Momo mengetuk pintu kamar Ayesha dan segera mendapati sang nyonya sudah tampak rapi pagi ini. “Nyonya, cantik sekali!” Pujinya pada Ayesha.“Jangan berlebihan begitu, Momo. Ini karena set baju dan hijab yang aku pakai saja bagus, bukan karena akunya.” Ayesha yang tidak terbiasa mendapat pujian pun justru merendah. “Ah, Nyonya terlalu merendah. Itu baju kalau saya yang pakai pasti sayanya tetap kelihatan buluk!” Momo menertawai dirinya sendiri.Ketika melihat Ayesha tidak ikut menertawai dirinya, Momo segera sadar dan memperbaiki sikapnya. Tidak seharusnya terlalu akrab dengan sang Nyonya meski dia tahu Ayesha wanita yang baik dan humble. “Kenapa, Momo?” Ayesha heran Momo dengan cepat bersikap seperti biasanya.“Maaf, jika Nyonya tidak suka. Saya seharusnya tidak bersikap demikian.”Ayesha tersenyum dan mendekati wanita itu. “Aku tidak keberatan kok, kalau kita ngobrol biasa seperti teman. Akan sangat menjemukan bukan sepanjang hari harus seformal itu.”Dia akan menghabiskan banya
Hilbram menyukai tempat yang bisa menjaga privasinya. Namun pagi ini dia ingin sarapan di luar rumah dan mencari suasana baru karena sekalian ingin menghabiskan sedikit waktu bersama wanita yang kini sudah menjadi istrinya itu.Rahman memilihkan sebuah resto dan kafe yang bernuansa alam, di mana viewnya langsung gunung dan air terjun dari kejauhan yang terlihat mempesona. Cocok sekali untuk pasangan pengantin baru yang seharusnya hari-hari ini dihabiskan untuk berbulan madu.Tempat itu sengaja ditutup untuk umum karena hanya akan melayani seorang pegusaha kaya raya yang ingin sekedar sarapan bersama istrinya.Ketika Ayesha sudah duduk di sana bersama Hilbram dengan sajian menu yang beraneka macam, dia sedikit merasa aneh. Kenapa tempat ini sepi sekali?“Apa yang membuatmu resah?” tanya Hilbram menatap sang istri yang pagi ini terlihat cantik sekali. Udara yang sejuk menambah suasana hatinya menjadi damai.“Tempat ini b
Di luar hujan deras dan mereka memutuskan untuk menyewa Vila. Keduanya duduk di pinggir jendela menikmati teh hangat dan camilan yang disuguhkan pengelola vila. Sambil berbincang-bincang kecil menunggu hujan reda. Sebenarnya dalam hati Hilbram berharap hujan akan turun sepanjang hari agar dia bisa menikmati momen berdua yang romantis ini. Meski saat ini hanya bisa mengobrol saja. Menunggu waktu yang tepat untuk melakukan apa yang seharusnya dua insan yang sudah menikah lakukan. Dingin-dingin seperti ini, pemikiran pria yang sudah beristri pastilah ke arah sana. “Kau tinggal bersama siapa saja di rumahmu?” tanya Hilbram. Sebenarnya Hilbram sudah tahu karena meminta Rahman menyelidiki tentang gadis ini. Namun pertanyaan itu harus diutarakannya agar Ayesha menganggap Hilbram peduli untuk bertanya tentang keluarganya. “Aku tinggal sendiri. Ibuku meninggal ketika aku baru lulus SMA. Ayahku sudah lebih dulu meningggal
Mata yang terpejam itu perlahan terbuka dan menatap tubuh yang terkulai lemas di sampingnya.Beberapa saat dia menatap wajah yang terlelap itu dan menyadari bahwa dia sedikit terburu melakukannya.Padahal sebelumnya sudah menyepakati untuk tidak mengusik Ayesha hingga gadis ini benar-benar menerimanya.Ternyata pengendalian dirinya tidak sekuat yang dikiranya selama ini.Sebagai pengusaha muda yang sukses, godaan akan tawaran wanita tentu tidaklah sedikit.Pernah suatu ketika seorang direktur yang bekerjasama dengan perusahaannya, ingin berterima kasih dengan mengirimkan dua wanita pilihan untuk menghiburnya. Wanita dengan kualitas terbaik dan nyaris sempurna secara visual.Tapi Hilbram justru memberikan uang pada dua wanita itu dan memintanya pergi dari kamar hotelnya.Hilbram dididik dengan sangat baik oleh kakeknya, bahwa hal sekecil itu mungkin bisa menjadikan masalah besar jika tidak bisa m
Semalam tidurnya nyenyak sekali hingga baru terbangun ketika ponsel di nakas berdering berkali-kali. Ayesha berjingkat dan segera memeriksa ponselnya. Sudah jam 5 lebih beberapa menit dan dia belum melaksanakan kewajibannya. Beberapa menit lagi mentari sudah menyapu jejak waktu subuh. Ayesha segera bangkit dan berlalu ke kamar mandi. Ponsel berdering sekali lagi. Ayesha yang sudah menyelesaikan sholat bangkit mengambilnya. Melihat nama di layar dia mengernyitkan jidatnya. ‘Suamiku?’ Pasti nomor pria itu. Siapa yang memberi nama seperti itu? Menggelikan sekali. Batin Ayesha sembari mengangkat panggilan. “Assalamu’alaikum?” sapa Ayesha dengan nada ragu. “Waalaikum salam, sudah bangun, Sha?” suara bariton itu terdengar sedikit serak seperti orang mengantuk. Ayesha baru ingat, Qatar dan tempatnya beda 4 jam lebih lambat. Jika sekarang baru pukul 5 pagi, di Qatar pasti masih dini hari. Apa pria ini tida
“Maaf, Bu!” hanya itu ucapan Ayesha.Salahnya dia tidak bertanya dengan alasan apa Rahman mengijinkannya? Jadinya dia hanya bisa meraba-raba dan menunggu apa yang akan disampaikan kepala sekolahnya.“Tadinya aku mau memberimu surat teguran, tapi pihak yayasan menyampaikan memberimu izin selama yang kau butuhkan. Heran saja, bagaimana kau begitu lancang meminta izin dari yayasan sementara tidak memberitahuku!”Maria merasa apa yang dilakukan Ayesha dengan begitu saja meminta izin dari yayasan adalah sebuah penghinaan padanya. Karena yayasan sendiri selama ini tidak pernah ikut campur dalam urusan penegakan kedisiplinan di sekolah.Jika tiba-tiba ada rekomendasi langsung dari yayasan tentang surat izin Ayesha, Maria tentu mencurigai Ayesha sudah bermanipulatif.“Saya harus bagaimana, Bu?”Ayesha tidak paham apa yang harus dilakukannya. Secara administrasi dia sudah meminta izin dan sekolah
Jam pelajaran sudah berakhir 15 menit yang lalu. Ayesha membereskan kelas dan mematikan lampu ruangan lantas melangkah keluar. Dia lupa ada janji dengan Hanin karenanya berhenti sebentar dan mengambil ponselnya di tas. Zain pasti sudah menunggu di depan. Ayesha harus mengirimkannya pesan agar tahu bahwa dia masih ada urusan. [ Kau bisa balik lagi nanti kalau aku sudah selesai urusanku, Zain ] ketik Ayesha di aplikasi pesan yang dikirimkannya pada Zain. [ Siap, Nyonya ] hanya itu balas Zain namun sudah membuat Ayesha mengembangkan senyumnya. Perempuan itu terlihat sangar di awal bertemu, ternyata ramah dan manis. Ayesha jadi teringat Hilbram yang terlihat dingin dan menakutkan di awal, namun sebenarnya semakin mengenalnya Ayesha jadi tahu bahwa Hilbram tidak semenakutkan itu. Di sela menikmati bakso di kedai Bu Ratmi, Hanin terus mendesak agar Ayesha menceritakan tentang ketidak hadiraannya hampir dua miggu ini. Di mana dia dan a
Hampir dua minggu tidak masuk mengajar, ada banyak pekerjaan yang harus dia selesaikan, terlebih menjelang pelaksanaan penilaian akhir tahun. Rasa lelah dan mengantuk membuatnya memutuskan harus menyudahi pekerjaannya dan bersiap untuk tidur. Tiba-tiba ponselnya berdering. Melihat siapa yang menelpon, Ayesha heran saja, bukannya tadi mereka sudah bertelponan? Kenapa sekarang menelpon lagi?Diketuknya layar ponsel untuk menerima panggilan itu. Ayesha baru sadar bahwa mode panggilannya adalah video call. “Astaghfirullah!” gumamnya hampir melepaskan benda pipih itu.Ayesha terkejut karena melihat wajah Hilbram di layar ponselnya serta bayangan dirinya sendiri yang tertangkap di kamera hanya menggunakan baju malam.Ini sudah malam dan Ayesha tidak mungkin terbalut gamisnya sepanjang hari. Apalagi tidak sedang bersama pria itu.“Haloo?” terdengar suara Hilbram karena Ayesha menutup l