Nia berusaha untuk lepas dari pelukan Dion, tetapi cukup sulit sekali. Padahal dirinya sudah ingin berlari ke kamar mandi untuk melakukan ritual paginya.Hingga akhirnya pergerakan Nia membuat Dion pun terbangun."Tuan, maaf kalau aku menggangu tidur anda. Aku kebelet pipis," kata Nia agar Dion tahu, sebab selain ingin ke kamar mandi Nia pun ingin dilepaskan oleh Dion.Tetapi Dion hanya diam saja, menatap wajah Nia di pagi hari ini.Wajah yang apa adanya, bahkan saat bangun tidur saja masih terlihat begitu cantik.Dalam hati Dion memuji kecantikan seorang wanita yang kini berstatus sebagai istrinya.Sungguh sangat tidak dimengerti sama sekali, tapi setelah mengetahui penderitaan Nia hatinya mendadak luluh dan ingin mengenal lebih jauh."Tuan?" Nia tidak nyaman saat Dion menatapnya begitu dalam, saat ini Nia hanya ingin dilepaskan dari pelukan Dion.Itu saja, bukan malah mendapatkan tatapan mata elang tersebut.Lagi pula mengapa bisa Dion terus saja memeluknya? Tidakkah ada rasa jijik?
Tidak masalah, tetapi cukup membuat pagi ini menjadi lebih berwarna.Sebuah ciuman untuk yang pertama kalinya, lagi pula anggap saja sebagai proses penyesuaian.Sehingga, Nia dapat melupakan trauma mengerikan yang pernah dialaminya.Setelah selesai memikirkan banyak hal, Dion pun memutuskan untuk pergi menuju kamar mandi.Dimana hanya ada satu kamar mandi di rumah tersebut, itupun bersebelahan dengan dapur.Sesaat kemudian Dion pun membuka pintu kamar mandi tanpa tahu ada orang di dalam sana.Karena pintu kamar mandi hanya tertutup tanpa terkunci, bahkan dirinya yang terbiasa memiliki kamar mandi pribadi malah melupakan dimana kini dirinya berada.Apa yang dilihat oleh Dion saat ini hingga membuatnya mendadak mematung di ambang pintu yang terbuka.Nia sedang menggosok punggungnya, tapi mendadak terhenti karena kehadiran Dion yang tiba-tiba masuk ke dalam kamar mandi begitu saja.Dengan gerakan cepat Nia pun menarik handuk, kemudian menutup bagian punggungnya.Bahkan dengan banyaknya b
"Untung aku selalu mandi pakai kain sarung, coba kalau enggak?"Dengan cepat Nia pun membilas tubuhnya, bahkan Nia tidak lagi lanjut menggosok bagian tubuhnya yang belum sempat terkena sabun.Tapi, setelah selesai mandi malah dirinya sadar tidak membawa pakaian bersih ke dalam kamar mandi."Ya ampun, tapi aku nggak mau dikira menggoda Tuan Dion."Nia pun memutuskan untuk keluar dari kamar mandi, dengan melilitkan handuk saja di bagian tubuhnya.Tapi Nia tidak memasuki kamarnya, sebab sudah pasti Dion ada di sana.Memilih untuk memasuki kamar ibunya, kemudian mengambil sebuah daster milik sang Ibu juga tentunya, kemudian memakainya.Tubuh Farah cukup gemuk, tetapi tubuh Nia begitu kurus.Sehingga daster di tubuhnya terlihat kebesaran, tapi tidak masalah.Karena yang menjadi masalah justru saat Dion melihatnya hanya dengan balutan handuk saja. Itu sungguh sangat mengerikan.Setelah itu Nia pun langsung menuju kamarnya, yang hanya bersebelahan dengan Ibunya.Ingin memberitahu jika kamar
Mendadak Dion merasa lebih nyaman berada di rumah tersebut.Kenapa demikian.Pertama; Ranjang yang sempit membuat mereka berdua harus tidur berdekatan, tentunya Dion pun bisa dengan mudahnya menjadikan Nia sebagai bantal guling ternyaman.Ternyaman?Sejak kapan Dion menganggap Nia menjadi bantal guling ternyaman?Tidak tahu, hanya saja itu adalah suatu hal baru yang dirasakan oleh Dion.Kedua; Zaki sudah pasti dengan Neneknya, tapi bukan berarti Dion tidak menyukai Zaki.Hanya saja saat ini Dion juga ingin merasakan menjadi suami sesungguhnya, tentunya juga dengan menjadikan Nia sebagai istri yang sesungguhnya pula.Dan saat Zaki bersama dengan Farah, artinya Dion lebih leluasa untuk berdekatan dengan Nia.Ketiga; Tanpa Dila, karena biasanya putri kesayangannya tersebut juga bisa menjadi masalah.Tak jarang Dion harus bersabar, padahal dirinya hanya manusia biasa juga memiliki stok kesabaran yang tipis.Lagi-lagi tidak ada yang perduli pada dirinya, karena Dion hanya harus dipaksa unt
"Tuan."Nia sudah memarkirkan sepeda motornya, tetapi masih saja Dion melingkari tangan di pinggangnya tanpa berniat untuk turun.Membuat Nia ikut kesulitan untuk turun dari sepeda motornya.Sejenak Nia bingung dan bertanya-tanya, mungkinkah Dion tak mengetahui jika kini mereka sudah sampai di tempat tujuan."Ah, aku tidak fokus. Maaf, aku tadi takut terjatuh saja."Alasan konyol, katakan saja nyaman.Kapan pria aneh itu akan berbicara dengan benar bahwa dirinya kini tak ingin pernikahan mereka hanya sebuah mainan saja.Hingga Nia dapat menempatkan posisinya dengan benar saat ini.Istri?Iya!Nia memang istrinya, tetapi ada perjanjian yang menjadi penghalang. Sedangkan tak ada kata yang meyakinkan untuk hubungan keduanya."Ini uangnya," Dion pun memberikan beberapa lembaran uang pada Nia, tetapi Nia tidak langsung menerima.Karena Nia hanya diam menatap uang tersebut, tanpa ada keinginan sama sekali untuk mengambilnya."Ambil!"Nia bukannya mengambil malah beralih menatap Dion dengan
"Tuan!"Dion pun menghentikan langkah kakinya, menunggu Nia yang cukup jauh darinya.Dirinya tahu jika langkah kecil wanita itu tak akan bisa menyusulnya. "Tuan, aku....." Napas Nia terengah-engah setelah berlari sekencang mungkin untuk mengejar Dion, "Tuan, jalannya pelan-pelan saja, lagi pula aku belum membeli sayur pesanan Ibu.""Kalau kau masih memanggilku Tuan, maka kau akan mendapatkan hukuman!""Hukuman?""Iya!"Nia pun terdiam sejenak, "Terus manggil apa? Om?" Tanya Nia dengan hati-hati.Ya ampun Nia.Wajah Dion memerah karena kali ini Nia malah ingin memanggilnya Om.Meskipun mereka memang terpaut usia jauh, bukan berarti bisa memanggil apa saja."Nia salah ya Om? Eh, Tuan," Nia menutup mulutnya cepat-cepat, karena tak tahu harus mengatakan apa.Antara takut dan juga segan pada Dion yang menurutnya hanyalah majikannya saja.Dengan segala kesabaran Dion pun mencoba untuk tetap tenang."Panggil Mas!""Apa?" "Apa harus aku umumkan di pasar ini? Agar, orang-orang mendengar?"Ni
"Mami!" Dila pun berseru, sesaat kemudian berlari sekencang mungkin untuk memeluk Nia.Dila yang melihat apa yang dialami oleh Nia barusan, membuatnya takut jika Nia tersakiti.Bahkan tak tahu sama sekali jika Omanya yang sedang memainkan sebuah rencana.Namun, sesaat itu juga Dion dan Nia tersadar ada Dila di antara mereka."Aduh, anak itu," Bunga pun baru menyadari bahwa cucunya terlepas dari pelukannya, "ya, sudahlah," Bunga juga ikut menyusul Dila.Ini adalah akibat dari apa yang di lihatnya, sehingga dirinya sampai lupa memegangi cucu kesayangannya."Mami!""Dila, di sini?" Nia pun cepat-cepat memeluk Dila, walaupun dirinya masih mencoba untuk menenangkan diri.Tapi yang lebih membingungkan adalah Dila, mengapa bisa putri sambungnya tersebut ada di pasar."Mami nggak kenapa-kenapa kan?""Iya, sayang," Nia pun melihat sekelilingnya, dirinya merasa malu atas apa yang terjadi barusan.Bayangkan saja di tengah keramaian ini malah menjadi tontonan, sungguh sangat memalukan."Mami, ko
Setelah merasa lebih baik, Nia pun mulai tersadar bahwa dirinya berada di pelukan Dion.Perlahan menjauh dan mengusap air matanya."Kamu masih kesal pada ku?" Tanya Dion lagi.Dirinya benar-benar tidak bisa jika saja Nia masih menaruh kekecewaan padanya.Semua benar-benar harus diselesaikan dengan secepat mungkin, tak masalah jika pun harus terus menerus mengucapkan kata maaf."Tuan, sayurannya?""Tidak apa, kita beli lagi," Dion pun bangkit dari duduknya, kemudian memegang tangan Nia untuk ikut bangkit pula.Tetapi Nia menggeleng, menolak untuk ikut bersama Dion."Nggak mau ke pasar lagi, aku malu," kata Nia dengan suara pelan."Kita ke swalayan saja, di sana juga banyak sayuran," jelas Dion.Lagi pula di pasar malah membuat Dion kesal, karena terus berdebat masalah harga yang padahal hanya berselisih Rp.1000 rupiah.Nia pun masih diam di tempatnya, menimbang perkataan Dion."Kamu masih marah?"Nia menggeleng, "Aku cuman kesel aja," jawab Nia."Aku benar-benar minta maaf, aku janji t