"Boy nanti aku akan menjemput mu," ucap Frank. Kini dia telah sampai di depan gerbang sekolah putranya.Jaxon menoleh dan menatap dalam. "Aku ingin di jemput Mommy Dad," ucap Jaxon. Dia ingin tau apa yang terjadi pada kedua orang tuanya. Jaxon menatap ke arah luar jendela. Beberapa kali ia menghela nafas agar tidak memarahi putranya. "Sayang, Mommy sedang sibuk. Jadi biar Daddy yang menjemput mu. Ya sudah, Daddy ada meeting pagi."Terpaksa Jaxon keluar dari mobilnya tanpa mendapatkan jawaban yang pasti. Sejujurnya ia ingin menghubungi ibunya. Biarlah nanti jika sampai di rumah ia akan menghubungi ibunya....Aura hitam nampak keluar dari tubuh Frank. Banyak karyawan yang menunduk dan menyapa Frank dengan pelan dan berbisik-bisik setelah Frank melangkah beberapa langkah. Frank menghentikan langkahnya, telinganya melebar saat dua karyawan yang menyapanya tadi berbicara menyebut namanya. "Apa perusahaan ini tempat bergosip kalian?" Pertanyaan bagaikan belati itu membuat wanita dan se
Viona tersenyum melihat wanita setengah baya itu tersenyum. Dia merasa Tuhan memberikan kesempatan hidup karena Viona mau menolongnya. "Bu, ini Viona. Kekasihnya Arel." Wanita setengah baya itu tersenyum. "Aku sudah menduganya. Dia cantik seperti yang di ceritakan Arel. Maaf aku tidak mendatangi saat pemakan Arel karena saat itu tubuh ku drop. Saat Anton datang ke makam Arel dan ingin bertemu dengan mu kau sudah tidak ada."Wanita bernama Mely itu menggenggam tangan Viona. Penyakit kangkernya stadium tiga mungkin saja sudah menjadi akhir hidupnya. "Aku berharap aku sembuh, tapi jika memang sudah ...""Bu kau pasti sembuh." Anton memutuskan perkataan ibunya itu. "Anda pasti sembuh,"Wanita itu tersenyum, saat menceritakan Viona Arel begitu bersemangat. Kedua matanya berbinar seakan memancarkan cahaya bulan purnama. "Arel begitu menyayangi mu."Viona merasakan kesakitan dan rasa nyeri di ulu hatinya. "Aku tau, tapi karena aku.""Jangan menyalahkan mu sendiri Viona. Arel melakukannya
"Aku ingin pulang Kek," ucap Jaxon. Rasanya ia tidak memiliki hati untuk lebih lama bersama dengan kakek Damian. "Bawa aku pulang."Kakek Ardey menggenggam tangan Jaxon. "Damian aku pulang dulu. Ayo Jaxon." Kakek Damian merasa bersalah pada Jaxon. Bocah itu tidak tau apa-apa akan tetapi ia harus memberi pengertian pada Jaxon bahwa ibunya dan ayahnya tidak mungkin kembali.....Begitu sampai di mansion, Jaxon keluar dari mobil daddy Ardey. Dia berlari dan menghiraukan panggilan beberapa pelayan yang menyuruhnya berhati-hati, bahkan Liliana pun dia hiraukan."Daddy!" Jaxon berteriak dengan lantang. Dia melihat ke sekeliling kamar ayahnya itu dan tidak melihat keberadaan Frank. Dia pun berbalik dan menuju ruang kerjanya."Daddy!"Frank menoleh, di tangan kanannya ada sebuah cairan merah. "Jaxon.""Apa Daddy yang menyuruh Mommy pergi?" Frank tersentak, entah darimana putranya mengetahuinya. "Kau tau dari mana Jaxon?" tanya Frank, akan tetapi perkataan Jaxon salah karena ia tidak menyur
"Hiduplah dengan mereka Daddy, aku tidak akan mencegah mu." Jaxon mengepalkan kedua tangannya. Dia pun pergi seperti tidak melihat apa pun. Ia menghubungi Viona, namun Viona sama sekali tidak mengangkat panggilannya."Apa Mommy juga marah pada ku? Dia juga menjauhi ku?" Jaxon menggelengkan kepalanya. Ia tidak ingin di melihat ibunya pergi begitu saja. "Aku harus bertemu dengan Mommy."Jaxon mengambil jaketnya, ia menuju ke arah sopir yang sedang berbicara dengan penjaga gerbang. "Om bisa mengantarkan aku ke tempat Mommy?" Kedua pria itu saling tatap. "Tuan muda sudah izin pada tuan Frank?" Tanya sang sopir. Dia tidak berani membawa jika tidak mendapatkan izin dari tuan majikannya."Iya, aku sudah izin." "Baiklah saya akan mengantarkan tuan muda," ucap sopir itu. Penjaga gerbang itu pun membukakan gerbangnya. Jaxon masuk begitu mobil putih itu sampai di depannya.Tidak lama kemudian, Jaxon pun sampai. Dia berlari menuju kediaman kakek Damian. "Kakek! Kakek! Mommy!" Teriak Jaxon. Vi
Kedua mata Jaxon menatap datar ke arah dua wanita yang jauh darinya. Selama sebulan ini mereka sibuk merebut hati ayahnya tanpa ingin merebut hatinya. Ia muak dan ingin melemparkan mereka ke kandang buaya saja."Apa kalian tidak bosan bertengkar? aku saja melihat kalian berkelahi seperti itu merasa malu. Kenapa aku bisa memiliki pengasuh dan ibu yang tidak tau diri?"Liliana dan Beliana merasa tertampar. Mereka saling memalingkan wajah mereka. ceklekTanpa melihat wajah ayahnya, Jaxon berlalu pergi. Dia tidak ingin bersitatap dengan ayah bodohnya itu. Frank yang melihat kepergian putranya merasa sakit hati. Setelah perceraiannya dengan Viona, Jaxon seakan tak menganggap keberadaannya, tidak mau bersitatap sepeerti dulu lagi. "Frank kau sudah keluar? aku membuatkan sarapan untuk mu," ucap Beliana."Apa kalian tidak bisa mengganggu sekali saja?" Frank berlalu meninggalkan kedua wanita itu. Dia menuju ke ruang makan dan melihat Jaxon di sana, tapi putranya malah fokus pada sarapannya t
Kakek Damian menatap pria yang memunggunginya. Langkah kakinya tertahan di pertengahan anak tangga. Dia pun melanjutkan kembali langkah kakinya. "Untuk apa kau datang kesini?" tanya kakek Damian. Dia menatap pria yang memunggunginya. Frank menoleh dan melihat pria yang tak lagi muda, rambutnya tak lagi ada hitamnya melainkan rambutnya sudah memutih. Wajahnya yang di penuhi keriput terlihat jelas dengan kelelahan. Dia merasa bersalah dan menyesali perbuatannya. "Kakek." BrukFrank langsung menjatuhkan dirinya di depan lakek Damian. "Kakek! maafkan aku, maafkan aku." Kedua tangannya memegang salah satu kaki kakek Damian."Maafkan aku Kek."Kakek Damian menatapa lurus ke depan. Ia begitu enggan untuk melihat wajah Frank. "Kau sudah tau menyesalinya?""Berdirilah Frank, aku ingin melihat wajah mu." Kakek Damian membantu Frank berdiri. Dia menatap wajah Frank dan tangannya yang tak pernah menampar atau berbuat kasar kini melayangkan tangannya menampar pipi Frank. Frank menunduk, ia ta
Viona tersenyum mendengarkan curhatan kakeknya. Setiap akhir pekan ia akan menghubungi kakeknya untuk mendengarkan kegiatannya dan mencaritan kegiatannya sendiri."Mom." Sapa seorang anak kecil. Dia tersenyum pada anak kecil di depannya.Viona membungkuk dia mencium pipi Axel. "Apa Axel ingin makan sesuatu?" tanya Viona. Axel menggelengkan kepalanya. Bocah yang memiliki penyakit jantung itu selalu saja menempel pada Viona. Satu bulan yang lalu tanpa sengaja ia bertemu di jalan dan memanggilnya ibu. Karena rasa kasihan ia pun menolong Axel dan karena kasihan pada Axel yang memanggilnya ibu, ia pun menurutinya."Mom aku ingin keluar." Bocah lima tahun itu merasa malas berada di kamarnya. "Kapan Daddy pulang?" tanya Axel."Aku ingin bermain di luar," tambahnya.Viona berpamitan pada kakeknya dan kembali menatap wajah Axel. "Daddy pulangnya sore sayang, Axel mau keluar. Sama Mom saja, nanti Daddy menyusul."Axel mengangguk, dari pada dia sumpek berada di rumah. "Sekarang Mommy bantu Axe
"Viona kau tidak perlu terburu-buru, aku akan menunggu jawaban mu." Kenan bangkit dari kursinya menuju ke arah Axel. "Tunggu, bagaimana dengan ulang tahun Axel?" tanya Viona."Aku sudah mempersiapkannya, tiga hari lagi. O iya akan ada teman ku yang datang dari luar kota. Mungkin Axel juga merindukan temannya." Senyum merakah menghiasi wajah Kenan, pria itu terlihat tampan dan manis.Kenan kembali melangkah pergi meninggalkan Viona.Keesokan harinya.Jaxon mendekati anak perempuan yang duduk sendiri dan memakan bakalnya. Ia tersenyum melihat anak perempuan manis itu seandainya bukan karena informasi, ia tidak mungkin mau untuk mendekatinya."Kau sendiria?" tanya Jaxon. Setelah kepergian Viona. Ia tidak pernah membawa bekal lagi."Iya, kau mau?" tawarnya. Dia memperlihat sandwich satunya yang berada di kotak bekalnya. Jaxon menggelengkan kepalanya. "Tidak, oh iya kamu tidak menghubungi teman mu lagi, yang kemarin?" tanya Jaxon. Ia ingin tau bagaimana keadaan ibunya.Anak bernama Aleta