Share

Episode 2

***

Hana dan seorang laki-laki yang di panggilnya paman sedang berbincang serius, terlihat ada perdebatan kecil setelah itu. Terdengar si Paman berulang kali mengatakan hal yang sama, tetap saja perempuan berjilbab tak mengindahkannya.

“Adnan suami kamu, Han. Bahkan dia sangat berhak untuk tahu.”

“Tidak, Paman. Aku tidak ingin menyiakan waktu seperti papa dulu. Kebersamaannya dengan kami bisa dikatakan sedikit, waktunya dihabiskan untuk kemoterapi berlanjut radioterapi sampai…” istri Adnan tak sanggup melanjutkan.

“Resepkan saja obatnya paman, setidaknya memperpanjang waktu untukku membahagiakan Mas Adnan dan anak-anak meski sebentar.”

Pria itu menghela napas, tak mengerti maksud perempuan pemilik senyum manis ini.

“Kamu masih bisa sembuh, Han. Paman yang akan langsung menanganimu.” Suryo bersikekeh.

Hana terdiam, enggan melanjutkan obrolan mereka yang ujung-ujungnya pasti berdebat. Terpaksa laki-laki dengan teleponnya meminta seorang perawat membantu mengambilkan obat.

“Kamu sangat egois, Han. Orang diluaran sana berlomba-lomba ingin sembuh. Sedangkan kamu… Paman tak habis pikir.”

Istri Adnan pun terkekeh “Setiap orang punya hak memilih jalannya paman. Toh semuanya akan tahu bukan kalau pada akhirnya ini akan semakin parah dan meninggal.”

Suryo tersenyum getir, sedikit sakit mendengar langsung dari mulut mungil Hana. Namun, ia tetap bersikap layaknya dokter pada pasien.

.

.

Terbukanya pintu utama oleh Hana secara langsung menampakkan seorang pria gagah disana.

“Mas Adnan” lirih perempuan itu. Melangkah pelan menuju sang suami. Jujur saja, Hana sedikit takut melihat Adnan yang diam menatapnya.

Diluar dugaan, lelaki tampan merentangkan tangannya setelah melihat Hana bergidik takut. Senyum yang candu menyambut, membuat sepasang mata Hana berkaca. Bukannya marah, malah Adnan memberi sebuah pelukan.

“Kamu darimana?” lelaki itu bertanya pelan.

“Aku menemui Paman. Katanya Paman rindu denganku, Mas.”

Tak semudah itu bagi Adnan percaya, ia sangat tahu jika istrinya tidak meminta izin sebelum pergi pasti ada sesuatu yang disembunyikan. Beberapa kali dia mengamati gerak dan gerik sang istri. Kemungkinan besar kecurigaannya benar.

“Anak-anak sudah tidur, Mas?” Hana melepaskan pelukan.

“Sudah. Dari tadi rewel manggil mama-nya terus.”

“Aku minta maaf, Mas. Bukan tidak ingin memberitahumu, tapi…” Adnan memegang bibir istrinya, menghentikan Hana berbicara.

“Ayo istirahat. wajah kamu terlihat lelah sekali.” Adnan mengamati wajah istrinya lalu mengantar Hana kekamar.

Tidak mudah bagi Adnan menunggu si istri mengatakan yang sebenarnya, sungguh sulit untuk mengabaikan apalagi melupakan. Sangat tidak mungkin. terkadang pria ini berpikir, kalau sang istri tak mempercayainya lagi. Karena lebih memilih diam daripada berbagi masalah.

Namun, bagaimana kalau dirinya berada di posisi Hana. Bisa saja melakukan hal yang sama bukan? Pikiran itu pun menghantuinya.

Dua sisi dari jiwanya bertolak belakang. Seolah berkelahi.

“Mas. Aku mau lihat Ayanna sama Anthea dulu.” Izin Hana sebelum tidur.

Sementara perempuan tadi menemui anaknya, Adnan pun meminta pihak rumah sakit tempatnya bertugas untuk merubah jadwal pagi menjadi siang.

Sekembalinya Hana dari kamar sebelah, bergegas ia berganti baju dengan bagian lengan lebih panjang. Tingkah itu tak lepas dari pandangan  pria yang seolah membaca disana. Tentu dirinya menaruh curiga. Entahlah… semenjak Hana mulai melanggar kebiasaan yang dilakukan, kecurigaan itu muncul.

“Han. Ayo sini.” Adnan menepuk sisi kasur disebelahnya, Setelah menaruh buku di atas nakas. Tanpa ragu Hana pun menghampiri. Tak lupa menyelipkan senyuman ketika melihat sang suami. Lalu berbaring memeluk tangan Pria disampingnya.

Lelaki itu membelai rambut Hana yang lembut, sesekali ia hirup wanginya. Belaian Adnan membuat pemilik rambut terhanyut, mata-nya tak sanggup lagi terjaga. Dan pada bagian akhir, Hana tertidur.

Demi menjawab kecurigaannya, ayah dari si kembar menyingsingkan lengan baju sang istri. Melihat ada memar pada bagian dekat siku. Karena kulit putih Hana, benar terlihat jelas bentuk lingkaran yang tidak sempurna. Sedikit kebiruan.

Tidak hanya pada satu tempat, Adnan menemukan beberapa lebam di bagian bahu depan. Kurang puas dengan apa yang ia lihat, ia membuka kerah baju Hana sampai menampakkan lebam-lebam yang lain.

Adnan tidak bisa membiarkan ini, sebagai dokter bedah ia memiliki kecurigaan pada kondisi dan keadaan yang di alami Hana. Namun, hati-nya terus berdo’a agar pendapat ini salah.

Memakan waktu jika menunggu besok menemui sang Paman, seorang dokter Onkologi yaitu spesialis dalam menangani kanker.

Laki-laki itu pun melangkah perlahan keluar, membawa ponsel untuk menghubungi pria yang ia panggil Paman. Terdengar Adnan membentak pria di seberang sana, meminta penjelasan sedetail mungkin. Sepertinya setelah Paman Suryo memberitahu kondisi Hana, Adnan tak dapat mengontrol emosinya.

Malam ini suami Hana langsung mengambil cuti selama tiga hari kedepan. Ia juga telah menelepon pihak rumah sakit.

Adnan tak dapat memejamkan matanya seperti biasa, pikirannya berkecamuk sambil berharap dan berdo’a untuk kesembuhan Hana. Pria berlatar dari keluarga yang tinggi akan agama, segera mengambil air sembahyang. Ia ingin sholat malam dan memohon untuk kesembuhan sang istri.

Sepenggal kisah Adnan. Dia di besarkan dari keluarga berada, ibu dan ayahnya begitu taat pada ajaran agama. Tak terkecuali Adnan. Menikahi Hana pun atas perjodohan ke-dua orang tua mereka. Sejak pertama kali mereka dipertemukan, Adnan langsung menaruh rasa ketertarikan pada senyum lembut meneduhkan gadis cantik bernama Hana.

Akhirnya, lelaki itu tertidur juga. Ternyata mengantuk memenangkan pertarungan dengan kekhawatiran. Ia memeluk sang istri begitu erat, seolah tak ingin waktu berlalu.

.

Waktu pagi menyambut sepasang suami istri di kediaman keluarga Adnan Wijaya. Posisinya masih memeluk pinggang Hana.

‘Tumben dia tidak bangun pagi seperti biasa’ pikir Adnan.

“Sayang. Kamu masih tertidur?” pertanyaan bodoh macam apa itu, Adnan merutuki mulutnya. Tentu saja Hana masih pulas kalau tubuh mungilnya belum beranjak.

Terlihat pergerakan kecil dari tangan Hana, segera pria itu membalikkan tubuh istrinya agar menghadap.

“Hana!” pekik Adnan cemas melihat darah keluar dari hidung sang istri. Detik berikutnya, mata sayu Hana berkedip lemah. Menuju arah pingsan.

Dengan cepat laki-laki ini menggendong Hana menuju mobil. Sembari membopong istrinya, Adnan meminta Bibi mengurus Ayanna dan Anthea. Bibi sangat terkejut dengan apa yang ia saksikan, tubuhnya melemas, matanya berkaca. Tak tega melihat majikan terbaiknya terkulai seperti tadi. Senyum ceria Hana seolah sirna.

Sesampainya dirumah sakit, Paman yang di telepon Adnan sebelum berangkat dari rumah dengan cepat mengambil alih perawatan ponakannya.

Terbaring pucat tubuh Hana di ruangan sana, tak kuasa Adnan menahan isakan. Dunianya seakan runtuh melihat semua ini. Bahkan dia lupa dengan putri-putri kecilnya.

Sebuah tangan menepuk bahu ayah si kembar, segera ia menoleh.

“Ayo, Nan. Ada yang ingin paman bicarakan.” Ajak paman Suryo.

Suami Hana di persilahkan duduk, mereka telah tiba di ruangan kerja Suryo. Disinilah dia menjelaskan penyakit yang di derita Hana. Adnan telah mendapatkan detail yang ia inginkan.

“Ada satu hal…” imbuh Paman Suryo. Menghela napas.

“Hana tidak mau di rawat seperti yang kamu ucapkan, Nan. Dia ingin memberi banyak waktu untuk kalian bertiga. Kemarin dia dari sini meminta obat Pereda sakit dan penghambat penyebaran kanker. Mungkin kalau kau yang membujuknya, dia akan berubah pikiran.”

Adnan tertunduk lesu, tak banyak kata yang terlontar dari mulut kaku-nya. Ia bahkan tidak sanggup membuka mulut.

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Mrs.wang
Bisa-bisanya Adnan ga marah wkwk. Kalo didunia nyata hm
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status