Dia lari dengan tergopoh-gopoh, di belakangnya banyak warga yang mengejar sembari membawa kayu dan alat untuk menghakiminya. Keringat bercucuran serta darah yang mengalir deras di pelipisnya. Sesekali dia menoleh, memastikan bahwa orang-orang yang mengejarnya itu sudah menjauh.Namun, dugaannya itu salah. Mereka semakin mendekat dengan teriakan yang menggema di kala azan magrib mulai berkumandang. Para warga yang mengejarnya itu tampak marah, jelas sekali dari raut wajah mereka yang tidak bisa diajak untuk bicara baik-baik. Kesalahan besar mungkin telah dia lakukan sehingga menjadi target warga untuk dihakimi.“Jangan sampai pria bejat itu lolos! Kita harus segera menangkapnya dan menghukum pria itu agar tidak menjadi contoh bagi yang lain melakukan kejahatan,” teriak salah satu pria berbadan gembul. Dari suaranya saja sudah membuat orang lain yang mendengar sedikit ketakutan. Ada tekanan dan ancaman dari setiap perkataan yang keluar dari mulutnya itu.“Dia pasti bersembunyi di pes
Dalam keheningan malam, Qiana duduk sendirian di ruang tamu. Merenungi apa yang telah terjadi tadi. Ia masih belum bisa berpikir dengan jernih bahwa masalah yang menimpanya saat ini merupakan teguran atas kesalahan yang telah ia lakukan di masa itu. Qiana juga tidak pernah menyalahkan takdir yang dia ubah sendiri karena egonya terlalu tinggi. Saat ini ia hanya bisa pasrah dan berdoa akan apa yang terjadi pada pernikahannya dengan Ates.“Kesalahan yang telah aku perbuat akan aku tanggung sendiri tanpa melibatkan Mas Ates beserta keluarganya. Tapi, aku tidak akan bisa menghadapi umi beserta Uwak nantinya jika tahu apa yang terjadi hari ini. Mereka pasti akan semakin kecewa dan marah padaku, apa lagi kedua orang tua Mas Ates pasti sangat sedih mendengar kejadian tadi.”Qiana terus saja merutuki dirinya yang tidak bisa memaafkan kesalahan Leo. Ia juga tidak menyangka bahwa ketika Leo memeluknya, Qiana merasa sangat bahagia. Rasa rindu yang ia pendam untuk pria itu telah terbayarkan, mes
Isakan tangis atas kepergian Fatimah tak begitu terdengar. Umi dan abi hanya menitikkan air mata saat melihat tubuh Fatimah yang sudah terbaring kaku di ranjang rumah sakit. Tak ada yang perlu ditangisi, meski mereka kehilangan cucu kesayangan dan merupakan satu-satunya di keluarga itu. Umi dan abi harus segera membawa Fatimah pulang, agar besok bisa segera dimakamkan.Ates hanya memiliki satu saudari perempuan, dan itu adalah bundanya Fatimah. Namun, kakak Ates pergi ke Turki mengikuti suami barunya yang merupakan ayah tiri Fatimah. Keluarga suaminya itu tidak ingin jika Fatimah ikut, makanya Ates melarang sang kakak untuk membawanya pergi.Hari ini adalah hari yang dijanjikan untuknya kembali, menemui putri tercinta yang sudah lama dia tinggalkan. Namun, ketika malam itu mendapatkan telepon dari Ates, Zahara langsung memesan tiket dan terbang ke Indonesia.“Mbak Qiana, bolehkah saya melihat jasadnya Fatimah?” Qiana yang sedang menyambut para pelayat itu pun tertegun melihat Ustaz
“Jangan mencoba untuk menghentikanku, Umi! Biarkan aku melakukan apa pun yang membuat rasa sakit akibat pengkhianatan ini hilang. Penderitaan ini tidak akan pernah berakhir hanya dengan mengirimku ke pesantren. Aku tidak mau hidup seperti ini, aku mau dia Umi.”Wanita itu berteriak dengan histeris sembari memegang sebilah pisau untuk mengancam keluarganya agar tidak menghalangi niatnya untuk melakukan aksi bunuh diri. Wanita dengan gaun putih bak pengantin itu tampak frustasi akibat calon suaminya tidak hadir pada resepsi pernikahannya.Dia yang sudah terlanjur berbuat dosa sebelum menikah tidak ingin jika kedua orang tuanya yang taat akan agama itu sampai kecewa jika mengetahui dirinya tengah hamil dua minggu. Tentu wanita itu putus asa, menghadapi kenyataan gagal nikah dan bingung harus bagaimana untuk mengatakan kepada keluarganya. Terlebih lagi calon ayah dari anak yang dia kandung lebih memilih untuk pergi dengan wanita lain dari pada menikahinya.“Istighfar, Nak. Saat ini setan
Mereka berlari mendorong bad pasien dengan tergesa-gesa. Seorang gadis cantik berkerudung putih lengkap dengan gaun pernikahan yang dikenakannya tak berhenti menangis. Beberapa orang dari keluarga juga tampak khawatir sekali, begitu pula istri dari pria yang sedang terbaring lemah tak berdaya itu. Qiana sangat menyesali perbuatannya itu yang telah membuat sang Abi kembali jatuh sakit.Saat Qiana mengetahui calon suaminya kabur dari pernikahan, tak mampu membuat Qiana bisa mengendalikan dirinya. Ia yang memiliki jiwa lembut sekaligus temperamen itu kehilangan kendali. Qiana mengamuk dan tanpa sengaja mengatakan semuanya kepada sang umi. Alhasil, Qiana yang tahu abinya sedang berdiskusi dengan keluarga pun tanpa sengaja mendengar pembicaraan itu.Sang Abi tampak syok, mengetahui kebenaran tentang putri kesayangannya itu yang telah berbuat dosa. “Bangun, Abi. Maafkan Qiana,” isak gadis itu tanpa henti.“Sebaiknya kalian tunggu di sini, tidak ada satu pun pihak keluarga yang boleh masuk
Suatu ketika kehidupan dan kematian bertemu satu sama lain, lantas mereka mengobrol. “Kenapa orang-orang itu menyukaimu, tapi membenci aku?” tanya kematian kepada kehidupan. Kehidupan menjawab sambil tersenyum, “Orang-orang menyukaiku karena aku adalah dusta yang indah, sedangkan mereka membencimu karena kamu adalah kebenaran yang menyakitkan.”Qiana termenung di kamarnya saat mengingat percakapan antara kehidupan dan kematian karya penulis terkenal Tere Liye yang waktu itu pernah dia baca. Pemakaman Ustad Risman sudah dilangsungkan satu jam yang lalu dan Qiana serta umi dan yang lainnya kembali ke rumah mereka.“Manusia terlena akan kehidupan yang hanya sementara. Tanpa mereka sadar telah melupakan kenyataan bahwa kehidupan tengah dijalani tidaklah bersifat tetap, suatu saat kita akan kembali kepada-nya. Hanya menunggu waktu untuk mencabut roh dari raganya.” Ates membelai lembut pucuk kepala Qiana. Meski mereka baru kenal dan menikah karena terpaksa, tapi Ates merasa berkewajiban unt
Qiana tak bisa tidur, menatap secarik kertas yang berada di atas amplop biru. Di sebelahnya ada kotak warna biru tua, Qiana sempat membukanya tadi karena penasaran dengan apa isi di dalam kotak itu.“Abi menemukanmu di depan pintu pesantren. Saat itu Abi bertugas untuk mengisi ceramah bulan ramadhan. Wajah polosmu itu tak bisa membuat kami untuk menitipkan bayi mungil itu di panti asuhan. Abi memilih untuk merawat kamu karena sudah lama kami menantikan kehadiran seorang bayi. Mungkin itu cara Allah memberikan kami keturunan, dengan merawatmu seperti anak kami sendiri.”Kalimat yang diucapkan umi tadi masih terngiang-ngiang di telinga Qiana. Betapa tidak bersyukurnya ia karena telah dibesarkan oleh keluarga yang taat pada agama. Memberikannya banyak cinta dan kasih sayang layaknya seorang anak kandung. Tapi, ia malah membuat mereka kecewa dengan segala tindakan dan tingkah lakunya yang tidak pantas mencerminkan seorang anak.“Apa yang telah aku lakukan selama ini? Kenapa tidak bisa men
Seperti yang telah Ates katakan tadi malam, bahwa hari ini dia beserta Qiana akan pindah ke rumah yang berada di samping pesantren. Rumah itu saat ini hanya ditempati oleh kedua orang tua Ates, mengingat rumah tersebut adalah salah satu dari sekian unit rumah yang diberikan kepada setiap pengajar yang rumahnya jauh dari pesantren.Sebenarnya Abi Qiana sudah dari dulu mengajak umi pindah ke rumah di sebelah rumah Ates, tapi umi tidak mau meninggalkan rumah yang menjadi warisan dari kedua orang tuanya. Alhasil, Abi lah yang terpaksa bolak balik dari rumah ke pesantren itu.Ates dan Qiana langsung pergi setelah pamit kepada bibinya, karena sang umi beserta Uwak sedang pergi ke pasar untuk membeli bahan makanan. Mereka akan kembali lagi nanti malam untuk mengambil barang-barang yang Qiana yang diperlukan.“Kita langsung ke alamat ini?” tanya Ates yang fokus mengemudikan mobilnya.“Bisakah kita nanti siang saja ke sana, Mas? Aku mau bertemu dengan umi Mas Ates dulu. Biar bagaimana pun jug