“Mas .... Eh, Mbak. Maaf, jangan ganggu saya. Saya ini orang yang sedang tidak bahagia. Tolong, jangan tambah penderitaan dalam hidup saya,” pintaku, memohon sambil duduk. Berharap, manusia tidak jelas itu iba.
“Makanya, kalau tidak bahagia, ayo madam bikin seneng.”
Muka tidak berbentuk begitu minta dipanggil madam?
“Saya sedang ingin menikmati kesedihan, Mas. Eh, Mbak. Maksud saja, Madam.”
Makhluk jadi-jadian itu semakin mendekat dan mulai mengelus tubuhku yang sudah berdiri.
“Tolong! Tolong!” Aku berteriak, berharap beberapa pedagang yang berada agak jauh dari sini mendengar teriakanku.
“Diem kamu! Kalau berteriak, aku seret dan per*o*a kamu di semak-semak. Atau kalau tidak, aku ceburin kamu ke laut!”
Mulutku dibekap menggunakan tangan kekarnya. Suaranya berubah menjadi laki-laki galak. Tubuh ini bergidik ngeri. Meskipun sempat berniat bunuh diri, tapi aku jadi takut saat m
NIAKami pergi ke suatu mal untuk menuruti keinginan anak-anak bermain. Ada yang berbeda dari Pak Irsya. Selama kami duduk berdampingan, pria itu tidak pernah mengajak ngobrol. Dirinya hanya berbincang dengan anak-anak. Sesekali, mereka tertawa bersama dan akan mengalihkan pembicaraan bila diriku ikut bergabung dalam candaan.Beberapa kali kulirik pria yang baru tadi malam mengucapkan ijab kabul padaku. Namun, lelaki di balik kemudi itu sama sekali tidak mengindahkan keberadaan istrinya. Aku merasa sedang tidak diacuhkan. Dan keadaan itu berlangsung sampai kami sampai di tempat parkir.“Kakak, Adik, turunnya hati-hati. Tunggu papa bukain pintu.” Pak Irsya berujar sambil membuka pintu lalu turun, masih dengan tidak memedulikan keberadaanku.Kenapa tiba-tiba berubah? Apa yang salah dengan diri ini?Bila Pak Irsya marah karena sesuatu hal, seharusnya anak-anak masih menganggapku ada. Namun, yang terjadi, aku sama sekali tidak disapa. Aku l
Keluar dari kamar, kulihat Pak Irsya sedang memainkan gawainya. Beliau sempat melirik padaku, yang sudah berubah penampilan dengan wajah sedikit terpoles. Kubaringkan tubuh ini di atas suamiku yang tidur terlentang. Wajah kami sudah sangat dekat sekarang.“Maaf sudah membuat Mas marah. Aku janji, tidak akan mengulanginya lagi,” ucapku lirih.“Aku takut kamu akan berpaling pada Agam kembali. Bagaimanapun, dia adalah ayah kandung Dinta dan Danis, juga mantan suami kamu. Aku sudah menunggu lama untuk memiliki kalian. Dari sorot matanya, terlihat sekali kalau Agam masih menginginkanmu,” ujarnya sambil memainkan anak rambut yang keluar dari ikatan.“Dia hanya masa laluku. Jangan pernah berpikir seperti itu, ya? Aku memang selalu memiliki rasa kasihan terhadap siapa saja yang dalam keadaan susah, tapi tidak untuk kembali jatuh pada kesalahan yang sama. Dan aku sudah menegaskan padanya untuk tidak kembali lagi ke rumah ini. Percayalah, hat
“Mas Seno pindah kerja, Gam. HP-nya rusak, makanya susah dihubungi. Dia juga minta mbak buat menjual kebun, katanya mau investasi beli kebun sawit di sana. Saat ini, ada seseorang yang butuh uang secepatnya. Kamu bisa bantu carikan yang mau beli secepatnya, kan, Gam?” Dengan penuh semangat, anak sulung bapak bercerita.“Mbak, sudah memikirkan semuanya? Mbak percaya sama Mas Seno?” Entah kenapa, aku merasa tidak yakin dengan apa yang disampaikan kakak iparku.“Sudahlah, Gam. Percaya saja sama Masmu. Dia gak pernah neko-neko, kan? Yang dijual juga miliknya sendiri.” Mbak Eka bersikeras. “Kalau nanti memang kebun sawitnya maju, kamu bisa menyusul ke sana buat kerja kalau liburan.”“Mau dijual semua, Mbak?” tanyaku untuk memastikan.“Iya, Mas Seno butuh uang tiga ratus juta.”“Ya sudah, minta sama bapak saja, Mbak. Aku tidak tahu caranya.” Secara halus aku menolak permi
Sebelum resepsi pernikahan resmi dilangsungkan, Mas Irsya berangkat ke sekolah dari rumahku. Sesekali, kami bertiga diajak menginap di rumahnya yang besar.Suatu sore yang cerah, saat di rumahnya, kami duduk di teras berdua. Dinta dan Danis memilih tinggal di rumah bersama mbahnya.“Nia,” panggil lelaki yang sudah sah menjadi suamiku.“Hm?” gumamku, sebagai jawaban.“Besok, orang tuaku datang ke sini. Aku akan memperkenalkan kamu pada keluarga besarku yang datang. Jadi, kita menginap di sini, ya? Besok pagi, aku suruh Doni jemput Dinta dan Danis.”“Iya. Terserah Mas saja.” Bibir ini mulai terbiasa memanggilnya dengan sebutan mas.“Nia,” panggilnya lagi.Kali ini aku hanya menoleh tanpa menyahut. Menarik bibir ke samping untuk menunjukkan bahwa diriku masih memperhatikan apa yang akan disampaikannya.“Kenapa kamu tidak pernah bertanya tentang latar belakangku?&rdq
Bahagia akan datang pada di yang tepat. Seperti saat ini, hari-hariku selalu diisi dengan kebahagiaan dengan pria yang selalu memperlakukanku penuh cinta. Mengisi malam-malam indah dengan penuh kesyahduan. Setiap sorot mata yang dipancarkan Mas Irsya, selalu terlihat cinta untukku di sana.Terkadang, kita dipertemukan dengan orang salah supaya bisa mengerti betapa berharganya sosok yang baik untuk hidup kita di masa yang akan datang. Tentu, Mas Irsya bukan seseorang tanpa cela. Karena sejatinya, tiada manusia yang sempurna. Sikapnya posesif dan cemburuan. Namun, entah mengapa, aku selalu bahagia bila dirinya seperti itu. Seakan, lelaki itu begitu takut kehilanganku. Aku merasa diriku begitu berharga untuknya.***Esok harinya, keluarga besar Mas Irsya benar-benar datang ke rumah. Hanya dua mobil. Mas Irsya melarangku melakukan persiapan untuk mereka. Dengan alasan, aku ratu di rumah ini bukan pembantu. Jadi, untuk jamuan, semuanya diurus oleh tukang masak
“Mas Irsya sering mengirim foto perempuan, Bu?”“Sekitar empat kali sejak menduda. Yang pertama sesama guru, tapi Irsya sendiri tidak terlalu cocok. Dan gak ada kabar kelanjutannya. Yang kedua karyawannya. Tapi, tadi itu. Sepertinya, Irsya terpaksa mencari perempuan, jadi, selalu gagal. Sedangkan yang ketiga, namanya Selly. Kalau ini, sih, Selly yang ngejar-ngejar Irsya. Dia hanya cerita kalau sedang ada janda yang mendekati. Yang terakhir, kamu. Dengan kamu ini, Irsya sampai sempat frustrasi mau pindah, pulang ke kampung halaman.”Refleks aku menyernyitkan kening. Aku baru mengetahui cerita ini. Kalau buka ibu mertua yang cerita, sepertinya aku tidak akan pernah tahu.“Katanya, tidak direstui. Sebenarnya, Irsya sendiri sempat tidak mau menikah lagi. Dia benar-benar trauma. Tapi, kami yang memaksa. Dan memang atas saran ibu juga supaya dia mencari perempuan yang sudah memiliki anak. Dan hanya kamu, perempuan yang diceritakan s
Selama sesi foto, ibu mertuaku berperan sebagai pengarah gaya. Berkali-kali ganti posisi. Sampai anak laki-laki satu-satunya uring-uringan.“Bu, hadap kamera, nanti senyum cantik, ya? Ayo, Buk. Ciiisss.”Aku dan Fani tertawa terpingkal, melihat ibu kami diajak swafoto dengan berbagai gaya. Kesehariannya tidak pernah sekali pun bermain dengan kamera.“Bu, udah dulu, ya? Doni mau kuliah,” tegur Mas IrsyaAku dan Fani saling berpandangan. Ternyata benar, Doni seorang mahasiswa S2. Lengan ini menyenggol gadis di sampingku dan tersenyum menggoda.Fani hanya melirik sebal ke arahku. “Apaan sih, Mbak?” dengkusnya.“Sesuai kriteria, Fan,” balasku, setengah berbisik.“Berangkat aja, Don. Gak apa-apa, kami ditinggal aja,” ujar ibu mertua sekenanya.Akhirnya, setelah puas berfoto ria, rombongan keluarga Mas Irsya meninggalkan rumah kami. Terasa sepi setelah mereka berlalu pergi.
Kulihat beberapa tulisan memang kabur, seperti terkena air. Meskipun Mas Agam pernah menyakitiku, entah mengapa, ada yang mengosuk hati saat embaca goresan tintanya. Cinta? Bukan. Rasa yang kumiliki terhadapnya sudah hilang tidak berbekas. Kini sepenuhnya hati untuk suamiku. Namun, aku yang memang gampang mengasihani orang, tetap merasa prihatin atas apa dirasakan oleh pria yang pernah hidup bersama dulu. Bukan karena dirinya adalah sosok yang pernah ada dalam hati ini. Akan tetapi, aku hanya sedih membayangkan dirinya yang sudah tidak memiliki tempat di hati anak-anaknya. Tangis ini pecah juga. Entahlah, aku memang serapuh ini untuk urusan sesuatu yang sensitif. Kutumpahkan saja, segala rasa yang berkecamuk melalui isak yang hampir tidak terdengar. Semoga kamu bahagia dan menemukan kehidupan yang lebih baik, Mas. Semoga kamu bisa memperbaiki diri setelah ini, dengan siapa pun nantinya kamu hidup. Untaian doa tulus, terucap hanya di relung hati. Bukan