Mau tidak mau, suka tidak suka, Hadyan menuruti perintah Helga. Perlahan-lahan tangan lelaki itu menjauh dari punggung Helga yang tak tertutupi oleh gaun mewah di tubuh ideal berkulit bersih nan mulus. Hadyan lantas mengalihkan fokusnya pada makanan yang tersedia di atas meja, dan memilih beef steak untuk mengisi perut kosongnya.
Waktu yang berlalu di acara resepsi pernikahan Helga dan Hadyan terasa sangat lambat bagi mempelai wanita. Karena pernikahan dua manusia beda usia itu dilanjut dengan beberapa rangkaian acara seperti berdansa dan bernyanyi, warna langit di atas sana makin gelap. Pesta pun digelar hari itu juga, mengakibatkan pasangan yang baru sah itu merasa kelelahan, terutama si pengantin wanita.
Rasa ingin cepat-cepat masuk ke kamar tidur tertunda saat rumah mewah terpampang di depan mata. Dari memasuki halaman saja Helga sudah dibuat tercengang dengan rumah Hadyan. Ternyata tempat tinggal Hadyan bersama keluarga kecilnya ini lebih besar dari rumah Hans yang sebelumnya ditempati Hadyan dan juga Ivander.
Meski tampak luar biasa mewah, tidak membuat Helga bangga atau senang. Perempuan itu cuma kaget beberapa detik karena ia sudah tak sabar ingin menidurkan tubuhnya yang lelah. Sosok wanita yang berdiri di depan pintu utama segera mengambil alih Ivander dari gendongan Helga.
Begitu sudah digendong suster, Helga melepas sepatu hak tinggi, dan menggantinya dengan sandal rumah. Ia langsung berlari ke lantai dua, di mana kamar tidurnya berada. Sesuai informasi dari Hadyan saat di mobil, Helga buru-buru masuk ke kamar mereka yang bisa dibilang menyatu dengan kamar Ivander.
Melepas gaunnya di atas lantai sebelum masuk ke kamar mandi, begitu masuk Helga segera membilas tubuh. Sesudah rampung dengan urusan bersih-bersih, Helga mencari pakaian tidur yang sudah disediakan di lemari pakaiannya dan Hadyan. “Pandai sekali yang menyiapkan gaun-gaun tidur tipis ini,” pujinya sambil melihat puluhan baju kurang bahan berjajar di depannya.
Helga memakai gaun tidur pendek soft pink berbahan satin, tanpa lengan. Tentunya memilih yang paling normal dari gaun lainnya yang rata-rata tembus pandang di titik tertentu. Perempuan itu langsung keluar dari walk in closet dan disuguhi pemandangan sang suami yang hanya memakai handuk putih di bagian pinggang sampai lutut.
“Wow! Apakah malam ini kita akan bersenang-senang?” tanya Hadyan yang sudah berdiri di hadapan Helga. “Tunggu, aku pun tidak suka bermain tanpa membersihkan tubuhku lebih dulu,” tambahnya sesudah mengecup bibir Helga tanpa izin. Setelah itu Hadyan yang bergantian masuk ke kamar mandi.
Helga yang tak ingin ribut karena lelah, memilih naik ke ranjang besar mereka. Tanpa memusingkan kata-kata Hadyan, matanya pun terpejam. Hingga akhirnya Helga berhasil tertidur, benar-benar nyenyak, dan tidak tahu bahwa seseorang tengah asyik memerhatikannya.
Pria yang hanya mengenakan celana tidur panjang itu melempar handuk ke keranjang, bercampur dengan gaun kotor milik Helga dan setelannya semula. Ia menaiki ranjang dengan tangan yang sudah membelai tubuh Helga. Membuat sang istri terusik, dan segera membuka mata.
“Apa kau lupa akan tugas utamamu malam ini?” tanya Hadyan yang membuat Helga terduduk dan menatapnya lekat-lekat. “Kerjakan tugasmu sebagai istri malam ini,” perintahnya sambil meraih leher Helga, membawa tubuh sang istri makin dekat padanya.
“Mungkin aku terlihat penurut karena bersedia menikah denganmu, tapi jangan pernah meremehkanku. Aku masih punya harga diri,” balas Helga tegas dan segera mendorong Hadyan. “Faktanya kau masih memiliki hubungan dengan mantan istrimu, karena itu aku berhak menolakmu,” terangnya sebelum turun dari ranjang. Hadyan yang terdiam itu hanya bisa melihat Helga yang memilih jalan ke arah pintu penghubung antara kamar mereka dengan kamar tidur Ivander.
“Kau berani mengatakan itu?”
Perempuan berpakaian merah muda itu dengan cepat menoleh, saat tangannya sudah meraih kenop pintu. “Tidak ada malam pertama ataupun malam-malam lainnya. Kau dan aku tidak lebih dari pasangan di atas kertas,” balas Helga tegas. “Untuk masalah ranjang, aku tidak akan pernah menurut sebelum kau dan Ilana menyatakan perceraian kalian di media,” imbuhnya seraya tersenyum tipis. Kemudian masuk ke kamar Ivander.
Hadyan mendengar ucapan terakhir dari mulut Helga yang menurutnya begitu serius, ia sudah tak tahan lagi. Hadyan lantas menyusul istri kecil pemberontaknya itu ke kamar sang putra. Membuka pintu dan langsung mengangkut tubuh Helga dari kasur Ivander.
Helga diturunkan di atas ranjang, perempuan itu mendelik saat Hadyan mengatakan, “Tidak kuizinkan kau tidur di kamar anakku. Kau sudah tahu tugasmu, bukan? Apakah perlu kujelaskan secara detail?”
Helga berusaha menahan tubuh Hadyan saat dirinya sudah ditindih. Dengan cepat Hadyan mengambil sepasang tangannya dan disimpan ke atas kepala. Helga yang marah itu pun mendongak.
“Istri mana yang mau berbagi suami?! Kalian sudah bercerai!” teriak Helga yang berada di bawah tubuh Hadyan. Lelaki itu masih menahan tangan sang istri agar tidak bisa memukul atau mendorong tubuhnya. “Kau mengingatkan tugasku sebagai istri, tapi kau sendiri lupa apa kewajibanmu. Lihat dirimu dulu sebelum memaksaku!”
Bibir Hadyan terkunci sebentar mendengar lontaran Helga yang cukup berani. Akan tetapi, ia tak gentar untuk meminta haknya. “Kau yakin tidak ingin memberikan apa yang seharusnya kau berikan di malam pertama kita?” Helga mengiyakan. “Jangan lupakan nasib tugas-tugasmu. Tanpa nilai dariku, kau tidak akan bisa melanjutkan kuliahmu.” Setelah itu Hadyan mengecup kening Helga dan tangannya mulai merayap di tubuh Helga.
“Pria paling egois yang pernah kukenal sejauh ini adalah kau, Hadyan!”
“Dan kau wanita paling berani yang sayangnya tidak bisa menolak perintahku." Dengan tersenyum miring, Hadyan bertanya, "Siap bertempur sampai pagi?”
“Aku tidak ikhlas disentuh olehmu! AKU TIDAK SUDI!” jerit Helga sesaat sebelum bibirnya diserang Hadyan.
Terpaksa menurut, mungkin pernyataan yang tepat untuk posisi Helga saat ini maupun beberapa jam ke depan. Tubuhnya sudah berada di bawah kendali sang suami. Mahkota yang dijaga selama dua puluh satu tahun miliknya harus diserahkan pada pria tiga puluhan, sang dosen.
Tak ada rasa bahagia sama sekali, justru Helga begitu marah. Selain nilai tugas yang berada di bawah kendali Hadyan, kini tubuhnya pun harus dirampas oleh pria playboy itu. “Mungkin aku akan jatuh cinta dengan tubuhmu, Helga ... dan mungkin aku tidak akan pernah menceraikanmu, sampai kapan pun,” bisik Hadyan di tengah-tengah mereka memadu kasih.
“Berhenti mengatakan janji-janji bodoh itu! Urusan Ilana saja aku tidak boleh ikut campur,” balas Helga yang langsung melengos saat Hadyan hendak mencium bibirnya. “Jika sampai aku wisuda kalian tetap berhubungan, akulah yang akan menceraikanmu,” batin Helga saat Hadyan memeluk pinggangnya erat-erat.
“Aku bukan pria yang suka asal memberikan janji.”
“Kau pikir aku peduli dengan ocehanmu itu? Aku pun tidak ingin percaya. Rasa percayaku padamu semakin berkurang sejak kau memaksaku untuk menyerahkan tubuhku beberapa menit lalu,” sahut Helga menatap tajam Hadyan. “Menjauhi Ilana saja kau tidak bisa.”
Kegiatan suami istri itu berlangsung cukup lama bagi Helga, namun tidak menurut Hadyan. Pria itu mengerti bahwa tubuh lelah sang istri butuh istirahat, beda dengan dirinya yang masih kuat hingga subuh nanti. Ia membawa Helga masuk ke dalam pelukannya, saat dilihat sepasang mata istri mudanya benar-benar terpejam.
“Belum saatnya untukku melepaskan Ilana,” bisik Hadyan mengencangkan pelukan di pinggang Helga.
Keesokan pagi harinya, Helga tidak melihat sosok sang dosen yang sudah menjadi suaminya. Di atas kasur berukuran besar, hanya dirinya yang terbaring di sana. Sedikit mengerang kesakitan, Helga berusaha duduk sambil membungkus penuh tubuhnya dengan selimut putih tebal. Perempuan berumur dua puluh satu tahun itu mengingat-ingat kembali kejadian semalam saat punggung bersandar pada kepala ranjang.Beberapa detik kemudian memori akan percintaan yang membuatnya kesakitan itu terputar kembali, juga perdebatannya dengan Hadyan. “Sial! Aku tidak percaya kenapa aku bisa ditaklukkan!” Mengacak-acak rambutnya yang sudah tidak rapi, Helga kecewa pada diri sendiri karena sadar kalau semalam kurang mampu menolak sentuhan Hadyan dan sang dosen sukses unboxing dirinya. “Oke ... semalam aku memang berhasil disentuh, tapi tidak akan ada malam-malam berikutnya!” Ia sungguh-sungguh pada ucapannya.Meringis ngilu, Helga pelan-pelan turun dari tempat tidur. Ia tak menyangka kalau malam pertama yang konon
Helga yang sudah turun dari kursi, menoleh ke arah Ilana. Sambil tersenyum lebar, dia mengangguk. “Ya, aku wajib untuk merasa terbiasa, karena aku tahu kalau kalian berdua sebenarnya pasangan yang serasi. Sama-sama mura—ekhm, aku hampir kelepasan.”Ilana tampak marah, dengan tatapan tajam mengarah pada Helga. Sementara Hadyan masih sibuk sarapan, enggan meributkan hal yang baginya sepele. Helga yang melihat perubahan mimik wajah Ilana jelas merasa berhasil membuat Ilana geram padanya. Mengusap sekilas puncak kepala Ivander, Helga menambahkan, “Tidak jadi, ada anakku yang mendengar, dan aku tidak mau kepolosannya terkontaminasi.” Sesudah itu Helga benar-benar pergi ke dapur untuk membuat minuman dengan sepasang tangan di sisi tubuhnya terkepal kuat.Sesampainya di dapur, Sonya menatap Helga dengan perasaan tak enak hati. Helga melewatinya dan menuju lemari penyimpanan alat makan dan minum. Ia mengambil dua gelas, satu gelas besar untuk Ivander, dan yang sa
“Baguslah kalau diusir, berarti tahu etika kalau bertamu pagi-pagi sangat mengganggu,” lirih Helga sebelum menatap Ivander. Baru ingin menambah roti yang sudah teroles selai cokelat agar menjadi satu rangkap, Helga mendengar suara langkah kaki dari belakang.“Jangan salah sangka, aku tidak pernah mengusir tamuku,” ucap seseorang yang kembali bergabung. Lagi-lagi sanggup membuat kedua perempuan di sana tercengang. Meski begitu, Helga cepat-cepat menormalkan ekspresinya. Sementara Sonya segera meminta maaf karena asal bicara dan membereskan makanan sisa milik Ilana juga Hadyan, lalu pamit ke dapur. Helga yang memerhatikan Ivander, membantu mengelap mulut bocah tiga tahun itu karena kotor. Tanpa mengambil tisu, Helga menyeka cokelat di sudut bibir Ivander menggunakan punggung tangannya. Begitu telaten dan tak lupa untuk menyodorkan susu cokelat pada putra sambungnya.“Ilana terpaksa pergi karena mendadak ada pekerjaan. Jadi, satu minggu ini kau tid
“Entahlah,” jawab Helga seadanya. Masih melirik Nafa, dia bertanya, “Kamu tidak lihat aku sedang sibuk?”“Ya, aku lihat.” Nafa melirik sekilas ke layar laptop, lalu memandangi si pemilik laptop. “Omong-omong, Hel ... kenapa pak Hadyan hanya memberi tugas puisi untukmu? Lagi pula, dua bulan lalu kita sudah mendapat tugas itu.”“Hem. Aku tidak tahu.” “Segala tugas yang berkaitan tentang puisi sudah diselesaikan dari bulan lalu, 'kan? Pasti ada yang tidak beres dengan pak Hadyan.”Helga lagi-lagi membalas sesingkat mungkin. Ia sendiri menebak-nebak kalau apa yang dilakukan Hadyan itu hanya untuk mengerjainya saja. Bagaimana tidak? Dari sekian banyaknya mahasiswa di kelas, hanya dirinya yang diminta untuk membuat puisi. “Memang cari masalah,” batin Helga sambil membuka botol berisi air mineral. Sebelum merevisi laporannya yang kurang sempurna di mata sang dosen playboy, tubuhnya harus terhidrasi.“Tema puisinya romantis ...,” lirih Nafa. Tan
Sore harinya di saat jam sudah menunjukkan pukul tiga lebih, Helga yang berjalan di tengah-tengah kedua temannya merasa cukup resah. Bukan tanpa alasan, itu terjadi karena pesan dari Hadyan yang meminta dirinya untuk datang ke ruangan sang suami. Ditambah resah lagi saat Nafa mengatakan, “Aku pulang, Hel. Bersiaplah untuk pasang telinga.”“Semoga tugasmu sudah benar di mata kesayanganku,” sahut Emma menambahkan. Kali ini ucapan Emma membuat hatinya merasa sedikit aneh. Ada ketidaksukaan kala mendengar kata ‘kesayangan’ meluncur dari bibir sahabatnya. “Apakah perlu aku temani?”“Kau mau menemaniku menemui Pak Hadyan?”“Mau,” jawab perempuan berkemeja merah itu cepat. “Sangat mau!” Nafa yang mendengar balasan Emma itu menggeleng dan tertawa. “Kamu selalu suka kalau bertemu pak Hadyan.” Nafa melipat tangannya dan menambahkan, “Kalau aku sudah tidak terlalu mengidolakan begitu tahu dia ternyata milik orang.”“Boleh kalau ditawari jadi yang k
Mengarahkan pandangan mata pada istrinya sejenak, lalu menatap tajam Sonya. Hadyan menghembuskan napas sebelum kembali membuka mulut. “Siapkan makan malam,” titahnya. Asisten rumah tangga sekaligus suster Ivander yang sudah keluar dari air dan berdiri di pinggir kolam itu tak menolak. “Pergilah sekarang!”“Baik, Tuan. Maafkan saya karena lancang, Tuan. Saya permisi,” jawab Sonya sebelum hilang dari pandangan Hadyan dan Helga.Helga yang memerhatikan Hadyan sampai mengabaikan Ivander yang sudah menepuk-nepuk kakinya di dalam air. “Ah ... Mama sampai lupa, ini susunya.” Tangan kanan menyodorkan gelas, sedangkan tangan lainnya memegangi tangan Ivander karena bocah itu berpegangan padanya.Hadyan yang sedari tadi mengamati pasangannya, menarik sudut bibir ke atas. Membebaskan kancing satu-persatu, melepas kemeja abu-abu itu dari tubuh gagahnya yang cukup memanggil mata Helga. Terbukti, Helga hampir membuka mulut saat melihat perut berpetak
Tanpa bersuara, Helga meninggalkan sang suami yang pikirannya sering tidak jernih. Daripada meladeni dan ikut tercemar, Helga memilih cepat-cepat menjauh. Terlebih-lebih dia juga harus membersihkan badan, takut jika Hadyan memiliki rencana gila saat mereka masuk kamar bersamaan.Ternyata tebakan Helga sungguh tepat tak meleset, suaminya berlari menyusul dari belakang. Demi tidak satu kamar mandi bersama Hadyan, Helga mengabaikan rasa sakit di bagian bawah perutnya. Ia melewati tangga dengan lari lebih kencang. Sampai lebih dulu di kamar, Helga langsung masuk kamar mandi dan menguncinya cepat-cepat. "Kau tahu jika aku ingin mandi bersamamu?!" teriak Hadyan dari luar yang tak disahuti. "Aku tunggu nanti malam," lanjutnya yang berada di walk in closet, berdiri di balik pintu penengah kamar mandi dan ruangan itu."Kau, Hadyan! Benar-benar!" Helga menggeram karena kesal, sekaligus dibuat merinding setelah mendengar kalimat terakhir sang suami playboy
“Aku tidak tahu.”Baik Helga maupun Hans terbengong mendengar jawaban Hadyan. Tak disangka oleh keduanya bahwa seorang Hadyan memberi jawaban yang tidak pasti atau ragu-ragu. Baru kali ini Hans mendengar pengakuan bodoh putranya, dan Helga sama terkejutnya karena menerima jawaban aneh dari sang dosen.Tangan Helga terulur ke arah gelas berisi air mineral. “Aku pikir kau dosen terbaik di kampus, ternya kebalikannya ...,” lirih perempuan itu yang sama sekali enggan melirik. Helga memilih untuk menarik singkat sudut bibir, hingga membentuk sebuah senyum ejekan.“Kau? Tidak tahu?” Kepala Hadyan terangguk-angguk. “Aku tidak pernah percaya ilmu hitam, tapi mendengar jawabanmu ... sepertinya kau sedang diguna-guna,” sambung Hans yang sontak membuat Helga tersedak oleh camilan.Helga sampai terbatuk-batuk dan membungkuk. Sampai dibantu oleh sang suami yang memukul pelan punggungnya. Hadyan juga meminta, “Bangun!” Tangan lelaki itu juga menarik Helga agar