“Entahlah,” jawab Helga seadanya. Masih melirik Nafa, dia bertanya, “Kamu tidak lihat aku sedang sibuk?”
“Ya, aku lihat.” Nafa melirik sekilas ke layar laptop, lalu memandangi si pemilik laptop. “Omong-omong, Hel ... kenapa pak Hadyan hanya memberi tugas puisi untukmu? Lagi pula, dua bulan lalu kita sudah mendapat tugas itu.”“Hem. Aku tidak tahu.”“Segala tugas yang berkaitan tentang puisi sudah diselesaikan dari bulan lalu, 'kan? Pasti ada yang tidak beres dengan pak Hadyan.”Helga lagi-lagi membalas sesingkat mungkin. Ia sendiri menebak-nebak kalau apa yang dilakukan Hadyan itu hanya untuk mengerjainya saja. Bagaimana tidak? Dari sekian banyaknya mahasiswa di kelas, hanya dirinya yang diminta untuk membuat puisi. “Memang cari masalah,” batin Helga sambil membuka botol berisi air mineral. Sebelum merevisi laporannya yang kurang sempurna di mata sang dosen playboy, tubuhnya harus terhidrasi.“Tema puisinya romantis ...,” lirih Nafa. TanSore harinya di saat jam sudah menunjukkan pukul tiga lebih, Helga yang berjalan di tengah-tengah kedua temannya merasa cukup resah. Bukan tanpa alasan, itu terjadi karena pesan dari Hadyan yang meminta dirinya untuk datang ke ruangan sang suami. Ditambah resah lagi saat Nafa mengatakan, “Aku pulang, Hel. Bersiaplah untuk pasang telinga.”“Semoga tugasmu sudah benar di mata kesayanganku,” sahut Emma menambahkan. Kali ini ucapan Emma membuat hatinya merasa sedikit aneh. Ada ketidaksukaan kala mendengar kata ‘kesayangan’ meluncur dari bibir sahabatnya. “Apakah perlu aku temani?”“Kau mau menemaniku menemui Pak Hadyan?”“Mau,” jawab perempuan berkemeja merah itu cepat. “Sangat mau!” Nafa yang mendengar balasan Emma itu menggeleng dan tertawa. “Kamu selalu suka kalau bertemu pak Hadyan.” Nafa melipat tangannya dan menambahkan, “Kalau aku sudah tidak terlalu mengidolakan begitu tahu dia ternyata milik orang.”“Boleh kalau ditawari jadi yang k
Mengarahkan pandangan mata pada istrinya sejenak, lalu menatap tajam Sonya. Hadyan menghembuskan napas sebelum kembali membuka mulut. “Siapkan makan malam,” titahnya. Asisten rumah tangga sekaligus suster Ivander yang sudah keluar dari air dan berdiri di pinggir kolam itu tak menolak. “Pergilah sekarang!”“Baik, Tuan. Maafkan saya karena lancang, Tuan. Saya permisi,” jawab Sonya sebelum hilang dari pandangan Hadyan dan Helga.Helga yang memerhatikan Hadyan sampai mengabaikan Ivander yang sudah menepuk-nepuk kakinya di dalam air. “Ah ... Mama sampai lupa, ini susunya.” Tangan kanan menyodorkan gelas, sedangkan tangan lainnya memegangi tangan Ivander karena bocah itu berpegangan padanya.Hadyan yang sedari tadi mengamati pasangannya, menarik sudut bibir ke atas. Membebaskan kancing satu-persatu, melepas kemeja abu-abu itu dari tubuh gagahnya yang cukup memanggil mata Helga. Terbukti, Helga hampir membuka mulut saat melihat perut berpetak
Tanpa bersuara, Helga meninggalkan sang suami yang pikirannya sering tidak jernih. Daripada meladeni dan ikut tercemar, Helga memilih cepat-cepat menjauh. Terlebih-lebih dia juga harus membersihkan badan, takut jika Hadyan memiliki rencana gila saat mereka masuk kamar bersamaan.Ternyata tebakan Helga sungguh tepat tak meleset, suaminya berlari menyusul dari belakang. Demi tidak satu kamar mandi bersama Hadyan, Helga mengabaikan rasa sakit di bagian bawah perutnya. Ia melewati tangga dengan lari lebih kencang. Sampai lebih dulu di kamar, Helga langsung masuk kamar mandi dan menguncinya cepat-cepat. "Kau tahu jika aku ingin mandi bersamamu?!" teriak Hadyan dari luar yang tak disahuti. "Aku tunggu nanti malam," lanjutnya yang berada di walk in closet, berdiri di balik pintu penengah kamar mandi dan ruangan itu."Kau, Hadyan! Benar-benar!" Helga menggeram karena kesal, sekaligus dibuat merinding setelah mendengar kalimat terakhir sang suami playboy
“Aku tidak tahu.”Baik Helga maupun Hans terbengong mendengar jawaban Hadyan. Tak disangka oleh keduanya bahwa seorang Hadyan memberi jawaban yang tidak pasti atau ragu-ragu. Baru kali ini Hans mendengar pengakuan bodoh putranya, dan Helga sama terkejutnya karena menerima jawaban aneh dari sang dosen.Tangan Helga terulur ke arah gelas berisi air mineral. “Aku pikir kau dosen terbaik di kampus, ternya kebalikannya ...,” lirih perempuan itu yang sama sekali enggan melirik. Helga memilih untuk menarik singkat sudut bibir, hingga membentuk sebuah senyum ejekan.“Kau? Tidak tahu?” Kepala Hadyan terangguk-angguk. “Aku tidak pernah percaya ilmu hitam, tapi mendengar jawabanmu ... sepertinya kau sedang diguna-guna,” sambung Hans yang sontak membuat Helga tersedak oleh camilan.Helga sampai terbatuk-batuk dan membungkuk. Sampai dibantu oleh sang suami yang memukul pelan punggungnya. Hadyan juga meminta, “Bangun!” Tangan lelaki itu juga menarik Helga agar
"Tidak!" sembur Helga mengelak. Hadyan memainkan jari-jari di perut istri mudanya. Dua jarinya berjalan naik-turun di sekitar perut sambil menyunggingkan senyum. "Jika tidak takut, maka seharusnya ... kau siap menyerahkan hakku saat ini juga." Helga menelan ludahnya saat jemari Hadyan yang semula berada di luar gaun tidur abu-abunya, kini merangkak masuk. Menyentuh kulit perut rata Helga, lelaki itu berbisik, "Buktikan bahwa kau tidak akan mencintaiku lebih dulu, walaupun kita melakukan hubungan suami-istri ...." Membuat kuping wanita muda itu kegelian sekaligus merasa panas."Kenapa kau terus yang memberi tantangan? Enak sekali!" Helga dengan berani menahan jari suaminya yang sudah merayap semakin jauh ke perut bagian teratas. "Sudah dipaksa jadi istri yang disembunyikan, sekarang aku harus berbakti sebagai istri penurut untuk dijadikan tempat pelampiasan nafsumu?!" Disingkirkannya tangan Hadyan dari dalam baju tidurnya. "Tahan saja!"
“Jadi aku mengganggumu, ya?”Helga sengaja tak kabur, ia memilih untuk tetap tenang. Dirinya tahu kalau semisal melarikan diri sekarang, Hadyan pasti senang dan mengira bahwa dia cemburu. Untuk itu Helga memilih bertahan di samping Hadyan sembari mendengarkan perbincangan mereka.“Tidak terlalu mengganggu, hanya saja aku belum sarapan.”“Ya sudah, beberapa jam lagi hubungi aku, Honey! Aku ingin menunjukkan gaun tidur terbaru dan lebih seksi dari yang aku tunjukkan kemarin,” jelas Ilana yang kali ini mampu membuat telinga dan hati Helga merasa panas. Detik itu juga Hadyan menatap istrinya yang tampak menahan marah.“Ya.”“Atau kamu mau aku menunjukkannya sekarang, Honey?” Hadyan belum menjawab, ia ingin melihat reaksi Helga lebih dulu, karena istrinya itu masih tak bersuara walaupun mukanya lebih terkejut dari sebelumnya. “Kita ubah jadi panggilan video saja, Hadyan?”Pertanyaan kedua Ilana itulah yang membuat Helga tak tahan untu
Helga sebisa mungkin menjaga kestabilan jantungnya saat mendengar pertanyaan dari Emma. Wanita itu berusaha memberikan senyum lembut, lalu mendadak tertawa kecil. “Aku? Aku punya kekasih?” Helga tertawa lagi sebelum geleng-geleng kepala. “Kata siapa?”“Baru saja aku mendengar dari mulutmu kalau seseorang memanggilmu dengan panggilan ‘Baby’ dan wajahmu terlihat kesal.”Gelengan kepala ditunjukkan Helga lagi sambil terkekeh-kekeh. Menatap wajah teman baiknya, Helga merangkul pundak. “Dia cuma teman biasa, makanya aku kesal saat dia memanggilku begitu.”“Yakin cuma teman?” Helga mengangguk-angguk. “Padahal kalau kau punya kekasih aku akan mendukungmu! Kapan lagi sahabatku ini berhenti pacaran dengan buku,” balas Emma seraya tertawa. “Huh, tapi sayangnya tidak. Kau masih ingin terus berlajar dan belajar.”“Ya, karena bagiku pendidikan sangat penting.” Tentunya Helga tidak akan membeberkan kebenaran bahwa dirinya sudah menikah dengan Hadyan.
Helga sudah tidak peduli lagi dengan ajakkan Hadyan yang memintanya tidur di kamar mereka. Dia benar-benar merasa harga dirinya sebagai istri sudah terinjak. Terlebih lagi Helga tahu kalau pemberitaan pernikahan harmonis sang suami dengan mantan istrinya adalah perbuatan suaminya sendiri dan tentu diputuskan oleh Hans. Sebelum memutuskan untuk berbaring di samping Ivander, Helga menceritakan pada Adi bahwa dalang dari artikel mengenai pernikahan harmonis suaminya dengan Ilana adalah Hadyan juga Hans. Akan tetapi, malam itu Adi hanya mengatakan, “Tidak ada yang bisa kamu lakukan selain tunduk sebagai istri Gavi dan menantu dari Hans, Helga.” Ya, tidak ada yang membela dirinya, dan Helga merasa sakit hati karena sang kakek juga tidak berpihak padanya. “Karena uang mereka berhak berperilaku semena-mena?” Memeluk erat tubuh Ivander, Helga semakin mengerti bahwa uang juga menghancurkan hubungan orang tua dengan anaknya. “Sampai tega menyakiti perasaan o