"Indah, apa hubungan kamu dengan Pak Bara lagi enggak baik-baik aja?" tanya Rosi. Indah dan Rosi sedang makan siang di salah satu kedai yang tidak jauh dari kantor. Rosi yang mengajaknya karena merasa tidak tega melihat Indah yang selalu menjadi pusat perhatian juga cibiran. Terlebih setelah Bara dengan terang-terangan kembali bersama Mawar. Tidak tahu harus mengatakan apa, Indah hanya tersenyum masam lalu kembali menyeruput sop buntutnya. Melihat itu, Rosi bisa menebak jika memang hubungan Indah dengan Bara sedang diguncang oleh badai. "Kamu yang sabar, Indah, aku harap apa pun masalahnya ... kamu bisa melewatinya dengan baik. Sungguh, Indah merasa beruntung karena memiliki Rosi sebagai teman. Ia merasa tersentuh dengan ucapan Rosi barusan. "Aku harap begitu, Rosi." "Iya, Indah. Jangan khawatir, kamu cantik dan akan mudah mendapatkan pengganti Pak Bara." "Kamu ini bicara apa?" "Aku hanya kesal saja, dulu memang Pak Bara arogan. Tapi setelah kecelakaan itu ... dia berubah jadi
Indah mengikuti Roki dan Bara dari belakang. Melihat itu, Roki menghentikan langkah membuat Bara ikut berhenti. "Indah, kenapa harus di belakang? Kamu bisa berjalan di samping Bara." Bara paham maksud dari ucapan papanya. Sehingga tanpa mengunggu lama, ia langsung menggandeng tangan Indah. Sontak Indah kaget, tetapi tidak berani protes karena ada papa mertuanya. Roki kembali melanjutkan langkahnya setelah melihat Bara menggandeng tangan Indah. Diam-diam tangannya terkepal saat mengingat kejadian tadi di lobi. Bagaimana bisa Bara menggandeng tangan Mawar dengan mesra di depan umum, sedangkan saat bersama Indah pria itu nampak tak acuh. Tiba di ruangan Bara, Roki langsung menatap Bara dengan tajam. "Pak, ada apa? Tumben ke sini." Plak! Sebuah tamparan dari Roki menjadi jawaban atas pertanyaan Bara. Indah yang baru saja menutup pintu nampak terkejut melihat hal barusan. Namun, ia tidak berani mengatakan apa pun. Sehingga yang bisa Indah lakukan hanya diam dengan menatap suaminya
Dengan langkah gontai Indah keluar dari ruangan Bara. Ia duduk di meja kerjanya. Kemudian merenungi ucapan Bara tadi. Bibir Indah menyungging masam. Bagiamana bisa Bara begitu egois? Pria itu menginginkan Mawar tanpa mau melepaskannya dengan alasan ia istri dan penyelamat hidupnya.Semua berawal dari Indah yang menolong Bara dengan tulus dari maut. Andai ia tidak menolong Bara saat itu, mungkin semua akan berbeda. Indah tidak perlu bergelung dengan rasa yang menyakitankan ini. Namun, pasti Indah akan menyesal seumur hidup andai Bara tidak tertolong. Sehingga ia merasa semua pilihan sama-sama membuatnya terjerat dengan Bara. "Apa aku harus diam terus seperti ini?" gumamnya lirih. Indah merasa tidak sanggup jika terus berdiam saja. Hatinya buka batu yang tidak memiliki perasaan. Ia membutuhkan waktu untuk menenangkan diri. Sementara di ruangan, Bara nampak sedang memandang layar komputer. Namun, bukan pekerjaan yang sedang ia liat, tetapi wajah Indah yang murung. Iya, pria itu seda
Indah termenung setelah kepergian yang Bara entah ke mana. Namun, sepertinya ia tahu ke mana Bara pergi. Tentu saja kepada Mawar--itulah yang ada dipikiran Indah saat ini. Setelah lama ia diam merenungi semua yang terjadi, Indah memilih pasrah. Ia akan mencoba untuk bertahan meski dalam kesakitan. "Aku akan mencobanya sekali lagi," gumamnya. Karena merasa cukup, Indah pun perlahan menurunkan kakinya satu persatu hingga menapaki lantai yang terasa sangat dingin. Ia mendesah lirih sebelum akhirnya bangkit. Mungkin karena efek menangis membuat kepala Indah pusing. Tubuhnya tiba-tiba terhuyung karena kepalanya terasa berputar. Beruntung ia bisa menahan pada kepala ranjang. Memegangnya dengan erat. Setelah pusingnya hilang, Indah mulai melangkah menuju kamar mandi. Ia ingin membersihkan dirinya yang terasa lengket. Untuk beberapa waktu Indah memilih berendam dengan air hangat. Mencoba rileks dan lebih tenang. Setelah merasa cukup, Indah mengeringkan tubuh lal berpakaian. Sebelum mengi
Entah kenapa hari ini Indah begitu lemas. Ia bahkan tidak fokus saat bekerja. Salah mencatat hasil rapat dan berbagai kesalahan lain Indah lakukan. Menyadari istrinya yang seperti itu pun membuat Bara meminta Indah ke ruangannya. "Indah, ada apa dengan kamu? Perkerjaan kamu hari ini begitu kacau." Bara mengeluh sambil mengurut pangkal hidungnya yang terasa pening. Karena kesalahan yang Indah lakukan membuatnya harus bekerja dua kali. Padahal ia memiliki hal penting yang harus diurus setelah bekerja.Namun, sepertinya ia harus menunda itu semua karena kesalahan yang dilakukan sekretaris juga istrinya sendiri. Sementara Indah yang mendapatkan omelan hanya mampu menunduk dengan sesekali mengucapkan kata maaf. Ia pun dalam hati merutuki kesalahannya yang fatal. "Apa dengan maaf bisa mengubah segalanya, Indah? Kamu lupa kalau saya memiliki urusan yang harus ditangani dengan segera?" "Aku tau itu enggak akan merubahnya, Mas." "Lalu kenapa hanya meminta maaf?" "Memang apa yang harus sa
Mungkin karena begitu pusing, Indah tidur begitu lelap. Ia bahkan tidak menyadari jika Bara baru saja kembali ke ruangannya. Pria itu perlahan menghampiri Indah lalu membenahi posisi tidur Indah yang terlihat kurang nyaman. Bara bahkan membuka jasnya lalu menyelimuti tubuh ringkih istrinya dengan itu. Setelah cukup memperhatikan, Bara beranjak menuju meja kerjanya. Pria itu mulai berkutat dengan pekerjaannya yang menumpuk. Hari ini niatnya ingin lembur, tetapi melihat Indah yang tertidur seperti itu rasanya tidak tega juga. Sedang asyik berkutat dengan berkas yang dipegang, tiba-tiba saja ponselnya berdering. Segera Bara melihat siapa yang menghubunginya. Sebelum ia mengangkat telepon tersebut, Bara melirik sebentar ke arah Indah--khawatir jika percakapannya akan di dengar oleh istrinya. "Hemm," sahut Bara begitu panggilan telepon terhubung. "Apa kamu sudah mendapatkan rekaman CCTV-nya?" Bara bertanya langsung pada intinya. "Belum, Pak, hanya saja--" Seseorang yang berada di seb
Indah menyeka sudut matanya karena menghalami pemandangan ke depan. Ia sedang mengendarai motornya untuk tiba di rumah. Namun, pikirannya malah melayang memikirkan permasalahan hubungannya dengan bara yang kian menjauh. Entah karena melamun, tanpa Indah sadar ia malah pulang ke rumah kedua orang tuanya. "Kenapa aku malah ke sini," keluhnya. Perempuan itu menepuk dahinya pelan lalu berniat memutar arah. Menemui orang tuanya malam-malam begini hanya akan membuat kedua orang tuanya khawatir dengan keadaannya. Indah tidak ingin jika mereka ikut kepikiran dengan persoalan rumah tangganya.Namun, baru saja Indah akan menjalankan motor, tiba-tiba seseorang memanggilnya. Sontak Indah langsung menoleh ke arah sumber suara. Ia cukup terkejut ketika melihat sosok pria tinggi nan tampan yang pernah singgah di hatinya dengan waktu yang cukup lama. Dirga, iya ... pria yang sejak dulu Indah tunggu ada di depan matanya sekarang. Pria yang menjanjikan akan melamar dan menikahinya setelah ia selesa
Bara mengacak rambutnya frustasi karena tidak tahu harus melakukan apa sekarang. Ia sedang diselimuti oleh amarah dan ingin meledakan semuanya. Namun, melihat wajah Indah putus asa membuat Bara tidak berkutik. Entah apa yang sebenarnya terjadi dengan dirinya. Bara sendiri tidak bisa memahaminya. Namun yang pasti ia sangat marah karena Indah pulang terlambat. "Untuk satu minggu ke depan aku enggak izinin kamu keluar dari rumah sekejal pun!" Pada akhirnya Bara memilih mengurung Indah di istana pernikahannya dari pada membiarkan Indah keluyuran malam-malam. Banyak hal yang Bara khawatirkan, tetapi ia tidak mampu mengatakan alasannya. Biar untuk saat ini ia yang mengatasinya. Sontak Indah terkejut mendengar larangan yang Bara berikan untuknya. Apa-apaan ini? Indah tidak bisa menerima begitu saja. "Mas, yang benar saja?" Indah duduk di tepi ranjang sambil mendongak--menatap Bara yang berdiri. Tidak langsung menjawab, Bara malah kembali mencondongkan tubuhnya lalu menumpukan kedua