saat sebelum terdiam. "Gimana, gimana?" Buru Allen."Hmm."Allen mengernyit penasaran. "Apa maksudmu dengan, hmm?""Katakan lebih jelas," tuntutnya."Yah." Baron mengeram dalam. Kali ini ia harus mengakui dengan berat hati. "Yah, enak," ungkapnya."Yes." Seru Allen puas. "Aku berhasil. Kamu pasti suka padaku 'kan?"Baron memicingkan matanya. "Hanya masakan mu tidak dengan orangnya," sanggahnya cepat sebelum Allen berpikir terlalu tinggi."Apapun itu yang penting kamu suka," ujar Allen. Melilit pastanya ke sendok dengan penuh semangat."Apa kamu sering memasak?""Tidak. Aku dan Riley tidak ingin repot lama-lama di dapur. Jadi kami lebih sering pesan antar dari restoran Eropa di dekat a
Yasmen turun dari mobil didampingi bodyguard dan asistennya. Ia celingukan untuk mencari sosok putranya yang telah lebih dulu menuju lokasi syuting. Daniel mengijinkannya untuk mengunjungi lokasi dengan syarat Yasmen tidak mengusiknya selama syuting.Langkah Yasmen terhenti begitu matanya menangkap sosok wanita berkulit putih dengan rambut sebahu, lesung di pipi kiri yang menjorok ke dalam membuatnya sangat menarik untuk mengusik pandangan orang-orang disekelilingnya.Setiap gerakan sang wanita menjadi pusat perhatian Yasmen. Ia merasa sosok itu terlihat familiar baginya. Yasmen tersenyum geli begitu melihat kedutan di kening sang wanita saat dia bersitegang dengan orang-orang disekitarnya."Maaf, Bu. Tuan Daniel sedang diruang ganti, kita tidak bisa mendekatinya saat ini," ujar Gea.Yasmen mengangguk paham. "Tak apa. Lebih baik kita menunggu disini. Daniel akan marah kalau kita menganggu nya saat bekerja.""Gea, kamu jaga Ibu Yasmen. Saya akan mengambilkan kursi dan payung," ujar Boy
"Ploy." panggil Zian. "Kamu merekam foot path 'kan?""Iya, tadi aku mengambil beberapa jejak video untuk opening," sahut pria yang telah lima tahun berpengalaman menjadi kameraman dalam tim produksi film.Zian mengangguk puas. "Ayo kita lihat."Ploy—sang kameraman membuka laptop dan menghubungkannya dengan kamera yang digunakannya siang tadi."Putar di waktu kejadian," perintah Zian."Maksudmu waktu mobil putih itu melaju ke arah Megan?"Zian mengangguk. "Kamu merekamnya 'kan?"Ploy tak menjawab. Ia bangkit menuju ruang ganti dan kembali bersama kamera lainnya. Ia membongkar setelan awal dan kembali menyambungkan kamera lainnya ke laptop."Sebelum syuting di mulai, aku meletakkan kamera cadangan di tripod untuk jaga-jaga bila ada adegan yang terlewat. Kamera ini merekam dengan jelas apa yang dilakukan SUV itu sejak awal kita memulai syuting," jelas Ploy."Bagus." Zian tersenyum puas sambil mengacungkan kedua jempolnya."Mari kita lihat, apa sebenarnya yang dilakukan SUV ini," ujar Zia