Ayesha terkejut dengan sindiran Fatma yang merasa sudah menunggunya sejak tadi. Lalu buru-buru meminta maaf.“Maaf, Tante,” ujar Ayesha pada wanita itu.“Jangan mentang-mentang kau nyonya di sini lalu merasa seenaknya sendiri, ya?” Fatma tidak tahan ingin memarahi wanita yang sudah merebut perhatian Hilbram dari anaknya itu. “Sekali lagi saya minta maaf kalau sudah membuat Tante merasa kurang nyaman.” Ayesha masih berusaha menjaga sikapnya.“Benar, kau benar-benar sudah membuatku tidak nyaman!” Fatma menatap Ayesha yang bahkan belum duduk itu.Biar saja melihat wanita itu berdiri di sana. Fatma merasa wanita ini sungguh tidak pantas bersanding dengannya. Setelah mengetahui fakta bahwa keponakannya itu memungutnya dari rumah bordil, Fatma punya alasan untuk merasa muak pada Ayesha.Ayesha hanya menunduk. Dilihatnya tadi aura kebencian yang tersirat dari tatapan mata wanita ini, seolah menyadarkannya bahwa kastanya sangat berbeda dengan kasta wanita itu—yang merupakan putri dari kel
“Heran saja dengan keluarga Tante, setiap hari bergumul dengan kemewahan, lalu mendapatkan warisan saja sudah membuat Tante dan Charlie gelap mata. Macam orang yang tidak pernah pegang banyak uang saja!” sindir Hilbram pada tantenya itu.“Charlie hanya kena tipu, Bram!” Fatma membela suaminya.“Hanya?” Hilbram tersenyum miring.Hilbram tahu Charli bukanlah seorang pebisnis. Dia hanyalah sutradara film yang bahkan tidak ada satu pun karyanya yang sukses. Lalu sok-sokan mencoba berbisnis bermodalkan harta warisan tantenya itu.Sekarang, wanita ini datang menangis-nangis karena Charli sudah tanpa persetujuannya menjual saham bagiannya—demi lolos dari tuntutan hukum orang-orang yang berinvestasi dalam proyeknya bersama temannya—yang sudah kabur membawa uang mereka.“Bisakah kau mencarikan jalan keluarnya, Bram?” Fatma yang kebingungan itu hanya butuh solusi dari Hilbram, bukannya malah dicecar banyak pertanyaan.“Setelah Charli sudah menjual saham bagian Tante, tidakkah itu sudah menyel
“Tunggu, aku yakin ini gara-gara istrimu itu. Dia pasti sudah mengadu yang bukan-bukan padamu ‘kan?” Fatma menyimpulkan, tidak mungkin keponakannya itu tiba-tiba menarik kembali ucapannya tanpa sebab. “Bukan karena dia mengadu, tapi karena Tante sama sekali tidak menghormatinya sebagai istriku.” Hilbram mengingatkan wanita itu. Jika dia masih membutuhkannya, seharusnya juga menghormati istrinya. “Apa yang perlu dihormati dari wanita pelacur sepertinya?” Fatma jadi emosi saja mengetahui sebab Hilbram menarik kembali bantuannya, karena membela wanita itu. Hilbram menatap tajam Fatma mendengar wanita itu menghina istrinya dengan kemarahan. “Tarik kembali ucapan, Tante! Minta maaf pada Ayesha!” tukas Hilbram, namun melihat Fatma seolah tidak mau melakukannya. “Untuk apa aku meminta maaf, sejak kedatangan wanita yang kau ambil dari tempat pelacuran itu, keluarga kita berantakan, Bram!” Fatma tidak berhenti mempengaruhi Hilbram. Rahman sudah menyampaikan bahwa dokter mengatakan kem
Ayesha terlihat berjalan masuk ke kantor. Dia melihat Dannil dan Verni sedang bersama. Entah mengapa mereka sepertinya sengaja berhenti untuk menunggunya.“Selamat pagi?” sapa Ayesha pada dua orang itu.“Sha, kau diantar siapa?” Dannil bertanya dengan raut menyelidik.Ayesha menatap dua orang itu dan menyembunyikan keresahan tentang apakah mereka melihatnya turun dari mobil yang mengantarnya tadi?Dia menoleh ke belakang melihat sebuah mobil berhenti di depan daycare untuk menurunkan seseorang. Ketika berlalu, orang yang diturunkan tidak terlihat dari tempatnya berdiri.Ayesha pikir, mereka juga tidak akan melihat saat supir menurunkannya di depan daycare tadi. “Kenapa? Aku setiap hari memang ada teman searah yang menumpangi. Apa penting untuk memberitahu dengan siapa aku diantar?”Verni yang sejak tadi terdiam jadi ikutan menyahut.“Pak Dannil ini kemarin melihatmu masuk ke mobil mewah, jadinya dia tadi mencoba memastikan apakah penglihatannya benar. Kami merasa mobil mewah yang
Ayesha merapikan beberapa dokumen yang sudah selesai dikerjakannya. Sudah saatnya untuk pulang. Dia menekuk—nekuk jemarinya yang tegang karena seharian harus wara-wiri di atas keyboard.“Akhirnya selesai juga, Alhamdulillah!” ucap Ayesha terlihat lega mengambil ponselnya di meja untuk dimasukannya ke dalam tas. Namun benda pipih itu terlihat berkedip. Ayesha menahannya sejenak untuk melihat pesan dari siapa yang masuk.“Astaga, Adam?!” Ayesha terkejut melihat foto putranya yang duduk di meja kerja Hilbram di kantor ini.“Kenapa, Sha?” Nola yang sudah siap pulang terlihat menjinjing tasnya, namun masih menyempatkan menanyakan mengapa Ayesha tampak terkejut menerima pesan seseorang.“Anakmu kenapa?” tanya Nola memastikan lagi.“Ahaha, anakku tidak apa-apa kok. Tadi hanya lihat fotonya yang belepotan dari pengasuh daycare.” Ayesha jadi terpaksa berbohong karena temannya yang selalu kepo itu.“Oh, aku kira ada apa? Ya sudah aku duluan baliknya!”“Baik, hati-hati Nola!”Ayesha melambaikan
“Astaga, aku kira Mas yang hebat bisa buat dia anteng di depan meeting tanpa rewel.”Ayesha baru tahu bagaimana pria ini bisa membuat anaknya tidak rewel. Ternyata ada layar bersebelahan yang membuka channel cocomelon. Meski suaranya di mute, tentu gambar-gambar lucu itu menarik perhatian Adam.“Sini anak aku, enak saja masih kecil sudah dieksploitasi untuk meeting!” gumam Ayesha mengambil Adam dari tangan sang papa yang hanya tertawa kecil itu.Tapi Hibram serius, Adam adalah putranya. Dia sudah akan mengenalkan dunianya ini sejak dini pada sang putra. Karena pada akhirnya dialah yang harus mengambil alih tanggung jawab.“Enak saja, kalau Adamnya pengen jadi penyanyi atau yang lain bagaimana?” Ayesha mengomentari ucapan suaminya yang sudah lebih dini menyatakan bahwa sang putra adalah big bos perusahaan ini pada akhirnya.“Waaah, berarti kita harus bikin anak banyak biar tidak bingung cari penerus.” Hilbram mentowel pipi istrinya itu, lalu menciumnya karena sudah kangen.“Ahhhhh....
Niat hati hanya ingin mengalihkan fokus perhatiannya saat sang suami menelpon mantan istrinya itu, Ayesha iseng menghubungi Hanin.Tidak tahu apa yang ingin dibicarakannya, asal dia bisa mengalihkan pikiran negatifnya saja. Supaya, tidak juga terkesan masih ingin tahu apa yang dibicarakan dua orang itu. “Ada apa, Sha?” Hanin terlihat masih repot tapi mengangkat ponsel temannya itu.“Ah, enggak apa-apa, hanya nanya kabarmu saja!”“Jangan iseng deh, katakan ada apa?” Hanin mendesak, Ayesha jadi bingung harus membahas apa?“Kau ada masalah lagi dengan suamimu?” Hanin hanya menerka-nerka.“Oh, Tidaklah!” Ayesha menjawab cepat. Mereka tidak ada masalah.“Lalu kenapa menghubungi aku....” Hanin terlihat sebal dengan Ayesha. Tidak biasanya dia iseng begini.“Apa itu, temanmu yang EO itu, apa sudah punya penyanyi?” Sedikit belibet menyampaikannya. Hanya itu hal yang diingat Ayesha yang belum dibahasnya dalam setiap kali dia dan Hanin ngrumpi.“Oh, aku baru ingat, Sha. Dia masih nanyain
“Aduh, Nin. Gimana ini?” Ayesha jadi bingung karena Hanin menelponnya untuk mengkonfirmasi bahwa temannya yang EO itu sudah menyetujui Ayesha yang akan menjadi singer di acara yang di handle.Waktu itu, dia sedang kesal dan resah hingga tidak sengaja mengiyakan. Setelah berpikir jernih, Ayesha tentu saja tidak bisa melakukan hal itu tanpa seizin suaminya.“Gimana apanya? Kan kamu sendiri yang menyanggupinya waktu itu?” Hanin jadi keheranan dengan sikap Ayesha.“Ini sudah mepet, lho, Sha? Jangan macam-macam deh!” Hanin yang malah tegang sendiri.“O-oke, aku akan coba ngomong baik-baik ke Mas Bram, barangkali dibolehin! Aku enggak mungkin Nin bisa keluar tanpa izin Mas Bram. Kamu kan tahu sendiri kemana-mana kita dikawal!” Ayesha meminta pengertian temannya itu. Dia pasti tahulah keadaan Ayesha.“Hhg, buruan, aku tunggu ya, jangan lama-lama, biar kalau kamunya enggak jadi temanku itu bisa cari gantinya!”“Oke, Sayangku! Kau memang yang paling pengertian. Aku mencintaimu!” ujar Ayesha