Elang tiba lebih awal di pengadilan. Setelah mengonfirmasi kehadiran pada petugas, Elang duduk di kursi tunggu yang sudah disediakan. Orang berlalu-lalang pun banyak. Bola matanya bergerak ke sana-kemari memperhatikan begitu banyak orang di tempat seperti ini.
Ada yang membawa anak kecil, orang tuanya, mungkin temannya, dan juga ada yang membawa bayi. Sungguh kasihan anak sekecil itu sudah merasakan panasnya udara persidangan.
Elang masih mencari keberadaan Huri dan ibunya. Sambil mengunyah potongan buah mangga yang ia bawa dari rumah, mata Elang tidak berkedip memantau gerbang masuk pengadilan.
"Masih pagi sudah makan mangga, Mas, perutnya gak sakit?" tanya seorang ibu yang baru saja duduk di sampingnya.
"Iya, Bu, saya tidak bisa makan apapun, rasanya eneg. Malah makan mangga seperti ini baru tidak mual," jawab Elang sambil memegang perutnya. Si Ibu tersenyum hangat, lalu berkata, "istrinya sedang hamil y
Elang memilih langsung pulang ke rumah karena merasa demam dan sakit kepalanya semakin berat. Dengan mengendarai motornya, lelaki itu sempat berhenti tiba-tiba beberapa kali karena pandangannya yang samar menatap jalan raya yang hari ini sangat ramai. Jika bisa berteriak, ia ingin sekali langsung ada yang menggotongnya untuk berbaring di ranjang. Namun tidak mungkin, dengan sisa tenaga ia mengendari motor dengan sangat pelan, hingga berhasil sampai di rumah dengan selamat.Kiya yang sedang memasak di dapur, langsung meninggalkan aktifitasnya untuk menghampiri suaminya yang pulang lebih awal. Diraihnya kerudung yang ia gantung di punggung kursi, lalu ia pakai asal. Pintu depan ia kunci tadi, sehingga suara ketukan dari suaminya membuat Kiya bergegas mencari kunci rumah yang tiba-tiba saja lupa di mana ia taruh.TokTok"Assalamualaikum, Kiya ... cepat buka pintunya," seru Elang dengan suara lemas di seberang sana.
"Bagaimana, Bu?" Bu Rima menatap nanar layar monitor USG. Matanya yang mulai berkaca-kaca mengerjap beberapa kali. Ia akan menjadi seorang nenek sebentar lagi. Bukan hanya ada satu, tapi kembar."Ma," panggil Huri dengan suara tercekat. Gadis itu menggeleng keras, sama seperti air mata yang mengalir juga dengan derasnya. Bu Rima tersenyum hangat, lalu mengusap rambut panjang Huri yang berkeringat."Mama akan menemanimu membesarkan mereka," ujar Bu Rima akhirnya. Dokter kandungan dan juga perawat ikut terharu dengan keadaan di depan mereka saat ini. Wanita yang cantik dan terlihat dari kalangan mampu, tetapi nampak tidak bahagia dan penuh kesedihan."Baiklah, saya akan berikan vitamin terbaik agar keduanya tumbuh sehat dan lincah di dalam sana ya." Dokter itu kembali tersenyum hangat pada Bu Rima dan juga Huri. Ia menuliskan resep yang harus ditebus dan meminta Huri berkunjung kembali ke rumah sakit bulan depan.
Kiya diturunkan Bu Nani tepat di depan kontrakannya. Di tangan Kiya sudah memegang erat kantung plastik bening yang berisi dua botol air mineral yang sudah dibacakan doa serta disembur oleh Mbah Rep. Sebenarnya Kiya sedikit jijik dengan tercampurnya air liur ke dalam botol minuman untuk suaminya, tetapi mau bagaimana lagi, semua ini demi kesembuhan Elang."Terima kasih, Bu Nani. Semoga cocok ya," ujar Kiya sambil membungkukkan sedikit tubuhnya sebagai tanda terima kasih."Aamiin. Semoga Mas Elang cepat sehat lagi ya." Bu Nani pun ikut tersenyum, lalu segera meluncur meninggalkan rumah Kiya.Kiya memutar kunci rumah yang memang ia bawa. Elang pasti tidur sepanjang hari seperti orang pingsan sehingga suaminya itu takkan sadar jika ia keluar dan pintu ia kunci dari luar."Assalamualaikum," seru Kiya saat kaki kanannya masuk ke dalam rumah. Tidak ada sahutan, Kiya kembali mengunci pintu, lalu meletakkan bungku
Bu Rima mempercepat langkah kakinya begitu memasuki lorong rumah sakit. Tujuan pertamanya adalah resepsionis untuk menanyakan perihal pasien rawat inap yang tidak lain adalah Elang. Mantan menantunya. Yah, hakim sudah mengetuk palu bahwa secara agama dan negara, Elang sudah menjadi mantan menantunya. Walau sertifikat mungkin baru keluar dua bulan lagi.Lalu untuk apa dia ke sini? Untuk apa menjenguk Elang? Salah satu sudut hatinya menegur dirinya sendiri. Bu Rima berusaha meneguhkan hatinya bahwa yang dilakukannya saat ini atas dasar kemanusiaan. Apalagi dia sempat dekat dengan Bu Latifah mantan besannya. Jadi anggap saja saat ini ia tengah mengunjungi salah satu anak temannya.Kini Bu Rima sudah berdiri di depan pintu ruang perawatan kelas tiga, sesuai dengan petunjuk petugas di lobi depan tadi. Bu Rima mengatur napas sebelum tangannya yang sudah memegang kenop pintu, mendorong daun pintu itu agar segera terbuka.
Bu Rima mempercepat langkah kakinya begitu memasuki lorong rumah sakit. Tujuan pertamanya adalah resepsionis untuk menanyakan perihal pasien rawat inap yang tidak lain adalah Elang. Mantan menantunya. Yah, hakim sudah mengetuk palu bahwa secara agama dan negara, Elang sudah menjadi mantan menantunya. Walau sertifikat mungkin baru keluar dua bulan lagi.Lalu untuk apa dia ke sini? Untuk apa menjenguk Elang? Salah satu sudut hatinya menegur dirinya sendiri. Bu Rima berusaha meneguhkan hatinya bahwa yang dilakukannya saat ini atas dasar kemanusiaan. Apalagi dia sempat dekat dengan Bu Latifah mantan besannya. Jadi anggap saja saat ini ia tengah mengunjungi salah satu anak temannya.Kini Bu Rima sudah berdiri di depan pintu ruang perawatan kelas tiga, sesuai dengan petunjuk petugas di lobi depan tadi. Bu Rima mengatur napas sebelum tangannya yang sudah memegang kenop pintu, mendorong daun pintu itu agar segera terbuka.
Dua Istri 30Kiya pulang ke rumah dengan perasaan hancur. Ia begitu patah hati setelah mendengar pengakuan suaminya yang sangat mengejutkan. Selama ini ia mengira bahwa hanya dirinyalah yang bertahta di hati Elang, tanpa tergantikan, tetapi ia salah. Huri telah mencuri suaminya, bukan hanya raganya tapi juga hatinya.Satu dua orang tetangga yang menyapanya tidak ia hiraukan. Kiya langsung masuk rumah dengan derai air mata, lalu mengunci pintu. Tangisan pilu ia tumpahkan di atas bantal. Ingin rasanya menjerit, tetapi ia menekan bibirnya dengan guling agar tangisannya tidak terdengar tetangga. Terlalu lelah menangis, Kiya pun tertidur hingga pagi.Bu Latifah masih setia menunggui Elang. Sehabis sarapan bubur ayam, ia mengupaskan buah jeruk untuk Elang. Dokter baru saja melakukan visit dan mengatakan bahwa kondisi Elang sudah cukup baik dan bisa untuk dibawa pulang. Tidak ada obat yang diberi, hany
Berbulan-bulan sudah berlalu, tetapi Elang masih belum mengetahui kabar Huri. Segala cara dilakukan untuk mencari tahu keberadaan Huri. Bu Latifah mendatangi semua orang yang berhubungan dengan Bu Rima, tetapi tidak membuahkan hasil. Semua orang yang dikunjungi mengatakan tidak tahu apa-apa soal Bu Rima. Ponsel wanita itu pun sudah lama tidak aktif.Walau hubungan Elang dengan Kiya sudah baik, tetapi tetap saja masih ada yang mengganjal di hatinya. Perasaan bersalah itu semakin besar setelah ia tidak bisa menemukan Huri di mana pun. Diantara sibuknya menjalani pekerjaan, Elang sering melamun berharap bisa bertemu dengan Huri. Walau hanya sebentar dan untuk mengucapkan kata maaf saja."Gak bosen melamun Huri terus?" celetuk Kiya sambil menaruh pisang rebus di atas meja. Di luar hujan turun dengan deras. Udara dingin menerpa kulit. Menikmati sepiring pisang rebus tentulah sangat pas dan juga nikmat. Elang tidak menyahut celetukan Kiya. Tanga
“Huri, kamu … ini ….” Elang tidak tahu harus berkata apa lagi saat melihat mantan istri keduanya tengah tersenyum begitu hangat padanya dengan perut sangat besar. Kedua tangan Elang meremas rambutnya kasar, sambil berusaha menahan rona bahagianya. Tidak, ia benar-benar menjadi lelaki paling bahagia di dunia dan dia harus memperlihatkannya pada semua orang.“Apa Abang tidak ingin menyentuh mereka?” tanya Huri dengan perasaan sama bahagianya. Alis Elang bertaut. “Mereka?” gumam Elang sangat pelan. Huri menaikkan jari telunjuk dan jari tengahnya menunjukkan angka dua. Elang kembali ternganga tidak percaya. Lelaki itu menutup mulutnya untuk menahan tangis yang hampir saja pecah.“Di d-dalam sana apakah kembar?” tanya Elang gugup; memastikan bahwa Huri sedang tidak main-main dengan ucapannya. Namun Huri kembali mengangguk masih dengan senyuman yang teramat manis. Elang tak sanggu