Aileen bergelung dalam tidurnya. Ia mengeram pelan saat sengatan tajam terasa menusuk, menembus otaknya. Perlahan ia membuka mata, mengerjab beberapa kali saat mendapati suasana yang berbeda. Ini seringkali terjadi, namun ia tetap saja belum terbiasa bila tiba-tiba terbangun di tempat yang lain. Aileen memijat pelipisnya dan menyusuri pemandangan yang mampu dijangkau oleh matanya.'Ini kamar Bagas?' seru hatinya panik. Aileen berpaling saat mendengar suara dengkuran halus disertai terpaan hangat yang membelai wajahnya. Matanya melebar saat bertatapan langsung dengan wajah tampan yang masih tertidur pulas. Aileen mengalihkan pandangannya, lurus menatap langit-langit kamar sembari menebak-nebak apa yang telah terjadi selama dia tiada.Ia menahan napas saat rangkulan di pinggangnya mengetat dan menarik tubuhnya agar lebih dekat dengan pemilik tangan. 'Apa yang harus ku lakukan sekarang?' Teriaknya dalam hati. "Aku harus segera keluar dari sini," gumamnya.Perlahan Aileen mengangkat ta
'Kini aku takut kehilanganmu seperti aku kehilangan Aira.'Aileen menghela napas dalam untuk kesekian kalinya saat kalimat yang sama terus saja berulang dalam benaknya."Hei, Aileen! Sampai kapan kamu mau melamun disitu?" Vincent menopang kedua tangannya di pinggang dengan wajah cemberut. Sejak satu jam yang lalu, wanita yang datang dengan wujud asli itu hanya duduk di pojokan dengan ekspresi kosong."Apa yang terjadi padanya? Roh nya belum balik?" tanya Rachel sambil menggoyangkan dagu pada Aira yang ikut membantunya mengangkut kardus untuk dinaikkan ke lantai dua gedung cafe."Entahlah," sahut Aira tanpa bergeming. Matanya menatap lurus pada wajah yang mengasingkan diri sejak pagi tadi."Kalau kau cuma mau melamun, pulang saja sana!" Vincent mendekati posisi dimana Aileen duduk dan langsung melayangkan telapak tangannya, mengeplak puncak ubun-ubun."Akh … sakit," jerit Aileen, mengaduh kesakitan sambil mengosok kepalanya. "Kenapa dari tadi kamu terus saja mengomel, sih?"Vincent me
Peti mati perlahan diturunkan ke dalam tempat peristirahatan terakhir dari raga yang tak lagi berjiwa. Satu demi satu serukan, tanah merah perlahan menutupi atas peti. Menghantarkan kematian menuju alam kekal abadi. Taburan kelopak bunga menutupi permukaan gundukan, menandakan bahwa prosesi pemakaman telah berakhir.Mardiana menatap pusara putranya dengan mata sayu. Tak ada tangis, apalagi ratapan pilu. Sejak dokter mengusulkan pelepasan alat bantu pernapasan, ia telah memasrahkan diri. Menerima keadaan ini dengan lapang dada."Bu Mar, kita pulang ya," ajak Rachel. Ia menyentuh lengan Mardiana dengan tangan bergetar.Sedari tadi kesedihannya berpadu dengan rasa takut dimana puluhan mahkluk berwajah gelap mengintip dari kejauhan. Jiwa-jiwa gelap yang muncul dari segala arah, tampak antusias oleh kedatangan Aileen dan Vincent, dua jiwa yang memendarkan cahaya menyilaukan, mengaburkan sinar jingga sang senja. Mardiana berbalik, menatap Aileen, Vincent dan Aira yang hanya berjarak beb
Nani melirik takut-takut pada Aileen yang sedari tadi hanya duduk menopang tangan di depan dada. Wanita itu enggan untuk sekedar bertegur sapa ataupun balas menatapnya.Selama beberapa hari di rawat di rumah sakit, Nani banyak merenungi apa yang telah dilakukannya di masa lalu. Ia terlalu abai, tidak memperdulikan perasaan putri yang dilahirkannya di usia muda.Jadi, wajar saja bila kini Aileen bersikap dingin padanya. Nani yakin, bila bukan karena Bagas dan Denis, putrinya itu tak akan sudi menjenguknya."Ai, apa kabarmu?" tanya Nani demi memecah kesunyian. Dua puluh menit terasa amat lama baginya, berdiam diri dalam keheningan sementara Bagas dan Denis mengurus administrasi untuk kepulangannya.Aileen mengangkat wajah untuk menatap sang ibu. Tak lama ia kembali mengalihkan pandangannya. "Baik," sahutnya singkat."Dokter Daren banyak bercerita tentangmu. Ibu baru tahu kalau dokter itu calon saudara iparmu." Nani melanjutkan celotehannya untuk memancing reaksi putrinya.Namun, ia ha
Sepuluh menit telah berlalu dalam kesunyian, bahkan suara deru mobil tak lagi terdengar sejak Bagas memutar kunci—mematikan mesin mobil.Namun, tak satupun dari mereka yang beranjak atau sekedar berinisiatif untuk membuka suara. Keduanya larut dengan pikiran masing-masing hingga sebuah ketukan di jendela samping menyadarkan Bagas."Maaf, Tuan Bagas. Nyonya memanggil anda dan nona Aileen untuk masuk," usik pria tua yang bertugas merawat seluruh tanaman di halaman dan area kebun belakang. "Baik," angguk Bagas singkat dan kembali menaikkan kaca jendela. Ia berbalik untuk menatap Aileen yang tampak canggung, duduk sembari meremat jemarinya resah."Ayo, masuk," ajak Bagas. "Mama sudah meminta kita pulang dari tadi. Mama memasak chicken katsu kesukaan mu."Aileen mengangguk patuh. "Tunggu," tahan Bagas saat Aileen hendak menarik kenop pintu. Ia buru-buru keluar dari mobil dan berbalik arah untuk membuka pintu dari sisi yang berbeda.Aileen mengerjabkan matanya saat Bagas mengulurkan tanga
"Kamu mau kemana, Ai?"Aileen yang sedang menunduk untuk mengikat tali sepatunya, mengangkat kepalanya begitu mendengar suara Daren yang baru saja melewati pintu utama."Mau ke kafe, ada panggilan darurat dari bos," balasnya sambil bercanda."Salah, Ai! Harusnya kamu menarik dari arah yang berbeda," ujar Aira yang berjongkok di depan Aileen.Keduanya telah menghabiskan lima menit hanya untuk berdebat perihal arah simpul sepatu yang harus di tarik. "Bos? Paranormal, pemilik kafe itu?" Urai Daren untuk mengambarkan sosok Vincent."Ya." Aileen menepuk kedua kakinya dan tersenyum puas dengan simpul yang dibuatnya di atas sepatu butut kesayangan.Daren melirik sekilas namun tak berniat untuk mengeluarkan komentar yang berkaitan dengan sepatu usang itu. Aileen bukanlah tipikal orang yang senang membahas kekurangannya di depan orang lain."Aku antar, ya?" tawarnya. Aileen cepat-cepat menggelengkan kepalanya. "Nggak usah. Kamu baru pulang setelah sekian lama, jadi lebih baik dokter masuk ke
"Terlambat!"Kalimat pertama yang diucapkan Vincent dengan kening berkerut, begitu melihat Aileen dan Aira muncul dari balik pintu masuk kafe."Dan, apa ini?" Vincent menyeringai sinis, sengaja ingin menggoda Aileen. "Kali ini kamu membawa yang mana? Nomor satu atau dua?"Aileen mendesis jengkel. "Buang pikiran buruk mu itu. Daren sedang libur, jadi dia ikut untuk membantu," kilahnya ketus."Oh … membantu? Emangnya dokter tampan ini, bisa merawat hantu?" Ujar Vincent mengolok-olok alasan Aileen."Apa kamu akan terus mengocehkan hal konyol? Berarti aku bisa pulang lebih awal hari ini," kecam Aileen bernada ancaman."Ok … ok. Aku berhenti." Vincent mengangkat kedua tangannya, tanda menyerah. "Ayo ke lantai atas.""Di mana Rachel? Aku tidak melihatnya dari tadi." Aira mengedarkan pandangannya untuk mencari sosok yang tak pernah ingin ketinggalan dalam setiap kegiatan yang menurutnya menyenangkan."Aku mengutusnya untuk melakukan sesuatu," sahut Vincent singkat sembari melangkahkan kakiny
"Berhati-hati 'lah! Jangan sampai terjebak ..."Aileen membuka matanya perlahan, sayup-sayup kalimat terakhir Vincent terngiang-ngiang di benaknya. 'Kenapa nada suaranya terdengar sangat cemas?' pikirnya."Kamu baik-baik saja, Ai?"Suara Aira membuat kesadaran Aileen meningkat sedikit demi sedikit. Ia menggosok pelipisnya yang berdenyut nyeri, rasanya seluruh isi dalam perutnya bergejolak—berlomba untuk keluar.'Kenapa Vincent tidak mengatakan kalau rasanya akan seburuk ini! Paling tidak aku bisa bersiap sebelumnya,' desah Aileen dalam hati."Oke," ucapnya dengan susah payah demi memenangkan wajah panik yang terus menatapnya. "Di mana kita sekarang?"Aira memperhatikan keadaan disekelilingnya. "Ku rasa ini kamar ku," tebaknya."Di rumah?" Aileen mengerutkan keningnya ragu. "Rasanya ini bukan kamar Bagas," gumamnya."Bukan. Ini kamar ku di rumah Papa," jelas Aira. "Oh." Aileen mengangguk paham. "Kenapa kita disini?" Ia mendekati rak bertingkat tiga dimana puluhan buku tertata rapi.