"Seharusnya dia tidak pergi bersama laki-laki lain! Sudah tahu sudah bersuami!" Papar Dion tak mau mengalah berdebat dengan Bunga."Suami?" Tanya Bunga sambil tertawa terbahak-bahak, percayalah ini sangat lucu dan sangat menggelitik perut."Apa Mama sudah tidak waras?" Dion merasa ada yang tak beres pada Bunga, sehingga bisa tertawa seperti orang gila."Kamu sadar dia istri mu ternyata ya," ejek Bunga lagi dengan iringan tawa yang masih tersisa.Dion pun mendudukkan tubuhnya pada sofa, tak tahu mengapa bisa mengatakan kalimat tersebut.Bahkan kini seakan terjebak dengan apa yang barusan dikatakannya sendiri."Kalau kamu sadar dia istri mu kenapa tidak melarangnya, kenapa tidak mengatakan pada Niko agar berhenti mengganggu istri mu?" Cerca Bunga lagi."Tidak penting!" Tandas Dion."Bu, Nia lelah. Benar-benar lelah menjalani hidup ini, tolong lepaskan Nia dari pernikahan ini. Biarkan Nia hanya menjadi pengurus Dila saja, Nia mohon Bu," pinta Nia dengan suara bergetar menahan air mata ya
"Aku minta maaf."Bukan, bukan kalimat itu yang ditunggu oleh Nia dan juga Bunga.Lantas apakah Dion sadar dalam mengucapkan kata tersebut."Dion?""Nia, aku tidak ingin menceraikan mu."Kata itu keluar begitu saja dari mulut Dion, hingga membuat Bunga tidak percaya."Dion, coba ulangi sekali lagi. Mama sudah tua. Jadi, pendengaran Mama pun sepertinya sudah rusak."Lagi-lagi Bunga kebingungan dan meminta Dion untuk mengulangi kalimatnya, kata yang cukup mustahil untuk keluar dari mulut Dion.Begitu juga dengan Dion yang terasa berat untuk mengeluarkan kalimatnya lagi.Akan tetapi Bunga masih saja menunggunya, sebenarnya Bunga tidak yakin jika telinganya yang rusak.Namun Dion yang sudah mendadak rusak entah apa penyebabnya, kata--Maaf-- sangat tidak masuk akal terdengar karena anaknya itu sangat keras kepala dan memiliki gengsi begitu tinggi."Ma, sebaiknya keluar dari sini!" Dion pun bangkit dari duduknya, kemudian menarik Bunga untuk segera keluar dari kamarnya."Dion, kamu beraniny
Tanpa bicara sama sekali Dion pun memakai pakaian yang sudah disiapkan oleh Nia, menyeruput kopi yang juga diseduh oleh orang yang sama.Menikmati sarapan pagi di meja makan, namun Nia sibuk menyuapi Dila.Beberapa kali Dion mencuri-curi pandang, tetapi tak di sadari oleh Nia sama sekali.Sejak kejadian malam tadi Nia hanya diam tanpa bicara, jika biasanya Dion tidak memperdulikan tapi tidak dengan saat ini.Entah mengapa terus saja merasa bersalah, lagi-lagi karena kata kasar yang diucapnya tanpa sadar itu."Mami, Dila udah kenyang," Dila pun menolak saat Nia kembali menyuapinya.Nia pun mengangguk, kemudian mengambilkan segera susu. Setelah di teguk oleh Dila, kembali meletakkan gelas kosong pada meja.Kemudian Nia membatu Dila untuk memakaikan ranselnya."Dila, berangkat sama Mbak Asih saja. Biar Mami, ngurus Zaki, kasihan adk nya," kata Dion tiba-tiba, membuat semua yang duduk di kursi meja makan melihat kearahnya karena terkejut.Sebab, Dion yang dingin tampaknya bisa perduli itu
Nia hanya diam, begitu juga dengan Dion yang hanya melihat Nia dengan wajah menunduk.Lama keduanya terdiam akhirnya Dion pun memilih untuk kembali bersuara."Apa kata yang ku ucapkan malam tadi masih menyakiti hati mu?"Nia pun mendongkak menatap wajah Dion, tanpa menjawab pertanyaan tersebut.Diamnya Nia membuat Dion semakin penasaran akan apa yang sedang dipikirkan oleh wanita tersebut."Nia, aku minta maaf. Apa kau belum memaafkan aku?"Apa yang barusan dikatakannya?Mengapa mendadak menjadi aneh.Dion menyadari keanehannya, namun akan lebih aneh lagi jika terus saja merasa bersalah pada Nia."Apa itu perlu Tuan?" Tanya Nia kembali.Bukan jawaban yang diberikan, melainkan juga pertanyaan tanpa ada jawaban pasti.Membuat Dion kian semakin menjadi-jadi, padahal sudah jelas dirinya sendiri yang sudah mencari tahu tentang Nia.Namun, mengapa dengan mudah bibirnya tega menghina wanita korban kebejatan seorang pria yang tak lain adalah keponakannya sendiri."Tentu, aku tidak bisa menyak
Sedangkan di waktu yang sama namun tempat yang berbeda ada hal lainnya yang tengah berlangsung."Bagaimana jika kita menjemput Dila? Ini sudah waktunya jam pulang sekolah, aku yakin dia akan senang sekali bisa dijemput oleh orang tuanya," tanya Dion yang ingin lebih dekat dengan Nia.Lebih dekat?Ini gila, tapi itulah nyatanya.Bahkan tanpa mendengar jawaban Nia sama sekali, Dion pun menarik Nia untuk ikut bersama dengannya.Hingga Asih pun terkejut melihatnya, seketika itu berlari menuju kamar Bunga."Bu," kata Asih dengan napas tersengal-sengal, memasuki kamar Bunga dengan terburu-buru."Asih, ada apa? Seperti dikejar setan saja," kata Bunga yang melihat Asih dengan aneh."Ibu Bunga harus lihat sesuatu," kata Asih sambil menarik napas panjang mencari udara untuknya bisa bernapas dengan baik."Sesuatu?""Lihat Bu," Asih pun menunjuk ke puar, dari jendela kamar yang terbuka lebar.Bunga pun melihatnya, kemudian dirinya juga sedikit bingung."Apanya? Kamu sedang menunjuk apa?" "Itu Tu
"Maaf," Dion benar-benar menegang, Dila yang menganggap itu hanyalah sebuah ucapan saja.Tetapi pada kenyataannya malah Dion dibuat panas dingin seketika.Dion pun tidak mengerti mengapa dirinya menjadi begini.Padahal selama ini dirinya sama sekali tidak memikirkan masalah ranjang.Tapi akhir-akhir ini Dion memang sering kali tanpa sengaja melihat Nia dengan menampakkan beberapa bagian tubuhnya, walaupun tidak dengan disengaja."Papi!" Seru Dila.Lagi-lagi bocah itu berseru karena Dion malahan hanya diam tanpa melajukan mobilnya kembali, padahal suara klakson mobil lainnya sudah terdengar saling bersahutan-sahutan."Ck," Dion pun berdecak, akhirnya melajukan mobilnya kembali, walaupun pikirannya sudah dipenuhi dengan rasa aneh."Papi, aneh banget sih. Berhenti mendadak, nyetir juga aneh," gumam Dila dengan bibirnya yang terus saja komat-kamit.Karena kesal pada Dion yang mendadak menjadi aneh.Sedangkan Nia hanya diam saja menyaksikan seorang Papi yang sedang diomeli habis-habisan o
"Handuk di mana?" Dion tidak melihat handuk yang seharusnya sudah tersedia di dalam kamar mandi tersebut.Tetapi, sepertinya Nia lupa menyiapkan handuk seperti biasanya."Nia! Ambilkan handuk!" Seru Dion dari dalam kamar mandi, melalui celah pintu yang sedikit terbuka, menampakan kepalanya.Sedangkan Nia sedang sibuk menyiapkan pakaian untuk Dion."Ya Tuan," Nia pun bergegas untuk mengambilkan handuk, "ya, ampun. Kenapa aku sampai lupa menyiapkan handuk bersih setelah mengambil handuk kotor itu," gumam Nia, karena menyadari kesalahannya.Nia juga takut malah Dion marah, sebab pria itu tak suka kesalahan sekecil apapun.Membuat Nia dituntut untuk terus cepat mengerjakan sesuatunya.Berjalan ke arah pintu kamar mandi setelah membawa handuk yang diminta oleh Dion, namun mendadak Nia membalikkan tubuhnya.Agar tidak melihat apa-apa.Dion menerima handuk, kemudian memakainya. Sesaat kemudian Dion pun keluar dari kamar mandi.Hanya dengan balutan handuk di pinggangnya, membuat Nia terkejut
"Tuan, Mas Niko di luar. Nggak di bukain pintunya?""Buka sekarang pintunya!" "Baik, Tuan," dengan segera melakukan perintah Dion, namun sesaat kemudian langkah kaki Nia mendadak terhenti."Berani kau membukanya, kau juga boleh keluar dari rumah ini!" Papar Dion.Degh!Nia pun mematung di depan pintu kamar, sesaat kemudian berbalik melihat wajah Dion yang tampak datar."Tutup pintunya!" "Pintu kamar ini Tuan?""Pintu gerbang!""Pintu gerbang? Kita 'kan di kamar Tuan?" Nia masih bingung dengan perintah Dion."Pintu kamar ini Nia!" Jawab Nia dengan kesal.Dengan cepat Nia pun menutup pintu kamar, tanpa berani membukakan pintu untuk Niko yang terus saja minta dibukakan."Kenapa kamu sangat perduli pada si gila itu?" Dion ingin tahu, apakah Nia juga menyukai Niko, hingga ingin mengetes.Ataupun membuat Nia mengakui dengan bibirnya sendiri, tapi percayalah jika saja benar Nia menyukai Niko maka akan ada kemarahan yang meluap.Meskipun Nia tak akan pernah tahu untuk apa saat ini kemarahan