Share

Bab 7 - Antara Suami Dan Cinta Pertama

Suara petir kembali terdengar dengan cukup hebat di atas sana padahal hujan baru saja reda. 

Petir juga terasa baru saja menyambar kepala Bela yang tertunduk ke samping melihat rambut hitam Nial yang sedang bersandar di pundaknya.

'Catherine dia bilang?'

Ia menghela napasnya.

'Jadi nama mantan istrinya adalah Catherine?'

Bela masih belum bergerak. Ia merasakan bahu Nial berguncang. Ia tahu lelaki ini menangis. 

Entah apa penyebabnya tiba-tiba ingat dengan Catherine, meski Bela tahu memang Nial tidak pernah bisa melupakan Catherine bahkan hanya dalam sedetik pun.

"Aku Bela!" Akhirnya ia membuka suaranya agar Nial berhenti mengingat Catherine.

Nial berangsur menyadarkan dirinya dan menarik kepalanya dari Bela. 

Ia tidak mengatakan apapun saat bangkit dari duduknya dan membiarkan Bela sendirian di sana, sementara gerimis kembali mengguyur jagat raya.

Bela menunduk. Ingat betul bagaimana ucapan Nial yang mengatakan bahwa dirinya hanyalah sebatas pengantin pengganti yang tidak diinginkan Nial.

Cincin pernikahan yang ia lihat melingkar di jari manisnya itu hanyalah simbol belaka. 

Nial mengingatkan bahwa ia tidak akan pernah bisa menggantikan Catherine.

Bela tersenyum menyeringai, Seperti Joker. Kedua sudut bibirnya terangkat namun air matanya menggenang bersama air hujan.

Ia tahu tidak akan pernah ada cinta Nial untuknya sejak lelaki itu tidak bisa melupakan masa lalunya. 

Bela berpikir, 'Apa yang aku inginkan? Aku sudah tahu dari awal kalau aku akan menderita, 'kan?'

Ia terkejut karena tubuhnya yang terguyur gerimis lebat tiba-tiba saja terlindungi. Saat ia melihat ke depan, seorang lelaki dengan payungnya yang berwarna merah berdiri di sana, menaunginya agar tidak kebasahan lebih jauh.

Samudera Nikolass Arka, dia adalah Presiden Mahasiswa di universitasnya. 

Lelaki yang sama yang tadi sore memisahkan pertengkarannya dengan Vida. 

Lelaki yang mengantar pulang Bela sekligus menjadi awal bagaimana murkanya Nial.

"K-Kak Niko?"

"Kamu kenapa di sini, Bel?"

Ia bertanya tanpa beranjak seinchi pun dari tempatnya. 

"Aku menjenguk ibuku."

"Bukan itu. Kenapa duduk di bawah hujan, Bela?"

Mata mereka bertemu.

"Hanya ... ingin duduk sebentar di sini."

Bela meremas tangannya yang gugup saat Niko tidak mengalihkan pandangannya dari Bela dengan mata teduhnya. Cara menatap yang jauh berbeda dari cara Nial yang penuh kebencian padanya.

"Kak Niko kenapa di sini?"

"Aku? Menjemput ayahku."

"Dia dokter yang bekerja di sini?'

"Iya. Bangunlah dari sana! Ayo berteduh!"

Tangan Niko meraih tangan Bela karena ia tidak tahan melihat Bela duduk lebih lama dengan keadaan pakaian yang nyaris basah di sana. 

Tapi sebelum ia menyentuhnya, ada tangan lain yang lebih dulu merebut tangan Bela.

Bela terkejut karena Nial kembali datang dan meraih tangannya dengan cepat sebelum ia dan Niko bersentuhan.

"Mas Nial?"

Bela melihat mata Nial yang tajam melihat pada Niko. Begitu juga sebaliknya.

"Kenapa kamu menyentuh istriku?"

Frontal, tanpa basa-basi dan dingin. Nial melemparkan pertanyaan itu pada Niko yang bibirnya mengatup dalam diam karena ia tahu saat ini sedang bertemu muka dengan suami Bela. Lelaki yang sedari sore terus saja dipertanyakan oleh anak-anak seisi kampus—seperti apa rupa dan wajahnya—sejak kabar Bela menikah meluas dengan cepat.

"Mas Nial," panggil Bela mencoba menenangkannya. 

Karena dilihat dari gelagatnya Nial akan menghajar siapapun yang ada di hadapannya. 

Tapi Niko—yang terbiasa memimpin demo mahasiswa dan menggebrakkan tangannya ke meja saat menetapkan mosi tidak percaya pada anggota dewan itu—tetap terlihat tenang. Ia seperti kedamaian bunga teratai yang menghadapi badai.

"Hm ... jadi kamu suaminya Bela?"

"Ya! Ingat namaku baik-baik! Danial Abdisatya. Aku tidak suka milikku disentuh orang lain."

Niko tersenyum.

"Kamu tidak suka milikmu disentuh orang lain, tapi kamu membiarkannya duduk di bawah hujan. Siapa yang tega membiarkan bunga secantik itu menggigil kedinginan?"

Suaranya tenang dan ringan. Perumpamaan yang disampaikannya membuat Bela merinding. 

Ia menahan tangis saat rasa dalam dadanya membuncah dengan penuh lara. Kalimat itu dikatakan oleh Niko, cinta pertamanya, cinta pertama Bela.

Nial tidak menjawab Niko dan menarik Bela agar pergi dari sana. 

Tapi baru satu langkah, Nial berhenti lebih dulu karena Niko mengucap,

"Kamu tidak tahu kalau aku lebih tertarik pada istri orang?"

Bela dengan cepat memutar kepalanya. Matanya sekilas bertemu pendang dengan Niko. 

Tapi Nial juga tidak kehabisan kata karena dia juga membalas Niko.

"Tentu saja. Karena semua hal jauh lebih indah saat sudah menjadi milik orang lain."

Seperti kalimat penutup perdebatan. 

Bela lupa bagaimana caranya dia pergi dari hadapan Niko dengan tangan Nial yang menggenggamnya begitu erat. Sampai Nial membuka pintu mobil untuknya dan memintanya untuk masuk.

Di bawah payung merah, Niko memeriksa ponselnya. Merasakan ketidak asingan wajah dan nama 'Danial Abdisatya' yang tadi ia dengar membuatnya mengetikkan nama itu di mesin pencarian internet.

Benar! 

Ia tahu lelaki itu tidak asing karena dia adalah CEO Ones Air. Salah satu perusahaan penerbangan yang meroket. Wajahnya kerap wara-wiri di surat kabar dan artikel bisnis sebagai 'young billionaire' yang disegani banyak orang. 

Dan lelaki itu ... kini adalah suaminya Bela.

Bela, dia hanya diam saat Nial memintanya memakai seat belt. 

Ia masih terperangkap dalam kalimat Niko, dan bagaimana mata teduhnya yang tidak pernah gagal membuatnya jatuh cinta.

Karena tidak mengindahkan Nial, dan tampaknya Nial tidak ingin berdebat lebih jauh, alhasil ia yang memasangkan seat belt pada Bela.

"Kenapa?" tanya Nial saat melihat Bela yang menunduk di tempatnya.

"Tidak."

Nial menghela napasnya saat membuka coat panjangnya dan menaruhnya di bagian depan tubuh Bela.

"Kamu kedinginan."

Ia hanya mengatakan itu sebelum menghidupkan mesin mobil dan pergi dari rumah sakit. 

Bela merapatkan coat Nial yang terasa hangat di tubuhnya yang memang kebasahan.

Mereka hanya saling diam sampai mobil berbelok di rumah Nial dan berjalan memasuki rumah besar itu.

"Tidurlah di tempat lain, Bela! Aku tidak ingin melihatmu malam ini."

Suara Nial mengakhiri percakapan mereka, ia berjalan menaiki tangga sementara Bela masih berdiri di ruang tamu. 

'Aku juga tidak ingin melihatmu. Sama sekali tidak ingin.'

Bela duduk di ruang tamu yang sudah temaram setelah meminta pakaian ganti dan juga selimut pada bu Kim, sang Kepala Pelayan. Ia duduk di sana dengan rasa dalam hatinya yang sedang tak bisa diuraikan. 

Tentang bagaimana Nial dan Niko yang membuatnya berdiri di antara ketegangan mereka. 

Ia melihat lilin yang dinyalakan di meja ruang tamu, api kecilnya meliuk-liuk.

'Kamu cantik, Bela!'

Itu adalah kalimat yang diucapkan Niko di hari mereka bertemu pada penerimaan mahasiswa baru beberapa waktu yang lalu.

'Kak Niko jangan bilang begitu! Nanti aku bisa dikeroyok fans-mu!'

Niko tersenyum saat itu, mereka duduk melihat api unggun yang sedang berkobar di tengah rimba.

'Kenapa aku tidak boleh bilang begitu, Bel? Aku jujur, kok.'

Bela membalas senyum Niko. Saat itu ia sangat bahagia sampai tidak bisa memikirkan apapun selain dadanya yang meletup dengan penuh bunga. 

Tanpa tahu di depan sana ada masa depan yang tidak pernah ia bayangkan sedang menunggunya.

Senyuman Niko memudar, terbakar bersama liuk api lilin kecil di depannya. 

Bela berpikir, sebenarnya dirinya ini dan Nial sama saja.

Nial tidak bisa melupakan istrinya? Sama! Bela juga, kenangan bersama Niko, semua kebersamaan mereka yang meski tanpa status mereka saling menjaga diam-diam dari kejauhan.

Kenyataan tidak akan berubah. Bahwa lelaki yang saat ini menjadi suaminya bukanlah cinta pertamanya. Bukanlah Niko, tapi Nial.

Bela meringkuk di atas sofa besar dan selimut yang menelan habis tubuhnya. Ia merasakan sedih yang tidak bisa dijelaskan. 

Ellipsism, itu yang ia ketahui sedang menggerogotinya hingga lelap.

....

Dari kamar atas, Nial mencari di mana keberadaan Bela. 

Anak itu benar-benar tidak masuk kamar sejak ia memintanya agar tidur di tempat lain. 

Nial khawatir karena sebelumnya baju Bela basah, dan ia takut Bela memaksakan diri tidur dengan pakian yang basah jika dilihat dari naifnya yang akan menuruti apapun yang dikatakan Nial.

Nial menemukannya tidur di sofa panjang ruang tamu dengan berselimut yang hanya menyisakan kepalanya. 

"Apa yang terjadi antara kamu dan Niko? Apa aku hadir di tengah-tengah kalian?" tanya Nial lirih, hampir tak terdengar.

Bela bergerak dan selimutnya tersingkap sehingga membuat kaki mulusnya terlihat. Yang mana hal itu membuat hasrat Nial yang tadi belum tuntas kembali memberontak.

'Sial! Lalu bagaimana sekarang?'

Tidak ada kata apapun lagi. Ia mengangkat Bela memasuki kamarnya.

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Christy Lino
Nial arogan,sok gengsi padahal ktagihan sama tubuh Bela,..cintai & sayangi Bela Nial jgn jadikan dia hnx sbagai pemuas nafsumu jgn jd laki2 pengecut
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status