“Ed?” Alice mencoba untuk meminta bantuan. Namun, bibirnya hanya bergetar tanpa suara. Lidahnya terlalu kaku. Keringat dingin membutir di keningnya.
Edmund menelan ludah melihat sang istri terduduk di lantai. Dadanya sesak, napasnya tersekat.
Ia sebetulnya tak tega melihat wajah pucat Alice yang diselimuti ketakutan. Namun, ketika ia hendak bergerak, sang ibu sudah lebih dulu melempar koper ke hadapan Alice.
“Ini .... Bawalah barang-barangmu! Jangan mengotori rumah putraku lagi! Sekarang menghilanglah dari hadapan kami!”
Air mata mengalir semakin deras di pipi Alice. Bibirnya sudah tidak lagi berwarna. Sesekali, ia terbatuk-batuk, tersedak oleh kesedihan yang terlampau pekat.
“Kumohon, Ed ....” Alice bersusah payah merangkak menuju sang suami.
Namun, ibu mertuanya lagi-lagi menghalangi. Telunjuknya meruncing ke arah gerbang. “Enyah kau dari sini!”
“Tapi aku sedang—akh!”
Elizabeth dengan tega mendorong Alice hingga tersungkur ke samping. Saat itulah, sebuah mobil berhenti dan seorang wanita turun dengan raut panik.
“Alice? Astaga!” Ia berlari menghampiri. “Alice, kau baik-baik saja?”
Sambil mencengkeram uluran tangan sahabatnya, Alice menggeleng lemah.
“Emma, tolong aku. Aku tidak mau berpisah dengan Ed. Dan aku benar-benar takut.”
Melihat Alice kembali menyentuh perut, mata Elizabeth membulat. Cepat-cepat ia meraih koper yang tergeletak lalu melemparnya lebih jauh.
“Tidak ada gunanya kau meminta bantuan. Nona Clark, tolong bawa temanmu enyah dari sini. Aku tidak mau dia dekat-dekat dengan putraku lagi.”
Emma mengerutkan alis. Ia menatap sekeliling.
Beragam ekspresi tersebar di sana—wajah dingin Giselle, wajah iba para pelayan, wajah angkuh Elizabeth, dan wajah bingung Edmund.
“Kau tega memperlakukan Alice begini?” tanyanya kecewa bercampur jijik.
Edmund menelan ludah. Setelah meraup udara sebanyak-banyaknya, ia mengalihkan pandangan.
“Keputusanku sudah bulat. Aku tidak butuh istri seperti Alice. Cepat bawa dia pergi dari sini.”
Emma menghela napas tak percaya melihat Edmund berjalan masuk meninggalkan Alice dengan luka yang lebih dalam. Mengerti situasi terlalu rumit, ia terpaksa membantu Alice masuk ke mobil dan membawanya ke rumah sakit.
***
“Bagaimana, Sayang? Kandungan Alice baik-baik saja, kan?” tanya Emma sambil menatap pria berjas putih di seberang meja. Tangannya terus menggenggam jemari Alice yang masih dingin dan gemetar.
Alice juga tidak berkedip memandang Henry. Jantungnya berdebar, napasnya tak karuan. Ketika sang dokter membuka mulut, kepalan tangannya mengerat.
“Kau tidak perlu khawatir, Alice. Kandunganmu baik-baik saja.” Henry mengangguk dengan senyum menenangkan.
“Benarkah? Kau bilang begitu bukan untuk menghiburku, kan?” Mata Alice membulat.
“Apakah ada rasa sakit atau pendarahan?” Henry meninggikan sebelah alis.
Alice termenung sesaat sebelum menggeleng. “Aku hanya merasa perutku bergejolak.”
“Sepertinya, itu pengaruh dari rasa takut yang berlebihan. Kau jadi berpikiran yang tidak-tidak. Kandunganmu masih sangat muda, Alice. Ukurannya kecil dan posisinya terlindungi dengan baik oleh tulang panggul.”
“Jadi, Alice dan bayinya baik-baik saja?” sela Emma sambil memajukan kepala.
Henry kembali mengembangkan senyum.
“Ya, Sayang. Kalau kalian mau lebih pasti, Alice bisa menjalani observasi selama dua hari. Atau, kalian mau melihatnya lewat USG sekarang?”
Alice sontak membeku. Bayang-bayang Edmund terlintas, menyita hati dan pikirannya. Ketika suara laki-laki itu terngiang, ia tertunduk dan mendesah pasrah.
“Aku ... hanya mau melakukan pemeriksaan USG bersama Ed. Dia sudah berjanji akan menemaniku.”
Tiba-tiba, air mata Alice kembali menitik. Emma dan Henry tidak berani bersuara.
“Ed bilang, dia akan sangat senang kalau bayi kami datang. Dia akan pulang lebih cepat, menemaniku makan malam dan bersenda gurau. Dia akan mempersiapkan kamar bayi yang nyaman, membeli perabotan dan perlengkapan terbaik untuk anak kami tercinta.”
Tanpa terduga, tawa kecil lolos dari bibir Alice yang kering. Suaranya begitu pilu dan putus asa.
“Kalau si Kecil sudah lahir nanti, aku akan menggendongnya di setiap kesempatan. Tidak ada sedetik pun boleh terlewatkan tanpa senyum dan tangisnya. Kalau aku sedang bekerja, kau harus sering-sering mengirimkan fotonya,” kenang Alice meniru logat bicara sang suami.
“Ed bilang dia akan menyambut bayi kami dengan penuh kehangatan. Dia bahkan sudah memilih nama untuk bayi kami. Ocean untuk laki-laki dan Sky untuk perempuan.”
Selama beberapa detik, Alice menggantungkan pandangannya di udara. Senyumnya tipis menampung kenangan manis bersama Edmund.
Namun, ketika kenyataan kembali menyapa, lengkung bibirnya langsung berbalik arah.
“Tapi kenapa ...? Kenapa dia berubah? Dia bukan cuma mengajakku cerai, tapi juga mengusirku dari rumah.”
Sambil mengelus perut, Alice menelan kepahitan.
“Dia bahkan menolak kejutan dariku. Padahal, kalau saja dia melihat test pack itu, aku yakin semua ini tidak akan terjadi. Kami pasti sedang bersuka cita, merayakan kedatangan malaikat kecil yang sudah lama kami dambakan.”
“Alice,” Emma mengusap pundak sahabatnya sebelum memberinya pelukan.
“Tolong jangan putus asa dulu. Kita tidak tahu apa yang sesungguhnya terjadi. Edmund saja tadi terlihat linglung. Dia pasti tidak sadar dengan apa yang dilakukannya terhadapmu. Pelan-pelan, kita coba perbaiki keadaan, hmm? Aku dan Henry pasti akan membantumu. Bukankah begitu, Sayang?”
Mendapat lirikan dari Emma, sang dokter mengangguk cepat.
“Ya, benar. Aku dan Emma pasti membantumu. Tapi sekarang, kau lebih baik fokus dengan kandunganmu. Biar kuresepkan vitamin terbaik untukmu. Tolong jangan lupa diminum.”
Sambil menarik napas dalam-dalam, Alice menyeka air mata. Punggungnya kini sedikit lebih tegak.
“Terima kasih, Teman-Teman. Kurasa kalian benar. Aku tidak boleh menyerah. Besok pagi, aku harus menemui Ed.”
Sambil tersenyum kecil, Emma membelai rambut sahabatnya.
“Bagus. Ini baru Alice yang kukenal. Sekarang, ayo ikut aku pulang. Besok, aku akan mengantarmu ke kantor Edmund. Tanpa ibu mertuamu, aku yakin Edmund bisa berpikir lebih tenang. Kalian pasti berbaikan dan keadaan kembali seperti semula.”
***
“Kau yakin tidak mau kutemani?”
Alice menggeleng samar. “Kau bekerja saja, tidak perlu menungguku. Aku pasti akan pulang bersama Ed.”
“Wow, aku suka semangatmu. Semoga berhasil, Alice. Kabari aku kalau kalian sudah berpelukan.”
Setelah mendenguskan tawa, Alice turun dari mobil. Hatinya penuh dengan harapan walau tertutupi luka. Namun, melihat Elizabeth di pintu masuk, semangatnya mengendur. Langkahnya melambat.
“Mama?” Tangannya tanpa sadar bergerak melindungi perut.
“Sudah kuduga, kau pasti akan muncul di sini.” Dengan tampang masam, Elizabeth berjalan menghampiri lalu menyodorkan sebuah amplop cokelat.
“Apa ini?” tanya Alice, penuh kewaspadaan.
Elizabeth tersenyum miring. “Bukankah ini yang kau cari? Alasan sesungguhnya mengapa Ed menceraikanmu. Alasan mengapa dia tega mengingkari janjinya dan berhenti peduli padamu.”
Mata Alice melebar. Jantungnya mendadak berdetak tak karuan. Ia buka amplop itu dengan tangan yang gemetar. Begitu mendapati isinya, petir seolah menyambar tepat di dada.
“Ini? Ed dan Giselle?”
Napas Alice seketika bergemuruh. Pundaknya berguncang saat ia berusaha meredam gejolak hatinya.
“Tidak. Ini pasti hasil rekayasa. Ed tidak mungkin tidur dengan perempuan lain, apalagi Giselle. Dia ... dia temanku. Dan Ed adalah suami yang setia.”
“Sadarlah, Alice. Menurutmu kenapa Ed melarangmu menemaninya dinas ke luar kota selama beberapa bulan terakhir? Dan kenapa dia sering terlambat pulang dan jarang di rumah?”
Elizabeth tersenyum sinis. “Itu karena Giselle. Dia sudah tidak peduli jika kau mati atau lenyap dari bumi. Kau mau melompat dari jembatan itu? Lakukan saja. Kau seharusnya hanyut di sungai itu sejak dulu. Dengan begitu, putraku tidak perlu terpaksa menikahimu.”
“Tidak.” Alice menggeleng cepat. Air mata terancam jatuh dari pelupuknya.
“Itu tidak benar. Ini pasti akal-akalan Mama untuk menjauhkan aku dari Ed. Ed memang mengucapkan janji-janji itu demi menyelamatkan aku. Tapi kemudian, keadaan berubah. Kami saling cinta dan Ed melamarku dengan janji-janji baru yang tulus.”
Sementara Elizabeth memanas-manasi Alice, sebuah mobil hitam melintas menuju basement. Alice mengenali kendaraan itu. Tanpa menghiraukan Elizabeth, ia pergi menyusul.
Awalnya, Alice hanya berjalan, takut bayi kecilnya terguncang. Namun, semakin lama, ia semakin cepat. Saat mendapati Edmund, ia tersentak.
Giselle baru saja keluar dari pintu mobil yang lain. Ia langsung berjalan di sisi Edmund, merangkul pinggangnya. Edmund pun menempatkan lengannya di pundak sang gadis. Mereka berjalan berdampingan, sama sekali tanpa jarak. Edmund bahkan berbisik mesra di telinga Giselle.
Tanpa sadar, air mata mengalir lambat di pipi Alice.
“Ternyata foto itu benar?”
Sambil terpejam, Alice mengembuskan kepedihan. Ia sadar, hatinya sudah terlalu hancur untuk diselamatkan.
Ia sudah kembali ke masa lalu yang dingin dan kelam. Namun kali ini, ia sadar tidak akan ada seorang pun yang mengulurkan tangan padanya.
Setibanya di sofa, Edmund langsung menepis tangan Giselle. “Sudah kubilang, aku bisa sendiri.” Setelah itu, ia bersandar sambil mengurut pelipis. “Tapi kau masih sakit, Ed. Kau seharusnya tidak memaksakan diri. Beristirahat sehari tidak akan membuat perusahaan merugi.” Giselle memasang tampang prihatin. “Lagi pula, untuk apa kau memikirkan Alice sampai sakit begini? Biarkan saja dia bahagia bersama kekasih barunya. Dia sudah tidak butuh kamu lagi. Sekarang, apakah kau masih demam?” Lagi-lagi, Edmund menghalau tangan sang sekretaris yang nyaris menyentuh keningnya. “Aku baik-baik saja. Kau pulanglah.” “Tapi—” “Aku tidak bisa beristirahat kalau kau masih di sini,” tegas Edmund dengan tatapan risih. Nada bicaranya tidak hanya menusuk Giselle, tetapi juga membekukan langkah kaki seorang pelayan. Ed menyadari kehadirannya. “Ada apa, Nyonya Klein?” “Maaf, Tuan. Saya ....” Wanita paruh baya itu berkedip-kedip kebingungan. Sesekali, matanya melirik Giselle. “Kami menemukan ini saat ber
“Ed, apa yang telah kau lakukan? Kau berselingkuh dengan Giselle? Kenapa Alice jadi seputus asa itu?” Emma mengguncang pundak Edmund. Edmund tertunduk dan menelan ludah. Keringat dingin mulai membutir di keningnya. “Kalau tahu akan jadi begini, aku seharusnya tidak menghentikanmu saat akan melompat di jembatan. Biar saja kau hanyut di sungai sebagai orang asing yang tidak kukenal. Dengan begitu, aku tidak perlu mengucapkan janji-janji itu, tidak pernah jatuh cinta padamu, dan tidak akan merasakan sakit yang sebesar ini.” Kata-kata itu terngiang lagi dalam kepalanya. Ke mana akal sehatnya kemarin saat melontarkannya kepada Alice? Sementara rasa bersalah merayap menggerogoti hatinya, Edmund terpejam dan menggertakkan geraham. Ia biarkan kepalan tangan Emma menghantam tubuhnya. Ia merasa layak mendapat pukulan. “Mengapa aku begitu bodoh?” sesalnya. Emma tersentak mendengar gumaman itu. “Apa? Kau sungguh berselingkuh dengan Giselle?” Selang satu helaan napas, tangannya melayang men
Edmund duduk termenung di jembatan. Wajahnya pucat, tanpa ekspresi. Orang-orang yang tadi menahannya sudah bubar, berganti dengan anggota tim SAR yang sibuk berkoordinasi dengan rekan-rekannya. “Bagaimana?” tanyanya tanpa menoleh ketika petugas di dekatnya selesai bicara. Petugas itu terdiam sejenak. Alih-alih menjawab, ia melirik orang-orang di sisi Edmund. Ketika ia menggeleng, tangis Emma kembali pecah. “Kenapa nasib Alice sungguh malang, Henry? Dia orang baik. Dia tidak seharusnya mengalami semua ini. Kalau saja aku tidak meninggalkannya di kantor Edmund tadi pagi, mungkin dia masih bersama kita di sini. Aku tidak seharusnya membiarkan dia seorang diri.” Setetes air mata mengalir lambat di pipi Edmund. Sama seperti Emma, ia juga menyalahkan diri. Hanya saja, ia tidak punya tenaga lagi untuk mengamuk. Biar rasa bersalah yang mendera hati, mengikis sekujur sarafnya hingga ia hanya bisa merasakan perih. Malam berlalu berganti subuh. Emma dan Henry sudah pergi. Tim SAR pun memutu
“Siapa kamu? Kenapa kamu bisa ada di mobilku?” selidik Edmund, masih dengan napas tak beraturan. Matanya terbelalak, sulit memercayai apa yang dilihatnya. Sadar ia telah membongkar keberadaan dirinya sendiri, gadis mungil itu terkesiap. Ia cepat-cepat menutup mulut dengan kedua tangan, lalu membenamkan punggungnya pada sandaran jok di belakang. Saat itulah, Edmund bisa melihatnya lebih jelas. Ia mengenakan hoodie merah yang dipadukan dengan jumpsuit cokelat muda. Tudung kepalanya menutupi rambut, membuat wajahnya terlihat lebih bulat. Di pangkuannya terdapat sebuah buku, pensil, dan ransel. Tiba-tiba, gadis mungil itu kembali memajukan posisi duduknya. Sambil berkedip-kedip, ia mengerutkan alis. “Maaf, Tuan Brewok. Tadi sewaktu di parkiran, aku tidak sengaja mendengar kalau kamu mau pergi ke Chamarel Falls. Kebetulan, aku juga mau pergi ke sana. Jadi, aku diam-diam menumpang di mobilmu.” Edmund terdiam dengan mulut menganga. Butuh beberapa waktu untuk ia bisa mencerna informasi it
Mata Edmund berkaca-kaca saat ia tiba di sebuah platform yang menghadap Chamarel Falls. Air terjun itu begitu megah dan indah meski dari kejauhan. Kalau saja Alice sedang berdiri di sampingnya, wanita itu pasti bertepuk tangan dan tertawa gembira. Kemudian, ia akan memeluk Edmund erat, membisikkan terima kasih dan rasa cintanya. “Wow, itu sangat indah, lebih indah dari yang kubayangkan.” Edmund pun mengerjap. Ia menoleh ke samping. Si gadis mungil ternyata sedang berjinjit dengan dua tangan memegangi pagar kayu. Kepalanya ditarik setinggi mungkin. Matanya tidak berkedip menyaksikan dua aliran sungai yang meluncur bebas dari pinggir tebing. Edmund diam-diam menarik napas berat. Mengapa bukan Alice yang berdiri di situ? Mengapa harus bocah misterius yang bahkan namanya saja ia belum tahu? Sebelum emosinya bergejolak menguasai diri, Edmund mengambil sebuah kamera Polaroid dari ranselnya. Dengan hati-hati, ia memotret kompas Alice dengan latar Chamarel Falls. Begitu hasilnya keluar, ia
Sekembalinya dari kafe, Edmund duduk dengan canggung. Ia letakkan makanan yang dibelinya di atas meja, tanpa sedetik pun berpaling dari sang balita. “Ini makananmu.” Gadis mungil itu sedang sibuk menggambar sesuatu di bukunya. Ia hanya mengangguk, tidak sempat melirik. “Terima kasih, Tuan Brewok. Letakkan saja di situ. Aku akan memakannya setelah menyelesaikan jurnalku.” Selang beberapa saat, ia membalikkan bukunya menghadap Edmund dan merentangkan tangan. “Tada! Berkat bantuanmu, aku berhasil melingkari Chamarel Falls dan Seven Colored Earth. Sebentar lagi, semua keinginanku selama di Mauritius akan terpenuhi. Dan lihat ini! Aku sudah memberi keterangan bahwa aku bisa sampai ke sini karena kamu. Meskipun sedikit kurang mirip, aku akan selalu ingat kalau ini kamu.” Edmund tidak menyimak gambar seorang pria yang ditunjuk oleh sang balita. Ia terlalu terpana dengan binar matanya. Semangatnya begitu mirip dengan semangat Alice. Jika dipikir-pikir, ucapannya tentang Chamarel Falls, j
Takut dimarahi, Sky melompat turun dari kursi dan bersembunyi di balik Edmund. Kepalanya hanya terlihat sedikit saat sebelah matanya mengintip. “Mama, tolong jangan marah dulu. Aku terpaksa kabur. Kalau tidak begini, aku tidak bisa melihat Chamarel Falls.” Wanita yang sangat mirip dengan Alice itu mendesah berat. Wajahnya mengernyit, penuh penyesalan sekaligus kekhawatiran. “Tidak, Mama tidak akan marah. Mama justru ingin meminta maaf padamu. Mama dan Papa tidak seharusnya menolak keinginanmu. Sekarang kemarilah, Sayang.” Rachel merentangkan tangan, mengundang Sky ke dalam pelukan. Akan tetapi, gadis mungil itu malah menggeleng, bergumam, “Tapi Papa pasti akan marah dan menghukumku.” “Tidak akan. Ayo, Sayang. Jangan mengganggu tuan ini. Dia sudah banyak kau repotkan hari ini.” Lagi-lagi, Sky menggeleng. “Berjanjilah Mama akan membujuk Papa untuk tidak menghukumku.” “Mama janji, Sayang. Papa tidak akan memarahimu. Dia juga merasa bersalah telah menolak permintaanmu. Kamu tahu? Ma
Melihat Lucas kembali memanas, Rachel cepat-cepat menariknya mundur.“Sayang, kenapa kamu mendadak emosian begini? Tenanglah, kurasa laki-laki ini tidak bermaksud begitu. Seperti yang Sky bilang, dia terlalu merindukan istri dan anaknya. Mungkin dia mengidap gangguan mental,” bisiknya di akhir kalimat.Napas Edmund tersekat mendengar Alice-nya memanggil laki-laki lain dengan kata “sayang”. Bola matanya bergetar melihat bagaimana perempuan itu mengusap dada Lucas. Ia sungguh tidak mengerti mengapa Alice berubah dan sama sekali tidak mengingatnya.Sebelum akal sehatnya tenggelam lagi, Edmund menarik napas cepat dan mengembalikan fokus pada Sky. Meski pilu, ia harus mau berpura-pura menjadi orang baru.Ia sadar dirinya tidak boleh gegabah kalau tidak mau kehilangan orang-orang yang dicintainya lagi. Biarlah Alice menjadi Rachel dan Sky menjadi anak orang lain untuk sementara. Setidaknya, sampai ia mengumpulkan kebenaran.“Sky, bagaimana kalau kita obati lukamu sekarang? Setelah itu, kamu