Share

2. Terpuruk

“Ed?” Alice mencoba untuk meminta bantuan. Namun, bibirnya hanya bergetar tanpa suara. Lidahnya terlalu kaku. Keringat dingin membutir di keningnya.

Edmund menelan ludah melihat sang istri terduduk di lantai. Dadanya sesak, napasnya tersekat.

Ia sebetulnya tak tega melihat wajah pucat Alice yang diselimuti ketakutan. Namun, ketika ia hendak bergerak, sang ibu sudah lebih dulu melempar koper ke hadapan Alice.

“Ini .... Bawalah barang-barangmu! Jangan mengotori rumah putraku lagi! Sekarang menghilanglah dari hadapan kami!”

Air mata mengalir semakin deras di pipi Alice. Bibirnya sudah tidak lagi berwarna. Sesekali, ia terbatuk-batuk, tersedak oleh kesedihan yang terlampau pekat.

“Kumohon, Ed ....” Alice bersusah payah merangkak menuju sang suami.

Namun, ibu mertuanya lagi-lagi menghalangi. Telunjuknya meruncing ke arah gerbang. “Enyah kau dari sini!”

“Tapi aku sedang—akh!”

Elizabeth dengan tega mendorong Alice hingga tersungkur ke samping. Saat itulah, sebuah mobil berhenti dan seorang wanita turun dengan raut panik.

“Alice? Astaga!” Ia berlari menghampiri. “Alice, kau baik-baik saja?”

Sambil mencengkeram uluran tangan sahabatnya, Alice menggeleng lemah.

“Emma, tolong aku. Aku tidak mau berpisah dengan Ed. Dan aku benar-benar takut.”

Melihat Alice kembali menyentuh perut, mata Elizabeth membulat. Cepat-cepat ia meraih koper yang tergeletak lalu melemparnya lebih jauh.

“Tidak ada gunanya kau meminta bantuan. Nona Clark, tolong bawa temanmu enyah dari sini. Aku tidak mau dia dekat-dekat dengan putraku lagi.”

Emma mengerutkan alis. Ia menatap sekeliling.

Beragam ekspresi tersebar di sana—wajah dingin Giselle, wajah iba para pelayan, wajah angkuh Elizabeth, dan wajah bingung Edmund.

“Kau tega memperlakukan Alice begini?” tanyanya kecewa bercampur jijik.

Edmund menelan ludah. Setelah meraup udara sebanyak-banyaknya, ia mengalihkan pandangan.

“Keputusanku sudah bulat. Aku tidak butuh istri seperti Alice. Cepat bawa dia pergi dari sini.”

Emma menghela napas tak percaya melihat Edmund berjalan masuk meninggalkan Alice dengan luka yang lebih dalam. Mengerti situasi terlalu rumit, ia terpaksa membantu Alice masuk ke mobil dan membawanya ke rumah sakit.

***

“Bagaimana, Sayang? Kandungan Alice baik-baik saja, kan?” tanya Emma sambil menatap pria berjas putih di seberang meja. Tangannya terus menggenggam jemari Alice yang masih dingin dan gemetar.

Alice juga tidak berkedip memandang Henry. Jantungnya berdebar, napasnya tak karuan. Ketika sang dokter membuka mulut, kepalan tangannya mengerat.

“Kau tidak perlu khawatir, Alice. Kandunganmu baik-baik saja.” Henry mengangguk dengan senyum menenangkan.

“Benarkah? Kau bilang begitu bukan untuk menghiburku, kan?” Mata Alice membulat.

“Apakah ada rasa sakit atau pendarahan?” Henry meninggikan sebelah alis.

Alice termenung sesaat sebelum menggeleng. “Aku hanya merasa perutku bergejolak.”

“Sepertinya, itu pengaruh dari rasa takut yang berlebihan. Kau jadi berpikiran yang tidak-tidak. Kandunganmu masih sangat muda, Alice. Ukurannya kecil dan posisinya terlindungi dengan baik oleh tulang panggul.”

“Jadi, Alice dan bayinya baik-baik saja?” sela Emma sambil memajukan kepala.

Henry kembali mengembangkan senyum.

“Ya, Sayang. Kalau kalian mau lebih pasti, Alice bisa menjalani observasi selama dua hari. Atau, kalian mau melihatnya lewat USG sekarang?”

 Alice sontak membeku. Bayang-bayang Edmund terlintas, menyita hati dan pikirannya. Ketika suara laki-laki itu terngiang, ia tertunduk dan mendesah pasrah.

“Aku ... hanya mau melakukan pemeriksaan USG bersama Ed. Dia sudah berjanji akan menemaniku.”

Tiba-tiba, air mata Alice kembali menitik. Emma dan Henry tidak berani bersuara.

“Ed bilang, dia akan sangat senang kalau bayi kami datang. Dia akan pulang lebih cepat, menemaniku makan malam dan bersenda gurau. Dia akan mempersiapkan kamar bayi yang nyaman, membeli perabotan dan perlengkapan terbaik untuk anak kami tercinta.”

Tanpa terduga, tawa kecil lolos dari bibir Alice yang kering. Suaranya begitu pilu dan putus asa.

“Kalau si Kecil sudah lahir nanti, aku akan menggendongnya di setiap kesempatan. Tidak ada sedetik pun boleh terlewatkan tanpa senyum dan tangisnya. Kalau aku sedang bekerja, kau harus sering-sering mengirimkan fotonya,” kenang Alice meniru logat bicara sang suami.

“Ed bilang dia akan menyambut bayi kami dengan penuh kehangatan. Dia bahkan sudah memilih nama untuk bayi kami. Ocean untuk laki-laki dan Sky untuk perempuan.”

Selama beberapa detik, Alice menggantungkan pandangannya di udara. Senyumnya tipis menampung kenangan manis bersama Edmund.

Namun, ketika kenyataan kembali menyapa, lengkung bibirnya langsung berbalik arah.

“Tapi kenapa ...? Kenapa dia berubah? Dia bukan cuma mengajakku cerai, tapi juga mengusirku dari rumah.”

Sambil mengelus perut, Alice menelan kepahitan.

“Dia bahkan menolak kejutan dariku. Padahal, kalau saja dia melihat test pack itu, aku yakin semua ini tidak akan terjadi. Kami pasti sedang bersuka cita, merayakan kedatangan malaikat kecil yang sudah lama kami dambakan.”

“Alice,” Emma mengusap pundak sahabatnya sebelum memberinya pelukan.

“Tolong jangan putus asa dulu. Kita tidak tahu apa yang sesungguhnya terjadi. Edmund saja tadi terlihat linglung. Dia pasti tidak sadar dengan apa yang dilakukannya terhadapmu. Pelan-pelan, kita coba perbaiki keadaan, hmm? Aku dan Henry pasti akan membantumu. Bukankah begitu, Sayang?”

Mendapat lirikan dari Emma, sang dokter mengangguk cepat.

“Ya, benar. Aku dan Emma pasti membantumu. Tapi sekarang, kau lebih baik fokus dengan kandunganmu. Biar kuresepkan vitamin terbaik untukmu. Tolong jangan lupa diminum.”

Sambil menarik napas dalam-dalam, Alice menyeka air mata. Punggungnya kini sedikit lebih tegak.

“Terima kasih, Teman-Teman. Kurasa kalian benar. Aku tidak boleh menyerah. Besok pagi, aku harus menemui Ed.”

Sambil tersenyum kecil, Emma membelai rambut sahabatnya.

“Bagus. Ini baru Alice yang kukenal. Sekarang, ayo ikut aku pulang. Besok, aku akan mengantarmu ke kantor Edmund. Tanpa ibu mertuamu, aku yakin Edmund bisa berpikir lebih tenang. Kalian pasti berbaikan dan keadaan kembali seperti semula.”

***

“Kau yakin tidak mau kutemani?”

Alice menggeleng samar. “Kau bekerja saja, tidak perlu menungguku. Aku pasti akan pulang bersama Ed.”

“Wow, aku suka semangatmu. Semoga berhasil, Alice. Kabari aku kalau kalian sudah berpelukan.”

Setelah mendenguskan tawa, Alice turun dari mobil. Hatinya penuh dengan harapan walau tertutupi luka. Namun, melihat Elizabeth di pintu masuk, semangatnya mengendur. Langkahnya melambat.

“Mama?” Tangannya tanpa sadar bergerak melindungi perut.

“Sudah kuduga, kau pasti akan muncul di sini.” Dengan tampang masam, Elizabeth berjalan menghampiri lalu menyodorkan sebuah amplop cokelat.

“Apa ini?” tanya Alice, penuh kewaspadaan.

Elizabeth tersenyum miring. “Bukankah ini yang kau cari? Alasan sesungguhnya mengapa Ed menceraikanmu. Alasan mengapa dia tega mengingkari janjinya dan berhenti peduli padamu.”

Mata Alice melebar. Jantungnya mendadak berdetak tak karuan. Ia buka amplop itu dengan tangan yang gemetar. Begitu mendapati isinya, petir seolah menyambar tepat di dada.

“Ini? Ed dan Giselle?”

Napas Alice seketika bergemuruh. Pundaknya berguncang saat ia berusaha meredam gejolak hatinya.

“Tidak. Ini pasti hasil rekayasa. Ed tidak mungkin tidur dengan perempuan lain, apalagi Giselle. Dia ... dia temanku. Dan Ed adalah suami yang setia.”

“Sadarlah, Alice. Menurutmu kenapa Ed melarangmu menemaninya dinas ke luar kota selama beberapa bulan terakhir? Dan kenapa dia sering terlambat pulang dan jarang di rumah?”

Elizabeth tersenyum sinis. “Itu karena Giselle. Dia sudah tidak peduli jika kau mati atau lenyap dari bumi. Kau mau melompat dari jembatan itu? Lakukan saja. Kau seharusnya hanyut di sungai itu sejak dulu. Dengan begitu, putraku tidak perlu terpaksa menikahimu.”

“Tidak.” Alice menggeleng cepat. Air mata terancam jatuh dari pelupuknya.

“Itu tidak benar. Ini pasti akal-akalan Mama untuk menjauhkan aku dari Ed. Ed memang mengucapkan janji-janji itu demi menyelamatkan aku. Tapi kemudian, keadaan berubah. Kami saling cinta dan Ed melamarku dengan janji-janji baru yang tulus.”

Sementara Elizabeth memanas-manasi Alice, sebuah mobil hitam melintas menuju basement. Alice mengenali kendaraan itu. Tanpa menghiraukan Elizabeth, ia pergi menyusul.

Awalnya, Alice hanya berjalan, takut bayi kecilnya terguncang. Namun, semakin lama, ia semakin cepat. Saat mendapati Edmund, ia tersentak.

Giselle baru saja keluar dari pintu mobil yang lain. Ia langsung berjalan di sisi Edmund, merangkul pinggangnya. Edmund pun menempatkan lengannya di pundak sang gadis. Mereka berjalan berdampingan, sama sekali tanpa jarak. Edmund bahkan berbisik mesra di telinga Giselle.

Tanpa sadar, air mata mengalir lambat di pipi Alice.

“Ternyata foto itu benar?”

Sambil terpejam, Alice mengembuskan kepedihan. Ia sadar, hatinya sudah terlalu hancur untuk diselamatkan.

Ia sudah kembali ke masa lalu yang dingin dan kelam. Namun kali ini, ia sadar tidak akan ada seorang pun yang mengulurkan tangan padanya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status