Huri masih terbaring lemas di brangkar rumah sakit. Tatapannya lurus memperhatikan Elang yang tengah mengazankan kedua anak kembar mereka. Suara lelaki itu begitu merdu dan sangat fasih sehingga memberi rasa tenang dan haru di dadanya Huri yang mendengarnya.
Setetes air mata kembali membasahi pipinya. Peristiwa seperti ini persis seperti yang dia inginkan. Walau harus nekat menyusul sendiri Elang ke Jakarta, tetapi kedatangannya tidak sia-sia. Seakan bayi kembar mereka memang ingin lahir di dekat ayahnya.
"Hati-hati, Bang," seru Huri sedikit khawatir karena Elang menggendong dua buah hati mereka dengan kedua tangan. Elang memang gugup dan begitu kaku, tetapi karena hatinya yang terlalu gembira, sehingga menggendong dua bayi super mungil dengan berat masing-masing dua kilo dua ons saja, tentu bukanlah hal yang sulit.
"Ini gendong mereka," kata Elang sembari membantu Huri untuk duduk, lalu memberikan salah satu dari kembar k
"Kek, turun! Biar saya yang bawa deh! Duh, ke mana si Udin pangkalan? Yang ada malah kakeknya yang lagi ngetem," omel Bu Latifah dengan tak sabar. Kakek Udin turun dari kemudian, lalu pindah ke belakang. Pria tua itu duduk mengangkang sambil berpegangan erat pada pinggang Bu Latifah."Jangan kekencengan, Kek. Gak bakalan Kakek kejengkang. Makanya kalau udah tua itu inget umur. Segala pake ngojek. Udah aja di rumah ikut pengajian, banyakin amal karena udah dekat waktunya. Ini malah jadi nyusahin saya. Jadi saya yang bawa motornya." Bu Latifah masih mengoceh panjang lebar sambil mengendarai motor Kek Udin dengan begitu semangat.Polisi rebahan, ia tabrak. Tikungan tajam, ia pun ikut miring bagaikan pembalap. Lampu merah hampir saja diterobos karena ingin buru-buru sampai di rumah sakit. Jilbab yang dipakainya berkibar menerpa wajah Ke Udin yang tengah memucat di belakang sana. Kakek tua itu berpegangan sangat erat
Bu Rima memandang putrinya dan juga Elang secara bergantian. Wajah bahagianya memang tidak bisa ditutupi karena hadirnya cucu kembar yang pasti menambah semarak di dalam rumahnya nanti. Namun ia juga tidak bisa menyembunyikan raut kesal dan kecewa pada Huri, karena sudah nekat berkendara malam hari dari Bandung ke Jakarta hanya untuk menjumpai Elang."Bersyukurlah kamu tidak apa-apa di jalan? Bagaimana kalau sampai kamu kontraksi di tol dan kecelakaan? Mama kecewa dengan kalian berdua. Elang, kamu jika memang tidak bisa membahagiakan Huri, tolong lepaskan anak saya dan kamu Huri, harusnya tahu diri, bahwa Elang itu milik Kiya. Walau kini kalian punya anak, tetap saja Elang tidak bis menjadi milikmu. Mama tidak tahu akan datang kejadian buruk apalagi nanti jika Kita tahu hal ini. Bukannya Mama tidak suka Elang. Mama tidak suka dengan istri pertamanya. Kecuali, Elang mau menceraikan Kiya? Bagaimana?" Elang terdiam. Begitu pun Huri yang menunduk sam
Elang tidak bisa memejamkan mata semalaman. Pikirannya melayang pada pertengkaran dengan Kiya yang disaksikan begitu banyak orang. Rasa marah dan malu bercampur jadi satu, sehingga membuat Elang memutuskan untuk benar-benar pergi dari rumahnya bersama Kiya. Elang memilih pergi ke kontrakan ibunya—memberi ruang berpikir pada Kiya yang sudah terlewat batas. Mata panda Elang tidak bisa ditutupi dari ibunya. Bu Latifah menghidangkan sarapan bubur kacang hijau yang ia masak pagi sekali, karena Elang akan pergi mengintai rumah sakit.“Lu gak tidur semalam ya? Mata lu bengkak banget, Lang. Pipi lu juga masih bengkak. Tngan Kiya terbuat dari tulang dan daging atau dari besi sih? Sampai biru gitu bekasnya.” Bu Latifah sampai membungkuk untuk melihat sejauh mana luka yang diderita anaknya. Elang memalingkan wajah karena malu sekaligus masih amat kesal dengan Kiya.“Istri kamu itu hanya terlal
Kiya pulang ke rumah dengan keadaan hati lebih tenang. Setelah berbincang dengan Jaelani, ia merasa beban di pundaknya mulai berkurang. Sepanjang perjalanan tadi, ia selalu saja memutar kalimat nasihat dari jaelani yang mengatakan bahwa ia harus bersabar atas ujian ini dan mau menerima takdir yang Tuhan gariskan untuknya. Mungkin dia memang butuh teman bicara, sehingga kepalanya tidak selalu mendidih bila mengingat suaminya yang juga mencintai wanita lain dan sekarang malah memiliki anak dari wanita itu. tidak, ia tidak mau kehilangan suaminya.TingSuara ponsel berdenting, tanda ada pesan masuk. Kiya bergegas membuka kerudungnya, lalu mengambil ponsel dari dalam tas selempang miliknya.Mak LaniBegitu kontak yang ia simpan atas nama Jaelani. Tentu saja ia harus menyamarkannya bukan? Sama saja bunuh diri, jika ia mencantumkan nama
"Mama." Elang langsung berdiri saat tahu suara di belakangnya adalah suara Bu Rima. Lelaki itu menunduk tanpa berani mengucapkan kalimat apapun. Jujur saat ini hatinya tengah bersorak hore karena ucapan Bu Rima yang telah kembali memberi restunya."Mama terlalu keras pada Huri, padahal Mama sendiri tidak bisa menjaganya dengan baik. Mama harap, kalian bisa kembali bersama dan membina rumah tangga akur sebagaimana pasangan poligami lainnya. Yah, walau memang rasa adil itu pasti sangat jauh untuk dicapai pada dua hati dan dua kepribadian yang berbeda, tetapi Mama akan sangat semakin bersalah, jika membiarkan Huri tertekan dengan sikap Mama." Elang mendengarkan dengan seksama, lalu memberanikan diri untuk menatap wajah Bu Rima. Garis bibirnya tertarik melengkung."Terima kasih, Ma," ujar Elang dengan rasa haru. Elang bahkan mencium punggung tangan wanita paruh baya dengan penuh hikmat."Temani dulu
Elang menunaikan janjinya pada Huri. Malam semakin larut dan jarum jam menunjukkan pukul satu dini hari dan disaat itulah kedua bayi kembarnya mulai mengoceh dan minta diajak bermain. Huri terkekeh geli dari ranjangnya melihat suaminya menggoda dua bayi yang ada di dalam box. Menurut Huri, itu adalah hal percuma, karena Zayyan dan Hanan pasti tidak akan berhenti merengek dan mengoceh sebelum digendong oleh Elang."Bisa-bisa mulut Abang nanti berbusa jika mengoceh terus seperti anaknya. Sudah, hentikan, angkat saja, lalu timang-timang," seru Huri sambil tertawa geli. Elang masih nampak semangat, lelaki itu menggaruk kepalanya yang tidak gatal, lalu berdiri dengan tegak. Bu Latifah sudah tertidur sejak pukul sepuluh dan ibunya itu minta dibangunkan pukul dua dini hari, agar bisa bergantian jaga dengan dirinya."Kamu benar. Mulut Abang terasa kering," kata Elang sambil menuangkan air ke dalam gelas, lalu meminumnya hingga tandas.
Hari ini Huri sudah diperbolehkan keluar dari rumah sakit, setelah menginap perawatan tiga hari. Kondisi payu*ada dan juga psikis Huri sudah jauh lebih baik sejak aja Elang yang berada di sampingnya siang dan malam.Lelaki itu juga ikut mengantar Huri kembali ke apartemen, sebelum ia pergi ke toko. Empat hari libur bekerja dan dia tidak enak hati dengan para pelanggan yang sudah memanggilnya untuk melakukan service AC atau perbaikan alat elektronik lainnya."Abang berangkat ya. Ada ibu dan mama di sini menemani kamu. Kalau kamu capek atau mengantuk, tidur saja. Jangan terlalu dipaksakan. Nanti calon istri cantikku sakit lagi." Elang tertawa mendengar ucapannya yang aneh. Huri pun ikut tertawa, lalu mengangguk patuh."Abang pulang ke sini ya? Masih diboikot Teh Kiya'kan? He he he ... Ada kasur lipat, Abang bisa tidur di depan TV. Kalau ibu tidur di kamar sama mama. Kalau itu dua nenek
Elang memutar balik sepeda motornya untuk menyusul Kiya ke rumah. Ia harus meminta penjelasan pada istrinya itu tentang siapa lelaki yang mengantar Kiya pulang dan darimana saja ia hari ini. Kiya masuk ke dalam rumah dengan kunci rumah pegangannya, namun belum sempat ia tutup dan kunci kembali, Elang mendorong pintu rumah agar bisa masuk.“Kiya, katakan!” Elang menahan lengan istrinya. Kiya berbalik dengan malas sambil memutar bola mata jengah. Ia memandang Elang dengan wajah tidak bersemangat, padahal jauh di dasar hatinya ia pun merindukan suaminya. “Siapa lelaki itu? tidak mungkin pacar kamu. Kamu wanita sudah bersuami dan tidak pantas berjalan dengan pria lain.”“Lalu kamu adalah lelaki yang juga sudah beristri, apakah pantas bagimu untuk bermesraan dengan wanita yang bukan mahrommu? Jangan egois, Bang. Huri bukan lagi istrimu, tapi kamu memperlakukannya dengan sanga