"Ibu Cloudia bilang meski tidak pernah bertemu, tapi dia sangat menyayangi mertuanya."Nic tertegun mengingat jawaban dari pengurus panti yang baru saja dia temui. Nic merasa segala hal tentang Cloud selalu saja positif dan penuh kebaikan. Berbeda dengannya yang dipenuhi nafsu balas dendam dan kebencian."Benarkah dia melakukan itu karena rasa sayang ke mama?" Nic menarik sudut bibir. "Dia bahkan belum pernah bertemu dengan mama, tapi bisa berkata sayang, Pembohong sekali," imbuhnya.Namun, lain di mulut lain di hati. Ada rasa bersalah yang Nic rasakan saat memikirkan kebaikan hati Cloud. Ia merasa selama ini telah keliru, karena malah mabuk-mabukan di hari ulangtahun sang mama.Nic memutuskan kembali ke kantor. Ia lebih memilih menghabiskan waktu duduk di kursi empuknya dari pada harus pulang ke rumah — yang hanya membuatnya memikirkan Cloud dan Kala. Nic sebenarnya juga sedang menunggu keputusan dari Cloud, di curiga apa mungkin Skala dan Rain belum mengatakan hasil pertemuan mereka
“Kala, Kala sedang apa?” Cloud membuka pintu kamar sang putra yang ada di rumah orangtuanya. Anak itu tampak sedang tengkurap di atas ranjang dengan sebuah kertas gambar dan pensil warna di tangan. “Aku sedang menggambar,” jawab Kala. Ia tak menoleh karena terlalu asyik menggoreskan pensil berwarna-warni itu ke kertas. Cloud pun masuk dan duduk di samping putranya. Setelah melalui satu sesi konsultasi dengan psikolog dua hari yang lalu, sekarang Cloud tahu apa yang harus dilakukan untuk menjaga kesehatan mental Kala. Ia diminta fokus untuk menjauhkan Kala dari hal-hal yang membuat anak itu merasa sedih. Selama ini Cloud salah, dia pikir dengan terus bersama Nic akan membuat Kala bahagia. Nyatanya, anak itu tahu apa yang sebenarnya terjadi diantara mereka, lalu memendamnya di dalam hati dan membuat trauma. “Kala, boleh tidak Mama bicara?” Cloud mengusap rambut Kala penuh kasih sayang. Sesuai dengan saran psikolog yang dia temui, dia ingin memberitahu kebenaran tentang apa yang terj
Hati Cloud rasanya sudah mati untuk seorang pria bernama Niklas Danuarta. Cinta yang bertepuk sebelah tangan, perselingkuhan yang menyebabkan wanitanya hamil meski itu hanya sebuah kebohongan, membuatnya memutuskan untuk menghindar dari Nic, meskipun mereka masih berstatus suami istri. Cloud memilih untuk menyelesaikan kontrak pernikahan yang dia buat bersama Nic dari pada mengacaukan perusahaan yang dibangun dan dipertahankan dengan keringat dan darah papa juga kakaknya. Lagi pula dia tak bisa berkutik saat Skala menyodorkan copy-an surat perjanjian yang dibuatnya dengan sadar. Cloud hanya bisa meminta maaf ke papanya dan berjanji tidak akan mengulangi kebodohan seperti itu di masa depan. "Mengulangi kebodohan? Papa juga tidak akan tinggal diam saat kamu mencari suami lagi nanti, Papa tidak mau kecolongan mendapat mantu. Pria yang ingin mendekatimu harus lolos dari ujian yang Papa berikan!”Ucapan tegas Skala itu cukup membuat Cloud takut, meski begitu sepertinya dia juga akan be
“Nina, apa kamu sudah di sana?” Tanya Cloud ke manager putranya. Ia memilih pergi ke sebuah kafe. Cloud bingung karena tidak ingin lagi menunggu dengan menginjakkan kaki di rumah Nic. “Sudah, Kak. Kakak tenang saja! Apa kakak ingin aku mengirim foto Kala, dia sedang syuting dan terlihat ceria.” Cloud menelan ludah, dia tatap ice latte miliknya yang tinggal setengah. “Tidak perlu, aku percaya padamu, tapi apa wanita itu terlihat di studio?” Nina memandang ke sekitar lalu sedikit menjauh. Ia tahu wanita yang dimaksud Cloud pasti Amara. Gadis itu mencari-cari sampai tak sadar Nic sedang melirik ke arahnya. “Tidak, Kak. Tenang saja aku akan terus memantau, aku akan mengabari kakak kalau papanya Kala bertemu dengan wanita ular itu,”ucap Nina. Cloud tersentak kaget, padahal bukan itu maksud dari pertanyaannya. Ia hanya takut jika sampai Kala bertemu dengan Amara yang malah akan membuat anak itu trauma. “Tidak perlu, itu sudah tidak penting lagi buatku, tolong tetap pastikan bagaimana K
Nic menatap foto USG milik Cloud— yang entah bagaimana bisa berada di tangan Kala. Ia meraihnya lalu memandang lekat seolah baru tersadar bahwa keguguran yang dialami Cloud adalah sebuah hal yang nyata. Nic terlarut dalam pikirannya hingga tak sadar banyak pengguna jalan yang terganggu karena laju kendaraannya terhalang mobil milik pria itu. Bunyi klakson bersahutan, membuat Nic buru-buru menyimpan foto itu di dashboard untuk melanjutkan perjalanan. Ia tetap memutuskan pulang ke rumah dan tak menuruti permintaan Kala. “Papa tidak mau ke rumah Mabibi?” “Besok saja, hari ini Papa ingin menghabiskan waktu bersama Kala,”ucap Nic. “Memang kalau di rumah Mabibi tidak bisa menghabiskan waktu bersama?” Pertanyaan kritis Kala membuat Nic susah untuk menjawab. Ia berjongkok di depan putranya lalu mengusap pipi. “Bukan begitu, Papa rindu sekali ke Kala, jadi Papa ingin berduaan saja bersama Kala.” “Lalu apa setelah ini Papa akan berduaan dengan Mama? Papa pasti juga rindu Mama ‘kan?” Nic
"Jangan berpura-pura tidak tahu! Di saat aku kehilangan calon bayiku kamu pasti sedang bahagia karena Amara mengandung anakmu."Meski tak paham dengan maksud ucapan Cloud, tapi Nic memilih diam. Ia tidak ingin menyangkal ataupun bertanya kenapa Cloud bisa berkata seperti ini.Mereka masih saling berhadapan. Rasanya Cloud ingin memaki dan memukuli Nic yang memang benar-benar brengsek. Namun, suara Kala yang beberapa saat lalu sudah masuk ke dalam rumah membuat Cloud lagi-lagi tersadar ada hati yang perlu dia jaga."Papa ayo masuk! Kita sarapan bersama."Kala bahkan menarik pergelangan tangan Nic untuk bergegas mengikutinya. Cloud tak bisa melakukan apa-apa. Mengusir Nic hanya akan membuat Kala bingung dan pasti sedih. Meski sudah tak lagi tinggal bersama, tapi Kala jelas tidak boleh melihat dia dan Nic berselisih. Sama halnya dengan Bianca dan Skala, mereka juga harus menahan rasa kesal di hati, dan membiarkan pria yang sudah menyakiti hati putrinya itu duduk di meja makan bersama mer
Kalimat Skala bagaikan tamparan tak kasat mata untuk Nic. Ia takut, irama jantungnya jauh lebih memburu dibanding tadi. Namun, Nic tak ingin menunjukkan kegelisahan yang menyeruak. Ia hanya menarik sudut bibir dan merespon ucapan Skala dengan senyum dingin."Papa! Ayo berangkat, mama sudah siap."Suara Kala membuat ketegangan yang tercipta di antara keduanya mencair. Nic menoleh Kala sambil memulas senyuman lebar. Di dekat anak itu Cloud tampak menatap dingin padanya. "Ayo, Pa!" Ajak Kala."Kala pamit dulu sama Opa," ucap Cloud. Meski ucapannya ditujukan untuk Kala, tapi tatapan wanita itu tertuju pada Nic.Skala pun mendekat, dia memandangi Cloud dan yakin jika putrinya itu tidak akan mungkin mau kembali ke pelukan Nic.Bahkan saat melihat tangan Cloud masih harus dibantu menggunakan arm sling, Nic sama sekali tidak berinisiatif membantu membawakan tas yang dipegang oleh istrinya itu."Opa aku berangkat dulu," ucap Kala. "Mabibi aku ke sekolah dulu ya," imbuhnya melihat Bianca turun
“Maaf sudah membuat Anda berdua menunggu.” Nic hendak bicara lagi, tapi guru Kala lebih dulu masuk dan menyapa. Wanita yang masih terlihat sangat muda itu meminta Kala masuk ke kelas lebih dulu, setelah itu duduk di depan Nic dan Cloud. Ia mulai menjelaskan masalah apa sampai mereka diminta datang ke sekolah. Ketiganya tak terlalu lama berdiskusi, karena guru Kala tahu kalau Nic dan Cloud pasti sangat sibuk. “Kamu harus berhenti membuat Kala bekerja, aku akan membayar semua kompensasi dari kontrak yang sudah ditandatangani,” ucap Nic yang berjalan di belakang Cloud. Mendengar itu Cloud pun menoleh, tatapannya dingin dan untuk sesaat berhasil membuat Nic kaget. “Bicara sendiri ke Kala! Dia sudah cukup pandai mengambil keputusan. Jika hanya untuk kompensasi kontrak, aku juga bisa membayarnya. Kamu pikir aku miskin?” Cloud berpaling setelah mengucapkan kalimat itu. Inilah sosok dirinya yang hilang lima tahun lalu. Nic tersenyum getir merasa seperti de javu. Melihat Cloud saat ini sep