"Huuueekkk!"Dari tadi, Nia terus saja memuntahkan cairan. Kepalanya terasa pusing dengan perut yang tidak nyaman.Sekalipun demikian, Nia tetap berusaha untuk kuat. Dirinya harus terus merawat Dila demi mendapatkan uang untuk pengobatan Farah. Ini adalah kesempatan terakhir yang diberikan Dion setelah kejadian beberapa minggu lalu."Mami, kenapa?" tanya Dila saat melihat wajah pucat Nia.Nia pun menggeleng, kemudian tersenyum pada Dila."Mami masuk angin.""Kata Oma, kalau masuk angin harus pakai minyak angin. Mami," kata Dila memberikan saran."Benarkah?" Nia tersenyum, merasa bahagia jika sudah melihat wajah Dila yang begitu cantik dan sangat pintar.Saat keduanya sedang asik, tiba-tiba pintu kamar Dila pun terbuka. Tampak, Dion berdiri di sana. Seperti biasanya, Dion akan pulang ke rumah setiap siang hari--tentu hanya untuk melihat keadaan Dila dan memastikan apakah Dila sudah makan dan minum obat."Apa anakku sudah makan?" tanya Dion datar.Nia pun mengangguk. Kini, dirinya bena
Dari kejauhan, Liana melihat apa yang terjadi. Oleh karenanya, saat itu juga, Liana berusaha menghentikan langkah kaki Nia.Nia pun terkejut setelah melihat siapa yang kini berdiri di hadapannya. Namun, dia tidak ingin berdebat, apa lagi harus mendengarkan hinaan. Nia kemudian berusaha menghindari dengan cara mencari jalan lainnya. Sayangnya, Liana kini justru berpindah ke samping, tepat di mana Nia ingin mencari jalan.Nia pun tidak menyerah. Dia memilih diam dan mencari jalan lainnya.Sayangnya, Liana pun ikut bergeser. Lagi-lagi, berdiri tepat di hadapan Nia. Begitu terus, hingga seterusnya membuat Nia menghentikan usahanya untuk menghindar.Nia pun mencoba untuk menatap wajah Liana--salah satu penyumbang luka terbesar dalam hidupnya."Apa? Berani kamu melihat saya seperti itu?" Liana pun mendorong Nia hingga terdorong beberapa langkah.Raya yang menyaksikannya seketika tersenyum. Dia merasa bahagia melihat apa yang dilakukan mertuanya pada Nia."Maaf, Nyonya. Saya permisi." Nia ke
Puas menangis, Nia pun mencuci wajahnya. Dia menatap wajah pucatnya di cermin, kemudian mencepol rambutnya dengan asal.Nia pun kembali melihat bayangan dirinya pada pantulan cermin, menata senyum dengan segala perasaan yang berkecamuk di dada."Kamu kuat Nia, kamu wanita hebat!" Nia menyemangati dirinya sendiri sebab tidak ada tempatnya untuk bersandar selain dinding dan air mata untuk meringankan beban di hati.Setelah perasaannya lebih baik, Nia pun keluar dari kamar mandi. Tak disangka, ternyata sudah satu jam Nia menangis di dalam kamar mandi. Dia baru menyadari itu setelah melihat jam dinding yang menunjukkan pukul 16:00.Kemudian, Nia melihat Dila yang masih tertidur pulas dengan memeluk boneka beruang berwarna putih kesayangannya.Nia pun memutuskan untuk mempersiapkan air hangat dan juga pakaian bersih untuk Dion.Benar saja, tidak lama kemudian Dion kembali. Nia bernapas lega karena hampir saja telat mempersiapkan semua itu.Saat Dion sudah masuk, Nia pun memutuskan untuk
Usia kandungan Nia sudah memasuki tujuh Bulan. Perutnya pun tampak membuncit membuatnya kesulitan untuk bergerak bebas seperti biasanya.Hari-hari Nia hanya dipenuhi dengan bekerja dan begitu seterusnya.Bahkan, sampai saat ini hanya memeriksa kandungannya dua kali saja. Pertama sebelum ketahuan Dion dan beberapa bulan lalu. Itu pun karena sakit dan harus meminum obat.Nia harus tetap sehat agar bisa bekerja seperti biasanya dalam menjalankan setiap tugasnya--merawat Dila.Jangan tanyakan soal susu kehamilan, buah-buahan, atau vitamin. Bahkan, makanan yang menjadi keharusan untuk perkembangan janin, tidak bisa ia konsumsi.Waktunya beristirahat saja tidak ada, kecuali saat malam tiba. Itu pun sering kali terlelap dalam rasa lelah yang luar biasa.Hanya saja Nia tak pernah berpikir untuk menggugurkan janinnya. Dirinya memang tidak bisa menerima kenyataan malang yang menimpanya.Tapi, tidak juga mengadili janin yang tidak bersalah itu.Sayangnya, untuk hari ini, Nia tampak menahan saki
"Reza! Tolong aku! Aku mohon." Nia semakin merasa kesakitan, hanya Reza yang kini dapat menolongnya. Namun, melihat Reza masih diam saja, Nia memutar otak. "Baiklah, jika kamu menolongku bukan karena anak ini adalah anakmu. Minimal, tolong aku karena aku sahabatmu. Jika tidak karena sahabat, maka tolong aku sebagai rasa kemanusiaan saja. Aku mohon!" Nia sudah tak dapat lagi menahan sakitnya. Belum lagi, darah yang terus mengalir begitu saja.Reza ingin tertawa mendengar perkataan Nia, menurutnya nitu hanya lelucon yang tak berguna.Menolong Nia? Tidak akan mungkin!"Aku tidak perduli sama sekali, sekalipun kau mati!" Deg!Inilah ternyata Reza yang sebenarnya. Lelaki yang pernah membuatnya jatuh hati dan selalu ditolongnya saat dalam luka.Mata Nia terbuka lebar, hatinya pun tidak lagi berharap untuk bisa berteman seperti awal, bau itu Reza maupun Raya.Di sini, di saat ini Nia sudah tahu seperti apa kedua sahabatnya."Kau memang iblis, lelaki bejat yang tidak tahu apa itu tanggung
Dion terdiam sejenak, kemudian menatap seorang wanita dari balkon kamarnya.Nia tengah menahan sakit, berjalan dengan tubuh terseret-seret demi membawa dirinya.Dion pun mengambil ponselnya, meminta supirnya untuk mengantarkan Nia menuju rumah sakit.Ingin sekali dirinya egois karena merasa tertipu oleh Nia yang ternyata sedang mengandung benih dari seorang pria lainnya. Akan tetapi, rasa kemanusiaannya terlalu besar hingga tidak bisa melihat saja apa yang tengah dirasakan oleh Nia.Dion pun duduk diam, memikirkan apa yang dilihatnya barusan. Memikirkan apa yang dikatakan oleh Nia pada Reza, dan melihat reaksi Reza saat itu.Walaupun malam pun semakin larut, Dion masih saja terjaga karena pikirannya. Dia duduk dalam diam, hingga akhirnya terlelap dalam duduknya. Bahkan, dia masih mengenakan kemejanya semalam."Papi!" seru Dila.Dila berlari menuju kamar Dion, menangis kencang hingga membuat Dion pun terjaga.Sesaat kemudian, Dion sadar ternyata hari sudah pagi. Matahari yang bersinar
Tubuh Nia masih terbaring lemah, setelah pendaratan hebat semalam membuatnya menjadi hampir kehilangan nyawa.Tapi beruntung nasib baik masih berpihak padanya, dengan bantuan seorang supir yang bekerja di rumah Dion kini Nia sudah melahirkan seorang bayi laki-laki.Bayi itu lahir dengan berat badan tidak normal, selain karena lahir sebelum waktunya, juga karena Nia kekurangan gizi.Terlalu lelah dan juga terlalu stress semakin memperparah kondisi janin di rahimnya, bahkan kesehatan Nia juga tidak baik-baik saja.Ternyata terlalu banyak bergerak berlebihan juga membuatnya kelelahan."Gimana keadaan kamu?" Tanya Asih, seorang pembantu yang dari semalam terus menjaga Nia sesuai dengan perintah Dion.Hanya saja Dion tidak ingin Nia atau siapapun tahu bahwa dirinya yang memerintahkan supir dan Asih yang tak lain adalah seorang pembantu di rumah Dion yang menolong Nia.Dion masih terlalu kecewa pada kehamilan Nia dengan laki-laki lain, sedangkan dirinya yang menikahi. Sungguh kehamilan Nia m
Keesokan harinya, Nia pun memutuskan untuk pulang.Ternyata, Asih juga tidak memiliki uang untuk mendahului biaya. Beruntung, ada sisa tabungan Nia selama bekerja menjadi seorang OG--sebelum menikah dengan Dion dulu.Meskipun tidak seberapa, tetapi paling tidak, cukup untuk membayar biaya rumah sakit selama dua hari dirawat. "Nia, kamu sebetulnya belum boleh pulang, lho," kata Asih yang tampak begitu khawatir akan keadaan Nia yang belum pulih sepenuhnya.Nia pun tersenyum. Dirinya tidak boleh terlalu lama beristirahat. Nia tak ingin kehilangan pekerjaannya sebagai Ibu sambung untuk Dila, sebab Ibunya masih membutuhkan banyak biaya."Aku nggak apa-apa, Asih. Semakin lama di sini, nanti uangku nggak cukup buat bayar biayanya. Ini saja tabunganku sudah habis. Memang sih, uangku tidak seberapa." Nia tersenyum. Dia masih bersyukur bisa mendapatkan pertolongan, hingga dirinya masih bisa bernapas sampai saat ini.Meskipun masih membutuhkan pengobatan, tapi Nia tidak masalah jika harus pul