Brak!
Ayesha yang sedari kemarin dikurung di ruangan gelap dan pengap itu membelalakan mata mendengar ucapan itu.
Jadi, apa dirinya juga akan…?
“Tante Mur, tolong. Aku tidak mau menjual diri,” mohonnya cepat. Ayesha bahkan berlutut di depan kaki wanita itu.
Hanya saja, Murni justru menyentakkan kakinya, hingga tubuh Ayesha terjerembab dan terantuk tembok.
Bugh!
Ayesha dapat merasakan darah mengalir dari hidungnya. Namun, diabaikannya itu semua dan menggelengkan kepala cepat–tak setuju.
“Tante, aku mohon. Aku akan bekerja keras mencari uang tapi tidak dengan cara ini. Aku janji akan melunasi hutang-hutang pamanku. Tolong beri aku kesempatan,” ucapnya kembali memohon pada Murni.
Hal ini membuat salah seorang bawahan yang mengikuti mucikari itu merasa iba.“Mami, dia mimisan. Lebih baik, kita rawat dulu. Lagipula kalau dia kenapa-kenapa kita juga yang rugi.”
Murni lantas memperhatikan kondisi Ayesha. Dengan tatapan dingin, dia pun berkata, “Hari ini, aku akan kasih kesempatan padamu untuk bobok cantik. Tapi, besok kau harus kerja dan menghasilkan uang!”
Tak lama, wanita angkuh itu pun berlalu menyisakan sang bawahan dan Ayesha di sana.
“Sini kubantu,” ucap wanita yang merupakan bawahan Murni itu.
Dipapahnya tubuh Ayesha ke tempat tidur dan dibantunya perempuan itu mengusap darah mimisan yang masih saja terus keluar.
“Terima kasih,” lirih Ayesha menahan isak tangis.
“Kau istirahatlah. Jangan coba kabur lagi. Di tempat ini, banyak algojo Mami Murni. Lebih baik, kau berdoa saja. Gadis baik sepertimu pasti akan selalu dilindungi Tuhanmu.”
Ayesha hanya bisa mengangguk. Namun, hatinya sedikit menghangat karena mengetahui ternyata masih ada yang peduli dirinya. “Nama Kakak, siapa?” tanyanya pada akhirnya.
“Panggil saja aku Lily.” Wanita itu mengenalkan diri, lalu berkata, “aku dulu juga sama sepertimu yang terdesak keadaan. Tapi, aku tak punya nyali kabur sepertimu.”
Kini, Ayesha menatap iba wanita di sampingnya. Dia juga meratapi takdirnya. Apakah memang dia benar-benar harus berakhir di rumah pelacuran, tempat wanita menggadaikan harga dirinya demi uang?
Tanpa disadari, Lily memperhatikan Ayesha seksama.
Perempuan itu bahkan masih mengenakan hijabnya saat masuk tempat ini.
Hati wanita itu miris membayangkan gadis lugu dan suci ini harus juga ternoda oleh nafsu para lelaki hidung belang.
Lily seketika teringat adiknya di kampung halaman.
“Ayesha, aku harus kerja. Ada pelanggan yang menungguku,” tukas Lily dengan senyum getir.
Tak lama, ia pun bangkit meninggalkan Ayesha, hingga perempuan itu kembali sendiri lagi di ruangan yang gelap dan pengap itu.
***
“Kau hanya tinggal menemaninya, mendengarkannya mengobrol, dan jika dia ingin kau melakukan sesuatu, maka lakukanlah!” ujar Murni mengajari Ayesha apa yang harus dilakukannya.
Kebetulan, wanita itu sudah membuat janji dengan seorang pria kaya malam ini, dan Ayesha harus menemaninya.
Namun, Ayesha hanya terdiam karena menahan rasa lapar di perutnya. Memang, Ayesha enggan makan sesuatu yang sudah disuguhkan untuknya di meja. Dia takut ada sesuatu yang dicampurkan di makanan dan minumannya. Obat perangsang, mungkin?
Hanya saja, hal itu dianggap Murni sebagai tindakan membakang.
Diperhatikannya Ayesha yang masih belum mengenakan dress ketat pilihannya.
Dengan sebal, dia menarik jilbab yang masih dikenakan Ayesha. “Sudah aku suruh kau mengganti baju secepatnya, malah bengong terus!” makinya.
“Maaf,” ucap Ayesha lalu mengambil kembali jilbabnya. Tampak sekali, dia sudah tak peduli jika Murni memukulinya atau bahkan membunuhnya sekalipun.
Murni semakin marah. Dia pun berteriak, “Dengar! Kalau kau tidak mau mengganti bajumu, aku akan meminta Bambang dan Rendi yang memaksamu dan menelanjangimu untuk berganti baju!”
Ancaman itu sontak membuat Ayesha menoleh ke arah dua pria tukang pukul yang berbadan besar. Keduanya kini memberi tatapan melecehkan.
“CUKUP!” teriak Ayesha dengan frustasi pada Murni. “Aku akan melakukan apa yang kau mau, tapi dengan pakaianku sendiri.”
“Kalau kau masih menolaknya, lebih baik aku melompat dari jendela ini!” ancamnya balik.
Ayesha segera bangkit dan berlari ke samping jendela, membuka jendela itu.
Murni sontak geleng-geleng kepala karena baru menemui seorang gadis yang sangat keras kepala seperti Ayesha.
Dia menyesal mengapa menerima gadis ini sebagai penebus hutang pamannya.
Menyusahkan saja!
“Mami, biar aku yang membujuknya!”
Lily yang baru datang pun ikut mencoba menenangkan Ayesha.
Melihat itu, Murni pun mengangguk dan menyerahkannya pada Lily.
Bisa darah tinggi kalau dia terus berdebat dengan gadis pembangkang ini.
“Persiapkan dia dengan baik! Aku tidak mau rugi besar kalau sampai dia terus menolak!” ucap Murni, lalu berjalan keluar.
Hanya saja, dia tiba-tiba berhenti di depan dua pria sangar yang sedang berjaga.
“Ingat. Jaga Ayesha sampai ke apartemen tujuan karena dia harus dalam keadaan virgin! Klien kali ini, sangat penting,” ucapnya pada keduanya yang dibalas dengan anggukan patuh.
Murni tersenyum.
Lebih baik, dia membayangkan cuan yang akan diterimanya nanti.
Dari sekian banyak kliennya, baru pria ini yang dengan gila mau mengeluarkan ratusan juta untuk membayar wanita virgin dari tempatnya.
Meski bingung, tapi apa pedulinya, kan?
“Kak Lily, aku harus bagaimana?”Begitu Murni pergi, Ayesha sontak bertanya pada Lily–berharap wanita itu dapat membantunya.Ayesha benar-benar tidak bisa membiarkan kesuciannya terenggut di tempat menjijikan ini.Lily tersenyum lembut. “Kau pakai baju ini dan ikut denganku, ya?”Ia menyerahkan dress merah hati pada Ayesha.“Tidak! Aku ini berhijab, mana bisa aku pakai baju terbuka ini. Aku tidak mau!”“Ayesha, dengar aku. Ini kesempatanmu untuk keluar dari tempat ini.”Lily menoleh ke arah pintu dan memelankan suaranya. Takut Murni atau dua pengawalnya itu mendengar.“Setelah ini, aku akan mengantarmu pergi ke alamat pria itu. Di perjalanan, jika ada yang lengah, kau harus lari secepat mungkin.” Lily berbisik pada Ayesha dan menyerahkan gaun itu.Ayesha menatap Lily bimbang.Apa dia harus menggunakan gaun itu dan berlari di tempat umum?Ironis sekali, hijab inilah yang melindungi harga dirinya dan menjauhkannya dari pasang mata jahat agar tidak bisa melecehkannya. Namun, sekarang di
Tanpa terasa, Ayesha sudah berjalan ke parkiran. Mobil pun sudah dipersiapkan. Bersama Lily dan dua pengawal Murni, mereka bersiap menuju apartemen tujuan. Namun, sebuah mobil mewah tiba-tiba datang. Dan, seorang berjas rapi dan berkaca mata hitam tampak turun dari mobil menghampiri Murni. Mucikari itu sontak menyuruh yang lain ke dalam terlebih dahulu. “Ada apa ya, Tuan?” tanyanya sopan. “Kami akan menjemput langsung nona yang dipesan bos kami,” ucapnya. “Kenapa begitu?” Murni tampak heran. Baru kali ini, ada pembeli seperti ini? Alih-alih menjawab, pria di depannya itu justru bertanya kembali, “Bukankah tuan kami sudah mentransfer uang yang banyak? Dia berjanji akan memberi bonus jika gadis itu bisa memuaskannya.” Kali ini, Murni terbelalak. Dia merasa beruntung mendapatkan pelanggan yang royal sepertinya. Dengan cepat, Murni tersenyum menghampiri pria itu dan mengelus pundaknya. “Baiklah, tuan. Tunggu sebentar. Aku akan briefing dulu anakku itu!” ***** “Kalian semua t
Ayesha tercengang. Tanpa sadar, dia pun mengangguk. Pria itu pun membenarkan posisi duduk keduanya. “Berapa usiamu?” tanya Hilbram menatap wanita itu lekat-lekat. “Dua puluh empat, Tuan!” lirih Ayesha menahan tangis. Hilbram tampak menghela napas. “Kenapa kau berharap aku melepaskanmu?” Ayesha mendongak pada pria itu. Entah mengapa, dia berharap ada rasa belas kasihan padanya. “Pamanku terlilit hutang dan menjadikanku tebusan. Aku ini bukan wanita pelacur. Anda bisa melihatnya bukan?” tukas Ayesha dan yakin pria ini tentu bisa melihat pakaiannya. “Kenapa dengan pakaianmu? Aku bisa membuatmu telanjang sekarang kalau aku mau!” tantang Hilbram balik. “Kalaupun, aku melepaskanmu. Bagaimana dengan uang yang sudah aku keluarkan?” “A-aku berjanji akan menggantinya, tapi tolong lepaskan aku!” balas Ayesha sembari berlutut. Meski dia tentu akan kesulitan untuk mengembalikan uang itu. Tapi demi harga dirinya, dia tidak mau menyerah begitu saja. Hilbram tersenyum miring mendengar pe
Ayesha terdiam. Saat ini, dia tengah duduk di atas tempat tidur setelah dua orang pelayan masuk ke kamar dan meletakan beberapa perlengkapan wanita di sana. Mereka juga menyampaikan bahwa sarapan pagi sudah tersedia. Saat pintu tertutup, barulah Ayesha memeriksa perlengkapan yang dibawa tadi. Hanya saja, dia benar-benar terkejut karena baju ganti yang disediakan merupakan dress panjang berikut jilbabnya. “Baik juga dia memberikan baju ganti yang sopan,” gumamnya dalam hati. Tapi, pikiran Ayesha terusik karena sikap aneh pria itu. Dia sepertinya bukan pria jahat. Buktinya, pria itu membiarkan Ayesha beristirahat dengan baik tanpa menidurinya. Kruk! Perut Ayesha tiba-tiba berbunyi karena lapar. Dilihatnya sarapan yang sudah disediakan dan mulai memakannya. “Terima kasih, Allah.” Senyum manis terlukis di wajahanya. Ayesha tak tahu ada kejutan baru yang disiapkan Hilbram. *** “Duduklah!” Begitu Ayesha selesai sarapan, Hilbram tiba-tiba memanggilnya ke ruangan lain. Anehny
Ayesha menerima surat perjanjian itu gemetar. Dibacanya berkas yang baru disodorkan. Tidak ada yang aneh di sana. Hanya saja, Ayesha tidak bisa menerima kenapa harus ada perjanjian pernikahan? “Saya hanya kurang paham tentang perjanjian ini,” ucap Ayesha, dari nada bicaranya sepertinya mulai memikirkan tawaran itu, “mengapa harus melakukan perjanjian pernikahan?” Hilbram menyender di kursinya. “Keluargaku mendesak agar aku menikah paling tidak tahun ini. Dan aku tidak punya waktu sekedar memikirkan wanita.” “Hidupku hanya tentang mengurus bisnis. Aku tahu kau wanita baik. Aku juga sudah memahami kesusahanmu karena hutang-utang pamanmu itu. Meskipun aku melepasmu, apakah kau yakin pamanmu itu tidak lagi menjualmu untuk hutang-hutang yang lainnya? Setidaknya kita saling menguntungkan dalam hal ini!” jujur Hilbram. Pria itu sadar tidak bisa memanipulasi gadis di hadapannya ini. Lagipula, dengan tahu alasannya, mungkin Ayesha akan mempertimbangkan dengan tenang. Dan benar saja, al
Sebulan yang lalu, tepatnya setelah dari acara hari ulang tahun yayasan pendidikan yang dikelola keluarganya, Hilbram tampak resah dan gelisah. Dia merasa enggan untuk balik secepat ini. Bukan karena acaranya, tapi karena gadis yang tak sengaja dilihatnya di taman. Diusap layar ponselnya dan melihat lagi rekaman gadis yang diambilnya di taman tadi. Sepertinya gadis itu terlalu manis untuk tidak segera didapatkan. “Berhenti!” ujar Hilbram pada supirnya. Rahman yang duduk di samping supir pun terlihat menoleh dan bertanya-tanya. “Ada masalah, Tuan?” tanya Rahman. Hilbram tiba-tiba saja, berjingkat keluar yang membuat pengawal di mobil belakang pun keluar. Rahman juga melakukan hal yang sama. “Tuan Bram, apa yang Anda lakukan?” Rahman bertanya karena sang tuan melepas jasnya lalu melemparnya ke dalam mobil. “Jangan ikuti aku, kalian pulanglah dulu!” tukasnya berlalu. Ketika dua pengawal itu membuntutinya, Hilbram berhenti dan menatap mereka tajam. “Kau tidak dengar tadi?” Mere
“Nanti malam pernikahan akan segera dilaksanakan, saya harap anda mempersiapkan diri dengan baik,” ucap Rahman–menyadarkan Ayesha dari lamunan. Dia kemudian pamit undur menyisakan Ayesha terduduk dan termenung. Dia baru sadar bahwa dalam hitungan jam nanti dia akan segera menjadi istri pria itu. Hatinya menjadi resah dan gelisah. Mengapa tiba-tiba perasaannya menjadi kacau begini dan merasa tidak sanggup melakukan apa yang sudah mereka sepakati semalam? Apakah dia siap menanggung segala resikonya? ****Tanpa disadari, akad selesai dengan lancar tanpa ada pengulangan. Tiba-tiba saja, Hilbram meminta waktu sebentar untuk berbicara dengan pria yang sudah menjadi wali Ayesha. Dia harus memastikan bahwa pria yang tidak berperasaan ini tidak lagi memanfaatkan keadaan gadis yang kini sudah sah menjadi istrinya itu. “Kau sudah mendapatkan yang kau mau, jadi kalau sampai aku mengetahui kau masih mencoba menganggunya lagi, kupastikan hidupmu akan menderita!” ancam Hilbram pada paman A
“Kau belum mengganti bajumu?” ucap pria itu dengan suara yang berat. Hilbram sebenarnya heran karena Ayesha masih dengan kebayanya. Ayesha tidak bergeming. Dia seolah masih belum bisa menerima status barunya saat ini. Mulutnya memang sudah menyepakati perjanjian itu, tapi siapa sangka bahwa hatinya sungguh masih tidak bisa menerima semua ini. “Apa kau mau aku panggilkan Rahman karena kau berubah pikiran?” Hilbram melepas jasnya dan tahu bahwa Ayesha sedih dengan kenyataan hidupnya. Astaga, pria ini! Tidak bisakah dia memberinya sedikit waktu untuk menyiapkan mentalnya? “Baik, Tuan!” ucap Ayesha sedikit bergetar di nada suaranya. Dia bangkit dan berjalan ke kamar mandi. Hilbram hanya menatapnya dengan pandangan rumit. Saat di kamar mandi dan mencari baju ganti di walk in closet, dia hanya menemukan beberapa baju tidur. Momo tadi sudah bilang sementara baju-bajunya yang lain masih dalam pengerjaan dan besok pagi akan di antar dari butik langsung. Namun sepertinya, itu akal-akaln